Refleksi 80 Tahun Hari Konstitusi 18 Agustus

Oleh : Firman Tendry Masengi.
Advokat / Aktivis 98

Kontradiksi Mazhab Hukum Imperatif versus Pancasila

Negara Hukum atau Negara Kekuasaan?

Sejak berdirinya Indonesia dengan teguh kita selalu bertanya: kita negara hukum ataukah negara kekuasaan? Pendiri bangsa mendeklarasikan Republik ini sebagai negara hukum.

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Tetapi pertanyaan mendasar harus diajukan: negara hukum yang seperti apa? Apakah negara hukum yang tunduk pada kompas moral Pancasila—yang menjunjung kemanusiaan, keadilan sosial, dan demokrasi rakyat? Ataukah negara hukum yang kaku, positivistik, sekadar mengulang doktrin kolonial: hukum adalah perintah penguasa?

Realitas sehari-hari menjawabnya dengan getir. Sistem hukum Indonesia hari ini lebih menyerupai mazhab hukum Imperatif ala John Austin: “Law is the command of the sovereign.” Hukum diperlakukan sebagai perintah mutlak penguasa, berlaku bukan karena adil, melainkan karena dipaksakan oleh negara. Hans Kelsen pun menegaskan dalam Pure Theory of Law bahwa hukum valid karena prosedurnya sah, bukan karena isinya benar.

Kontradiksi langsung menganga ketika mazhab legalistik itu dihadapkan pada kompas moral Pancasila dan amanat konstitusi. Pancasila menuntut hukum yang humanis, adil, partisipatif, dan berjiwa sosial. UUD 1945 menegaskan peran negara bukan sekadar memerintah, tetapi melindungi, menyejahterakan, dan mendemokratisasi rakyatnya.

Namun apa yang terjadi? Hukum Indonesia kian terjebak dalam legalisme sempit. Kepastian prosedural dipuja, sementara keadilan substantif dikubur. Hukum menjadi instrumen kekuasaan, bukan alat pembebasan. Rechtstaat Indonesia akhirnya terjerembab menjadi staat der macht—negara kekuasaan yang bersembunyi di balik jubah legalitas.

Mazhab Hukum Imperatif: Kepastian Nir Keadilan

John Austin dalam The Province of Jurisprudence Determined menyatakan: hukum adalah perintah penguasa yang didukung sanksi. Tidak ada kaitannya dengan moral atau keadilan; hukum berlaku semata-mata karena dikeluarkan oleh otoritas tertinggi.

Hans Kelsen menyempurnakan logika ini dalam Reine Rechtslehre: hukum valid bila ia bersandar pada norma yang lebih tinggi, hingga mencapai grundnorm. Moralitas, etika, bahkan keadilan dianggap “gangguan” terhadap kemurnian hukum.

Baca juga:  Hasto dan Armada Merah: Perlawanan Laksana One Piece di Laut Politik Jokowi

Mazhab ini kemudian merasuki sistem hukum Indonesia. Hierarki peraturan perundang-undangan, doktrin kepastian hukum, dan praktik peradilan yang ultra-formalis adalah warisan dari paradigma ini. Dalam kerangka Imperatif, hukum tidak lebih dari dokumen birokratis yang mengikat secara mekanis.

Kompas Moral Hukum Indonesia: Pancasila dan UUD 1945

Berbeda total dengan mazhab Imperatif yang dingin dan kering, Pancasila dan UUD 1945 justru memuat jiwa moral yang hangat dan membebaskan.

Sila II Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab — hukum harus memuliakan martabat manusia, bukan sekadar menghukum.

Sila V Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia –hukum harus berpihak pada yang tertindas, bukan melanggengkan kekuasaan oligarki.

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: Kedaulatan di tangan rakyat → hukum seharusnya lahir dari partisipasi rakyat, bukan dikte elit politik.

Pasal 28 UUD 1945: Hak asasi manusia dijamin konstitusi — hukum wajib melindungi kebebasan sipil, bukan mengekang kritik rakyat.

Pasal 33 dan 34 UUD 1945: Peran negara dalam ekonomi dan kesejahteraan → hukum harus mengatur ekonomi demi kemakmuran rakyat, bukan memberi karpet merah bagi pemodal besar.

Dengan kata lain, Pancasila dan UUD 1945 menuntut hukum yang hidup, progresif, dan berjiwa keadilan sosial.

Kontradiksi yang Menganga

1. Kepastian vs Keadilan

Mazhab Imperatif menuhankan kepastian. Tetapi keadilan substantif yang dituntut Pancasila justru sering dikorbankan. Vonis ringan koruptor kelas kakap menjadi bukti: teks pasal ditaati, tetapi rasa keadilan publik dihina.

2. Monopoli Negara vs Demokrasi Rakyat

Positivisme menempatkan negara sebagai sumber tunggal hukum. Padahal, UUD 1945 mengakui kedaulatan rakyat. Undang-undang strategis seperti Omnibus Law Cipta Kerja lahir tanpa partisipasi publik yang sejati, menjelma menjadi “hukum negara” yang asing dari rakyatnya.

Baca juga:  RKUHAP: Dominus Litis. Deferensiasi Fungsional. Menggenggam Kekuasaan, Melepaskan Keadilan

3. Netralitas Moral vs Etika Pancasila

Bagi Kelsen, hukum netral dari moral. Tetapi bagi Pancasila, hukum tanpa moral hanyalah kekerasan yang dilegalkan. Inilah paradoks: undang-undang yang sah bisa sekaligus menjadi penindasan.

4. Status Quo vs Transformasi Sosial

Imperativisme memelihara status quo. Hukum hanya mereproduksi teks yang ada, tanpa keberanian mengubah struktur yang timpang. Padahal, amanat konstitusi jelas: hukum harus menjadi alat transformasi sosial demi keadilan rakyat.

Hukum sebagai Senjata Kekuasaan

Kontradiksi ini nyata dalam praktik:

UU ITE menjadi alat kriminalisasi kebebasan berekspresi.

UU Minerba melanggengkan kekuasaan oligarki tambang, mengorbankan hak rakyat adat.

Revisi KUHP memperluas kontrol negara atas privasi warga.

Vonis korupsi yang ringan menyingkap wajah hukum yang lunak pada penguasa tetapi keras pada rakyat kecil.

Inilah wajah nyata rechtstaat yang dikudeta oleh mazhab Imperatif: negara hukum yang sah secara pasal, tetapi gagal secara moral.

Penutup: Menuju Hukum Progresif Pancasila

Satjipto Rahardjo dengan lantang menolak positivisme kaku. Baginya, hukum tidak boleh dipandang sebagai teks mati, melainkan alat perjuangan mencapai keadilan. Ia menulis: “Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.”

Indonesia harus berani meninggalkan jebakan mazhab hukum Imperatif. Jalan keluarnya adalah mazhab hukum progresif Pancasila: hukum yang hidup dari rakyat, berpihak pada kemanusiaan, dan berani menolak teks yang menindas.

Selama hukum hanya dipahami sebagai “perintah yang memaksa”, maka rechtstaat Indonesia tidak lebih dari ilusi legalitas. Yang terjadi bukan negara hukum, melainkan negara kekuasaan yang menyamar sebagai negara hukum.

Dan di titik inilah, pertanyaan moral paling keras harus diajukan: Apakah kita rela terus hidup di bawah hukum yang sah tetapi tidak adil? Ataukah kita berani menegakkan hukum yang adil meskipun melawan pasal?

Simak berita dan artikel lainnya di Google News