Kemerdekaan Indonesia ke-80: Refleksi Guru dan Pendidikan dalam Memerdekakan Bangsa

Oleh: Rokhmat Widodo, Guru SMK Luqmanul Hakim Kudus

Delapan puluh tahun sudah bangsa Indonesia berdiri sebagai negara merdeka. Usia yang panjang ini bukan sekadar angka, melainkan perjalanan sejarah penuh perjuangan, luka, harapan, sekaligus pembuktian bahwa bangsa ini mampu bertahan melewati gelombang zaman. Setiap perayaan kemerdekaan selalu membawa makna yang berbeda bagi setiap anak bangsa. Ada yang melihatnya dari sisi politik, ekonomi, budaya, maupun sosial. Namun bagi seorang guru, kemerdekaan selalu diartikan sebagai kesempatan untuk menanamkan nilai, membentuk karakter, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Guru memandang kemerdekaan sebagai warisan yang harus dijaga melalui pendidikan. Tanpa pendidikan, kemerdekaan hanyalah nama tanpa isi. Tanpa guru, kemerdekaan hanyalah slogan tanpa penjaga.

Refleksi di usia 80 tahun kemerdekaan ini membawa pertanyaan besar: sudahkah bangsa ini benar-benar merdeka dalam pendidikan? Sudahkah anak-anak Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk belajar? Sudahkah guru mengajar dengan hati tanpa terbebani administrasi dan ketidakpastian kesejahteraan? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar renungan kosong, melainkan kenyataan yang harus dijawab dengan kerja nyata. Sebab kemerdekaan sejati tidak cukup hanya dirayakan di halaman sekolah dengan upacara bendera dan lomba rakyat, tetapi harus hadir di setiap ruang kelas, di setiap buku yang dibuka anak-anak, di setiap papan tulis yang disentuh kapur, dan di setiap doa seorang guru yang ingin muridnya berhasil.

Bagi seorang guru, kemerdekaan Indonesia ke-80 adalah momentum untuk kembali mengingat betapa mahalnya harga sebuah pendidikan. Para pejuang dahulu merebut kemerdekaan dengan darah dan air mata. Mereka berkorban bukan hanya untuk mengibarkan merah putih, tetapi juga untuk memastikan generasi setelahnya bisa belajar tanpa takut diusir penjajah, bisa membaca tanpa larangan, bisa menulis tanpa ancaman, dan bisa berpikir tanpa dibatasi. Pendidikan menjadi salah satu cita-cita utama para pendiri bangsa. Hal ini tertuang jelas dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, pendidikan bukanlah bonus atau pilihan tambahan, melainkan ruh dari kemerdekaan itu sendiri. Tanpa pendidikan, bangsa ini akan kembali terjajah, bukan oleh tentara asing, melainkan oleh kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan.

Namun realitas sering kali membuat guru merenung lebih dalam. Delapan puluh tahun merdeka, tetapi masih banyak anak-anak di pelosok negeri yang harus berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk sampai ke sekolah. Masih ada sekolah dengan atap bocor, kursi reyot, dan buku yang terbatas. Masih ada guru yang mengajar dengan gaji seadanya, bahkan harus rangkap pekerjaan agar dapur tetap mengepul. Masih ada ketimpangan besar antara sekolah di perkotaan yang mewah dengan fasilitas digital lengkap, sementara di daerah terpencil masih mengandalkan papan tulis sederhana. Ketimpangan ini membuat guru sering bertanya dalam hati: apakah ini yang dimaksud kemerdekaan pendidikan? Apakah sudah benar-benar merdeka jika sebagian anak masih harus berjuang untuk sekadar duduk di bangku sekolah?

Meskipun demikian, seorang guru tidak pernah kehilangan harapan. Dalam kesederhanaan kelasnya, guru tetap menyalakan api kecil kemerdekaan. Setiap huruf yang diajarkan, setiap angka yang dijelaskan, setiap cerita yang disampaikan, semuanya adalah bagian dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Guru sadar bahwa peran mereka bukan sekadar mentransfer ilmu, melainkan menjaga agar bangsa ini tidak kehilangan jati diri. Guru adalah benteng terakhir ketika anak-anak bangsa mulai terpengaruh budaya asing yang berlebihan, ketika mereka terbuai oleh gadget tanpa arah, ketika mereka lebih mengenal tokoh luar negeri dibanding pahlawan bangsanya sendiri. Dalam kondisi seperti itu, guru berdiri tegar dengan kesabaran, menanamkan nilai cinta tanah air, mengajarkan bahwa menjadi Indonesia adalah sebuah kebanggaan.

Baca juga:  Matahari Kembar di Pemerintahan Prabowo

Kenyataan pahit lain yang kerap menimpa guru adalah soal kesejahteraan. Banyak guru, terutama yang berstatus honorer atau mengajar di daerah terpencil, bekerja puluhan tahun dengan gaji minim, tanpa jaminan kesejahteraan yang layak. Mereka tetap setia mengajar, menunaikan amanah yang melekat pada profesi, meski kehidupan pribadi penuh perjuangan. Seorang guru sering harus membagi perhatian antara mengajar dan mencari nafkah tambahan untuk keluarga. Kondisi ini jelas bertolak belakang dengan tugas besar yang mereka emban, yaitu membentuk generasi masa depan bangsa. Dengan keadaan seperti itu, tidak mengherankan jika semangat merdeka mengajar terkadang terbebani oleh kecemasan soal kehidupan pribadi. Guru ingin diakui, bukan sekadar dengan julukan pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi dengan penghargaan nyata berupa kesejahteraan, tunjangan yang layak, dan kesempatan pengembangan profesional yang memadai.

Tantangan lain yang kerap menjadi beban guru adalah pergantian kurikulum yang terlalu sering. Setiap beberapa tahun, guru harus menyesuaikan diri dengan kurikulum baru, metode baru, dan indikator baru. Kurikulum yang berganti-ganti membuat guru harus belajar lagi, menyesuaikan strategi, bahkan mengubah cara mengajar yang sudah mapan. Sementara itu, murid sering menjadi korban kebingungan, karena setiap tahun harus beradaptasi dengan sistem penilaian, kompetensi, dan materi yang berubah-ubah. Idealnya, kurikulum harus menjadi panduan yang stabil, memberikan ruang bagi guru untuk berinovasi dan mengajar sesuai kondisi murid, bukan menjadi beban tambahan. Merdeka belajar seharusnya bukan sekadar slogan, tetapi nyata dirasakan oleh guru dan murid, dengan fleksibilitas, konsistensi, dan dukungan yang memadai.

Ketika peringatan kemerdekaan ke-80 digelar dengan meriah di kota-kota besar, dengan kembang api, parade, dan pidato megah, di sebuah desa kecil seorang guru tetap berdiri di depan papan tulis reyot, mengajar belasan muridnya. Mereka tidak mengenakan seragam baru, buku pun terbatas, tetapi semangat di mata mereka tidak pernah padam. Bagi sang guru, itulah perayaan kemerdekaan yang sesungguhnya: melihat anak-anak desa itu tetap bersemangat belajar meski dengan segala keterbatasan. Di sanalah kemerdekaan hidup, bukan di panggung mewah, melainkan di ruang kelas sederhana yang penuh cinta.

Guru sering menjadi saksi betapa pendidikan bisa mengubah nasib. Ada murid dari keluarga miskin yang berjualan gorengan untuk biaya sekolah, tetapi berkat ketekunannya akhirnya bisa kuliah dan menjadi dosen. Ada anak dari pelosok yang dahulu harus menyeberangi sungai setiap hari untuk ke sekolah, kini menjadi dokter yang melayani masyarakat di kotanya. Ada murid yang dulu sering kesulitan membaca, kini menulis buku yang dibaca banyak orang. Semua kisah itu adalah bukti nyata bahwa pendidikan adalah jalan kemerdekaan. Tanpa pendidikan, mimpi-mimpi itu akan kandas, harapan akan mati muda. Guru percaya, meski perlahan, pendidikan akan terus menjadi cahaya yang menuntun bangsa ini ke masa depan yang lebih cerah.

Di usia 80 tahun kemerdekaan ini, guru berharap agar kesejahteraan mereka diperhatikan seiring dengan stabilitas kurikulum. Seorang guru yang sejahtera dan tenang akan mampu menyalurkan ilmunya secara optimal, membimbing murid dengan hati, dan menumbuhkan karakter bangsa yang kokoh. Guru yang terus diganti-ganti kurikulumnya tanpa dukungan memadai akan kehilangan kreativitas, fokus, dan semangat. Pendidikan akan mengalami stagnasi jika guru merasa tersiksa oleh sistem yang tidak konsisten. Oleh karena itu, keberlangsungan kemerdekaan pendidikan menuntut perhatian serius dari negara: kesejahteraan guru harus dijamin, kurikulum harus stabil, dan dukungan profesional harus tersedia.

Baca juga:  Catatan September Kelabu Bangsa Indonesia

Selain itu, guru juga melihat tantangan baru yang dihadapi generasi muda. Dunia digital membawa banyak kemudahan, tetapi juga banyak ancaman. Anak-anak kini tumbuh dengan gawai di tangan, terbiasa dengan media sosial, game online, dan informasi instan. Mereka bisa belajar apa saja dari internet, tetapi juga bisa tersesat dalam banjir informasi palsu, berita bohong, atau konten negatif. Dalam situasi ini, peran guru semakin penting, bukan hanya sebagai pengajar pengetahuan, tetapi juga sebagai pembimbing moral. Guru harus mengajarkan literasi digital, mengajarkan anak-anak untuk berpikir kritis, membedakan mana yang benar dan salah, mana yang bermanfaat dan merusak.

Guru juga berharap agar pendidikan tidak melupakan akar budaya bangsa. Di tengah derasnya globalisasi, identitas nasional harus tetap dijaga. Guru ingin murid-muridnya tidak hanya fasih berbahasa asing, tetapi juga mencintai bahasa Indonesia. Guru ingin mereka tidak hanya bangga dengan budaya luar, tetapi juga menghargai tari daerah, musik tradisional, dan kearifan lokal. Kemerdekaan ke-80 ini seharusnya menjadi pengingat bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak kehilangan jati dirinya.

Delapan puluh tahun merdeka adalah perjalanan panjang. Banyak capaian telah diraih, tetapi banyak pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan. Guru melihat perjalanan ini seperti proses belajar muridnya: kadang berhasil, kadang gagal, tetapi selalu ada kesempatan untuk memperbaiki. Bangsa Indonesia ibarat murid besar yang sedang belajar menjadi dewasa. Ada saatnya ia jatuh, tetapi dengan semangat kemerdekaan, ia akan bangkit lagi.

Sebagai seorang guru, refleksi di usia 80 tahun kemerdekaan ini diakhiri dengan sebuah doa: semoga bangsa ini tidak pernah berhenti belajar. Semoga anak-anak Indonesia tumbuh menjadi generasi yang merdeka pikirannya, merdeka hatinya, merdeka tindakannya. Semoga guru-guru diberi kekuatan untuk terus mengajar dengan sabar, meski kadang lelah dan terlupakan. Semoga pemimpin bangsa tidak pernah lupa bahwa tanpa pendidikan, kemerdekaan hanyalah ilusi.

Kemerdekaan ke-80 adalah tonggak penting, bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk direnungkan. Apa arti merdeka jika masih ada anak yang buta huruf? Apa arti merdeka jika guru masih berjuang sendiri tanpa dukungan memadai? Apa arti merdeka jika pendidikan masih menjadi hak istimewa segelintir orang? Apa arti merdeka jika kurikulum selalu berubah sehingga guru dan murid tidak memiliki arah jelas? Pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab dengan aksi nyata.

Merdeka bukan berarti berhenti berjuang. Justru merdeka berarti berjuang lebih keras untuk menjaga, mengisi, dan memperluas arti kemerdekaan itu sendiri. Guru adalah saksi bahwa kemerdekaan bukan hanya warisan, tetapi juga tanggung jawab. Setiap kali guru masuk kelas, mengucapkan salam, menuliskan kata pertama di papan tulis, di sanalah kemerdekaan bekerja. Setiap kali murid tersenyum karena mengerti sebuah pelajaran, di sanalah kemerdekaan tumbuh. Setiap kali seorang anak berani bermimpi menjadi dokter, guru, insinyur, atau pemimpin, di sanalah kemerdekaan bernafas.

Dan ketika Indonesia nanti mencapai usia 100 tahun kemerdekaan, guru berharap bangsa ini sudah benar-benar menjadi bangsa yang cerdas, adil, sejahtera, dan bermartabat. Guru ingin melihat anak-anak didiknya berdiri gagah, memimpin bangsa ini dengan integritas, membawa Indonesia sejajar dengan negara maju, tanpa kehilangan akar budayanya. Guru ingin melihat bahwa perjuangannya di ruang kelas tidak sia-sia. Itulah doa terbesar seorang guru di usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia: semoga bangsa ini benar-benar merdeka dalam arti yang sesungguhnya, baik dari segi pendidikan, kesejahteraan guru, maupun stabilitas sistem pembelajaran.

 

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News