Matahari Kembar di Pemerintahan Prabowo

Oleh: Rokmat Widodo, Pengamat Politik dan Kader Muhammadiyah Kudus

Sejarah politik Indonesia pasca-reformasi senantiasa dipenuhi oleh dinamika kekuasaan yang tak hanya berakar pada institusi formal, namun juga pada jejaring pengaruh yang bekerja secara informal namun efektif. Pemerintahan Prabowo Subianto menampilkan sebuah fenomena politik baru yang tidak mudah diabaikan: kehadiran “matahari kembar”, yang merujuk pada peran mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam lingkaran kekuasaan pasca-masa jabatannya.

Jokowi secara konstitusional telah selesai menjalankan tugasnya sebagai Presiden Republik Indonesia selama dua periode. Namun, dalam praktik politik yang berlangsung, ia masih memainkan peran sentral. Kunjungan para menteri Kabinet Prabowo ke kediaman Jokowi di Solo — bukanlah kunjungan basa-basi. Dalam politik, gestur adalah pesan. Dan pesan itu jelas: Jokowi masih menjadi titik rujuk pengambilan keputusan di sejumlah kementerian.

Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa Prabowo adalah mantan rival politik Jokowi yang kemudian bertransformasi menjadi mitra koalisi. Kemesraan politik yang terbangun sejak 2019 dan pengangkatan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden dari koalisi Prabowo memperlihatkan bahwa Jokowi menanamkan political stake yang serius dalam kelangsungan pemerintahan pasca dirinya.

Namun, apakah ini artinya Jokowi menjalankan peran sebagai presiden bayangan? Atau justru ini adalah wujud dari kompromi kekuasaan yang dibangun demi menjaga stabilitas politik jangka pendek?

Keberadaan matahari kembar dalam suatu pemerintahan secara teoritis adalah tanda bahaya. Dalam konteks Prabowo-Jokowi, kita melihat konfigurasi baru dari dualisme kekuasaan: satu pihak memegang legitimasi formal sebagai kepala negara dan pemerintahan (Prabowo), sementara pihak lain memiliki legitimasi sosial dan jaringan politik yang sangat luas (Jokowi). Bahkan, sebagian menteri di kabinet Prabowo merupakan loyalis Jokowi yang ditempatkan bukan semata karena kebutuhan kompetensi, tetapi sebagai jaminan bahwa kesinambungan kekuasaan Jokowi tetap terjaga.

Ini mengandung dua risiko besar:

  1. Kaburnya akuntabilitas publik. Jika terjadi kegagalan kebijakan, masyarakat akan kebingungan menentukan siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban: presiden resmi, atau “penasihat tidak resmi” yang berada di luar struktur?
  2. Konflik internal kabinet. Potensi faksionalisasi dalam kabinet — antara menteri yang setia kepada Prabowo dan yang merasa dekat dengan Jokowi — akan merusak efektivitas birokrasi dan memperlambat pengambilan keputusan strategis.

Dari perspektif Jokowi, keterlibatan dalam pemerintahan Prabowo bisa dibaca sebagai upaya mengamankan legacy. Ia telah membangun banyak infrastruktur, menyusun berbagai agenda besar seperti hilirisasi, Ibu Kota Negara (IKN), dan transformasi ekonomi digital. Maka, dengan menempatkan orang-orangnya di posisi strategis dan tetap menjadi rujukan informal, Jokowi mencoba memastikan bahwa kebijakannya tidak dibongkar oleh penerusnya.

Namun, dalam politik, upaya mempertahankan legacy sering berbenturan dengan keinginan pemimpin baru untuk menciptakan legacy sendiri. Prabowo, dengan karakter dan visinya yang berbeda dari Jokowi, tentu ingin meninggalkan jejak sejarah yang khas. Ketika dua matahari bersinar dalam satu langit pemerintahan, cepat atau lambat akan ada persaingan dalam narasi dan arah kebijakan.

Salah satu aspek yang tidak boleh diabaikan adalah politik simbolik. Kunjungan para menteri ke Jokowi, kehadiran Jokowi dalam berbagai forum strategis nasional bahkan setelah purna tugas, serta narasi publik dari elite-elite yang menyebut Jokowi sebagai “pengawal transisi” — semua ini menyampaikan pesan bawah sadar kepada publik bahwa Jokowi belum benar-benar pensiun.

Hal ini mengaburkan batas antara masa jabatan formal dan masa pengaruh politik. Ketika negara membutuhkan ketegasan satu arah kepemimpinan, masyarakat justru disuguhi dua poros komando yang sering kali tumpang tindih — meskipun tidak selalu bertentangan secara eksplisit.

Ada dua cara membaca fenomena ini. Pertama, secara optimistik: ini adalah strategi transisional yang bertujuan menjaga stabilitas politik dalam masa-masa awal pemerintahan Prabowo. Dukungan Jokowi dianggap penting untuk meredam konflik horizontal, terutama dengan elite-elite partai di luar kabinet.

Namun secara kritis, kita bisa membaca ini sebagai bentuk anomali dalam demokrasi presidensial. Presiden seharusnya satu, bukan dua. Apalagi dalam sistem yang tidak mengenal prime minister atau regency seperti di monarki. Jika Jokowi terus bermain dalam arena kekuasaan, ia sebetulnya sedang melewati batas etika politik sebagai mantan presiden yang seharusnya sudah menyerahkan tongkat komando sepenuhnya.

Pemerintahan Prabowo menghadapi tantangan besar bukan hanya dari luar (ekonomi global, konflik geopolitik, dan tekanan sosial), tetapi juga dari dalam: bagaimana membangun struktur kekuasaan yang efektif, tanpa bayang-bayang pengaruh yang terlalu dominan dari pendahulunya.

Rakyat Indonesia membutuhkan arah yang tegas dan satu komando. Jika Prabowo tidak segera menegaskan bahwa dialah satu-satunya presiden — secara simbolik maupun substantif — maka pemerintahan ini akan terus dibayang-bayangi oleh tarik-menarik kepentingan yang berbahaya bagi konsolidasi demokrasi.

Fenomena matahari kembar mungkin belum menimbulkan konflik hari ini. Tapi sejarah mengajarkan: dua pusat kekuasaan dalam satu pemerintahan adalah resep konflik laten yang sewaktu-waktu bisa meledak, jika tidak segera ditata dan dikelola dengan bijak.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News