Lambannya Proses Hukum dan Minimnya Tanggung Jawab Pemerintahan Kota dalam Kasus BMT Mitra Umat Pekalongan

Oleh: Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan

Sudah satu tahun lebih saya mendampingi dan concern terhadap kasus dugaan penggelapan uang dan penipuan oleh BMT Mitra Umat Pekalongan. Dan selama itu pula saya menyaksikan dan ikut merasakan kasus ini bergulir tanpa kejelasan. Ribuan warga yang menjadi korban terus menunggu penyelesaian kasus ini, namun hingga kini penantian itu seolah-olah dibalas dengan pembiaran. Harapan mereka untuk mendapatkan keadilan dan pengembalian hak justru terkatung-katung di tengah lambannya proses hukum dan hilangnya tanggung jawab pemerintahan kota Pekalongan.

Dari sisi hukum, kasus ini sebenarnya sudah sangat jelas dan layak untuk naik ke tahap penyidikan. Berdasarkan pasal 184 KUHAP, dua alat bukti yang sah seperti keterangan saksi dan bukti surat/ buku tabungan, rekening dan perjanjian tertulis sudah mencukupi untuk membawa perkara ini ke tahap penyidikan. Dalam konteks kasus BMT Mitra Umat, para korban telah memberikan keterangan dan menyertakan bukti berupa kwitansi, slip transfer, perjanjian tabungan, hingga rekaman janji penyelesaian di medsos. Bahkan telah dilakukan pelaporan resmi ke Polresta Pekalongan sejak tanggal 3 Agustus 2024 silam. Namun anehnya, hingga kini meski dua alat bukti sudah terpenuhi, status hukum kasus pidana ini masih tertahan di tahap penyelidikan, ga ada perkembangan apapun, mandeg greg.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa aparat penegak hukum di Kota Pekalongan tampak begitu lambat merespons penderitaan ribuan korban? Padahal dua alat bukti sudah ada? Bukankah tugas utama kepolisian adalah melindungi rakyat dan menegakkan hukum secara adil dan tanpa pandang bulu?

Kita tidak sedang membicarakan dugaan tindak pidana yang rumit atau tanpa korban. Justru sebaliknya, ini adalah kasus terang benderang yang melibatkan kerugian nyata. Korbannya ada, bukti tertulis perjanjian yang ada di buku rekening juga ada, pelakunya juga ada, nominal uang yang ditilep juga ada.
Jika dua alat bukti sudah sah dan terpenuhi, namun tidak ada tindakan nyata, maka wajar jika banyak yang bertanya-tanya: Ada apa dengan aparat penegak hukum di kota ini? Ada apa?

Baca juga:  Menakar keberanian Paslon Walkot dan Wawalkot Pekalongan 2024-2029; dari Upah Kerja hingga Kasus BMT Mitra Umat

Dan.. Lebih menyedihkan lagi adalah sikap diam dan abai-nya para pemangku kekuasaan di kota ini. Baik Walikota Pekalongan maupun Ketua DPRD Kota Pekalongan, yang sebelumnya menyatakan akan membantu menyelesaikan permasalahan ini, hingga kini mereka berdua tidak menunjukkan tindakan nyata. Permohonan berkali-kali para korban agar digelar Rapat Dengar Pendapat belum direspon. Tidak ada pembentukan tim penyelesaian. Tidak ada surat instruksi kepada pihak-pihak terkait dan transparansi penyelesaian kepada para korban. Semua hanya berhenti pada tataran janji dan retorika politik, sepi dan senyap.

Padahal, para korban adalah warga mereka sendiri, konstituen yang dahulu mungkin turut mengantar mereka duduk manis di kursi kekuasaan. Lantas, ketika ada ribuan warga yang sedang dizalimi, lalu mereka hanya diam, sesungguhnya mereka sedang menunjukkan kepada semua orang ketidakberpihakan mereka pada korban yang tak lain warganya mereka sendiri. Mereka lupa bahwa kekuasaan yang mereka miliki bersumber dari suara rakyat. Ketika rakyat dizalimi dan mereka tidak turun tangan, mereka sebenarnya sedang mengkhianati amanat rakyatnya itu sendiri.

Pemerintahan yang abai terhadap penderitaan rakyatnya bukanlah pemerintahan yang layak mendapatkan kepercayaan lagi. Penegak hukum yang diam terhadap kejahatan yang nyata bukanlah penegak hukum yang menjalankan sumpah jabatannya. Dan ini bukan hanya soal teknis atau prosedural. Ini soal moral, soal keberpihakan, dan soal keberanian untuk membela yang benar.

Apakah kita masih bisa berharap pada pemerintahan yang diam membisu seperti ini? Apakah kita masih bisa percaya pada aparat penegak hukum yang tak kunjung bertindak, padahal alat bukti sudah lengkap? Kita serius bertanya, apakah hukum masih ada di kota ini? Apakah pemerintah kota masih ada rasa tanggung jawab atas penderitaan warganya? Atau semuanya sudah terlalu nyaman duduk di singgasana kekuasaan hingga buta dan tuli terhadap jeritan warganya?

Baca juga:  Kebangkitan SMA 3 Pekalongan: Menuju Lingkungan Belajar yang Aman dan Nyaman

Jika memang hukum tidak kunjung ditegakkan, maka para korban harus mulai bersuara lebih keras lagi. Jika walikota dan ketua DPRD tidak juga bertindak, maka kita harus mendesak lebih tegas. Demokrasi memberikan ruang untuk menyampaikan aspirasi secara sah dan konstitusional. Kita boleh kecewa, tapi tidak boleh putus asa.

Sudah waktunya aparat penegak hukum membuktikan keberpihakannya. Jika dua alat bukti sudah cukup, maka tidak ada alasan lagi untuk menunda naiknya status perkara ini ke penyidikan. Jangan sampai korban berpikir bahwa hukum hanya tegas kepada rakyat kecil dan tumpul kepada yang “berkuasa” atau “terlindungi”. Jangan sampai hilang kepercayaan publik pada institusi penegakan hukum hanya karena satu kasus seperti ini.

Sudah waktunya juga bagi para pemimpin di kota ini untuk keluar dari zona nyaman dan menunjukkan bahwa mereka benar-benar bekerja untuk warganya, untuk rakyat. Tunjukkan empati, bukan sekadar simpati. Tunjukkan tindakan nyata, bukan sekadar janji basa-basi. Korban BMT Mitra Umat bukan angka. Mereka adalah warga nyata yang ber KTP kota Pekalongan yang kehilangan uang, harapan, bahkan kadang harga diri karena merasa ditipu dan tidak mendapatkan perlindungan.

Jika pemerintah kota dan aparat penegak hukum masih diam saja, maka sejarah akan mencatat bahwa di kota Pekalongan pernah ada tragedi hukum dan pemerintahan yang abai terhadap warganya sendiri. Jangan sampai hal itu benar-benar menjadi kenyataan.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News