Royalti di Tengah Denting Cangkir: Potret Semrawutnya Regulasi Hak Cipta di Kafe Indonesia

Oleh: Rokhmat Widodo, pengamat sosial dan budaya

Bayangkan sebuah sore di pusat kota, hujan rintik-rintik membasahi jalanan, dan sebuah kafe kecil memutar lagu-lagu lembut dari musisi legendaris Indonesia. Di sudut ruangan, beberapa pelanggan menikmati kopi sambil mengetik di laptop, sebagian lagi asyik berbincang. Pemilik kafe, yang sudah mengelola tempat itu selama lima tahun, tiba-tiba menerima surat dari sebuah lembaga manajemen kolektif (LMK) yang menagih pembayaran royalti. Isinya, pemutaran lagu-lagu di kafe itu dianggap sebagai “pertunjukan publik” yang wajib membayar hak cipta. Pemilik kafe terkejut. Selama ini ia mengira cukup dengan membeli CD asli atau berlangganan platform musik legal. Ia tak pernah membayangkan bahwa sekadar memutar musik sebagai pengiring kopi bisa menjadi perkara hukum.

Kisah seperti ini bukan fiksi belaka. Di berbagai kota di Indonesia, banyak pelaku usaha kafe, restoran, bahkan hotel, menghadapi situasi serupa. Aturan mengenai royalti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sebenarnya bertujuan baik: melindungi hak ekonomi pencipta lagu. Namun, ketika aturan itu turun ke lapangan, praktiknya sering membingungkan. Ada banyak LMK yang mengklaim punya kewenangan menagih, prosedurnya tidak seragam, dan transparansi soal ke mana uang itu mengalir pun sering dipertanyakan.

Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM pernah mengeluarkan peraturan turunan yang mengatur mekanisme pembayaran royalti, bahkan menunjuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai koordinator. Tapi di lapangan, para pelaku usaha tetap kebingungan. Ada LMK yang datang langsung menagih, ada pula yang mengirim surat elektronik, bahkan ada yang melibatkan pihak ketiga. Dalam beberapa kasus, tarif yang diminta berbeda-beda untuk usaha dengan kapasitas dan kondisi yang sama. Akibatnya, banyak pelaku usaha merasa seperti sedang menghadapi “pajak ganda” yang tidak jelas.

Seorang pemilik kafe di Bandung menceritakan pengalamannya. Ia menerima tagihan sebesar belasan juta rupiah per tahun hanya untuk musik latar. Tidak ada penjelasan rinci bagaimana nominal itu dihitung, selain daftar lagu yang katanya sering diputar di tempatnya. Ketika ia meminta bukti bahwa uang itu akan sampai ke musisi atau pencipta lagu, jawabannya hanya berupa janji bahwa LMK akan menyalurkannya. “Saya setuju musisi dibayar, tapi saya ingin jelas, jangan sampai ini cuma jadi bisnis pihak ketiga,” keluhnya.

Masalah makin rumit karena definisi “pertunjukan publik” dalam regulasi cukup luas. Memutar lagu di kafe, salon, atau bahkan di ruang tunggu bengkel pun bisa termasuk. Padahal, banyak pelaku usaha yang merasa musik hanyalah pelengkap suasana, bukan inti bisnis mereka. Bagi mereka, membayar royalti besar untuk sesuatu yang tidak secara langsung menghasilkan uang terasa tidak adil. Apalagi, di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi, beban tambahan ini bisa jadi pukulan berat.

Di sisi lain, para musisi juga punya argumen kuat. Banyak di antara mereka hidup dari hak cipta dan royalti adalah sumber penghasilan penting. Tanpa mekanisme pemungutan, lagu-lagu yang diputar di ruang publik hanya menguntungkan pemilik tempat, sementara penciptanya tidak mendapat imbalan apa pun. Dalam konteks ini, royalti adalah bentuk penghargaan atas karya. Namun, para musisi pun mengakui, sistem di Indonesia masih jauh dari ideal. Ada keluhan bahwa distribusi royalti dari LMK tidak merata, transparansinya kurang, dan data penggunaan lagu sering tidak akurat.

Kondisi ini menciptakan lingkaran ketidakpercayaan. Pemilik usaha merasa diperas, musisi merasa tidak cukup dihargai, dan LMK berada di tengah sorotan. Pemerintah seharusnya hadir sebagai penengah yang memastikan aturan berjalan adil. Sayangnya, komunikasi publik tentang aturan ini minim. Sosialisasi yang dilakukan lebih sering ke tingkat asosiasi, tidak langsung menjangkau pelaku usaha kecil. Akibatnya, banyak yang kaget saat tiba-tiba diminta membayar.

Ketika regulasi yang semestinya memberi keadilan justru memicu kebingungan, muncul potensi resistensi. Beberapa pelaku usaha memilih mematikan musik sama sekali untuk menghindari masalah. Ada juga yang beralih ke lagu-lagu bebas royalti atau karya musisi independen yang membebaskan lisensi. Langkah ini sah-sah saja, tapi di sisi lain membuat lagu-lagu populer karya musisi nasional semakin jarang terdengar di ruang publik. Ini justru kontraproduktif terhadap misi memajukan musik Indonesia.

Kasus serupa pernah terjadi di negara lain, tetapi perbedaannya adalah transparansi dan konsistensi penegakan aturan. Di beberapa negara Eropa, misalnya, ada satu badan resmi yang mengurus pemungutan dan penyaluran royalti dengan tarif jelas dan mudah diakses publik. Data penggunaan lagu tercatat rapi, dan musisi bisa memantau berapa yang mereka terima dari setiap pemutaran. Di Indonesia, sistem seperti ini masih jauh dari harapan.

Pada akhirnya, persoalan royalti di kafe bukan sekadar soal bayar atau tidak bayar, tapi soal bagaimana menciptakan ekosistem yang sehat dan adil. Musisi perlu mendapat imbalan layak, pelaku usaha butuh aturan yang jelas dan tarif yang wajar, sementara pemerintah harus memastikan tidak ada pihak yang memanfaatkan kekacauan ini untuk kepentingan pribadi. Tanpa itu semua, denting cangkir di kafe akan semakin sering terdengar dalam diam, tanpa iringan musik, karena semua orang memilih menghindari risiko.

Dan di sebuah sudut kota, kafe yang dulu ramai dengan nada dan melodi kini hanya diisi oleh suara sendok beradu dengan gelas, meninggalkan kekosongan yang tak hanya terdengar, tapi juga terasa.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News


Baca Juga