Menyoal Keterbukaan dan Kewajiban Pembuktian: Perspektif Actio de Reporto dan Actio ad Exhibendum atas SPDP Dugaan Ijazah Palsu Jokowi

Oleh: Firman Tendry Masengi, S.H, Advokat / Aktivis ProDem

Dalam perkembangan hukum acara pidana modern, keadilan substantif menuntut hadirnya keterbukaan dan tanggung jawab pembuktian dari semua pihak yang terkait dalam perkara hukum, khususnya ketika perkara tersebut melibatkan pejabat tinggi negara. Salah satu kasus yang belakangan mencuat adalah terbitnya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh Polri terkait dugaan pemalsuan ijazah Presiden Indonesia ke-7 Joko Widodo (Jokowi).

Munculnya SPDP ini bukan semata respons hukum prosedural, melainkan bagian dari tekanan publik dan kekisruhan narasi yang telah mengemuka sejak lama. Yang menarik, dalam podcast yang dimoderatori Rismon Hasiholan Sianipar, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Sofian Effendi, menyatakan, “tidak ditemukan data resmi Presiden Jokowi sebagai alumni UGM.”

Pernyataan tersebut memiliki implikasi hukum yang sangat serius dan membuka pintu bagi penerapan asas-asas hukum seperti actio de reporto dan actio ad exhibendum, yang selama ini jarang disentuh dalam diskursus pidana kontemporer Indonesia.

● Actio de Reporto dan Actio ad Exhibendum: Tanggung Jawab atas Laporan dan Kewajiban Pembuktian

Secara klasik, actio de reporto adalah suatu tuntutan hukum yang menghendaki pertanggungjawaban pihak pelapor atas substansi laporan yang diajukannya. Sementara itu, actio ad exhibendum merupakan tuntutan terhadap pihak yang memiliki dokumen atau barang bukti untuk menghadirkannya di hadapan otoritas hukum sebagai syarat terpenuhinya due process of law.

Baca juga:  Penakut, Jokowi tak Berani Terima Tantangan Surya Paloh

Dalam konteks dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi, keberadaan ijazah adalah objek pembuktian. Maka secara yuridis, actio ad exhibendum dapat digunakan sebagai dasar hukum yang mewajibkan pihak terkait—dalam hal ini Presiden Jokowi, UGM, dan Kementerian Pendidikan—untuk menyerahkan bukti keaslian ijazah secara terbuka dan dapat diverifikasi publik. Tanpa pemenuhan prinsip ini, proses hukum menjadi timpang dan tidak memenuhi prinsip audi et alteram partem.

Pernyataan Prof. Sofian Effendi bahwa nama Jokowi tidak ditemukan dalam database UGM, memperkuat urgensi penggunaan pendekatan actio ad exhibendum, karena dalam banyak yurisdiksi, kegagalan menghadirkan dokumen otentik akan menimbulkan implikasi hukum serius, termasuk dugaan pemalsuan dokumen publik (falsus in documento publico).

● SPDP sebagai Titik Awal: Antara Harapan dan Ilusi Penegakan Hukum

Terbitnya SPDP patut dicatat sebagai sinyal awal bahwa, kasus ini mulai ditangani secara formil. Namun, perlu diingat bahwa SPDP bukanlah jaminan akan adanya kelanjutan proses hukum. Oleh karena itu, publik dan komunitas hukum perlu secara aktif mendorong penggunaan prinsip inquisitorial demi memastikan adanya tindakan penyidikan yang objektif dan tidak terhalang tekanan politik.

Dalam perkara seperti ini, publik sebagai subjek hukum memiliki hak untuk melakukan pengujian keabsahan dokumen publik. Hal ini sesuai dengan asas ubi jus ibi remedium—di mana ada hak, di situ ada upaya hukum. Penggunaan actio ad exhibendum secara progresif dapat ditempuh melalui pengadilan untuk memaksa pihak yang berwenang mempublikasikan atau menghadirkan dokumen asli ijazah tersebut.

Baca juga:  Pernyataan Boy Thohir dan Deklarasi Perang Kelas, Oligarki Melawan Rakyat Jelata

● Konstruksi Hukum: Ijazah sebagai Dokumen Publik dan Beban Pembuktian Terbalik

Ijazah seorang Presiden, menurut UU Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14 Tahun 2008), termasuk dalam kategori dokumen publik yang harus dapat diakses, apalagi bila disengketakan keasliannya. Oleh karena itu, beban pembuktian tidak sepenuhnya berada di pihak pelapor, melainkan justru pada pihak yang memegang dokumen tersebut.

Dalam hukum acara pidana Indonesia, prinsip in criminalibus probationes debent esse luce clariores (dalam perkara pidana, pembuktian harus lebih terang dari cahaya) menuntut kejelasan absolut. Artinya, ketiadaan dokumen resmi, apalagi bila telah diminta secara sah, dapat menjadi indikasi kuat adanya pemalsuan atau ketidakabsahan dokumen.

Kesimpulan: Kewajiban Negara untuk Menegakkan Transparansi dan Keadilan

Dalam negara hukum (rechtstaat), tidak ada seorang pun, termasuk Presiden, yang kebal terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas. Munculnya SPDP, diperkuat oleh pernyataan otoritatif seperti dari Prof. Sofian Effendi, seharusnya tidak menjadi polemik politik belaka, melainkan momentum hukum untuk memperkuat supremasi hukum dan integritas dokumen publik.

Penerapan actio de reporto terhadap pelapor harus pula dibarengi dengan prinsip kehati-hatian, tetapi penerapan actio ad exhibendum harus segera dijalankan sebagai langkah konkret agar keadilan tidak mati di tangann kelambanan birokrasi dan permainan kuasa.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News