Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Bogor, Maulana Abdurrahman Wahid, mengungkapkan keprihatinannya atas dampak kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi—yang akrab disapa Kang Dedi Mulyadi (KDM)—terhadap keberlangsungan pendidikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah di Kota Bogor. Dalam keterangannya, Maulana menyebut jumlah siswa di sekolah-sekolah Muhammadiyah mengalami penurunan drastis dalam beberapa tahun terakhir, yang menurutnya tak bisa dilepaskan dari arah kebijakan pendidikan provinsi di bawah kepemimpinan KDM.
“Dulu SD Muhammadiyah Kota Bogor memiliki 22 murid, sekarang tinggal 11. SMA Muhammadiyah hanya memiliki 25 siswa, dan SMK Muhammadiyah hanya mampu menarik 14 siswa. Ini angka yang sangat mengkhawatirkan,” ujar Maulana dalam keterangan kepada wartawan, Rabu (16/7).
Menurut Maulana, penurunan jumlah siswa itu bukan semata-mata karena faktor internal sekolah Muhammadiyah, melainkan juga akibat kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang dinilai tidak berpihak pada sekolah-sekolah swasta, khususnya yang berbasis keagamaan seperti Muhammadiyah.
“Sekolah negeri sekarang dibantu sangat besar oleh pemerintah, mulai dari penghapusan biaya pendidikan hingga pembangunan fisik. Sementara sekolah swasta dibiarkan bersaing tanpa subsidi yang setara,” jelasnya.
Maulana menyebut, sejak KDM menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, arah kebijakan pendidikan lebih banyak terpusat pada penguatan sekolah negeri dan program digitalisasi yang tidak merata distribusinya serta sekolah negeri dibolehkan 50 siswa di kelas. “Ini membuat orang tua lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya ke negeri. Sekolah swasta akhirnya seperti kami terpinggirkan,” ucapnya.
Pihak Muhammadiyah juga mengeluhkan sulitnya menutup beban operasional sekolah. Dengan jumlah siswa yang terus menurun, pemasukan sekolah dari SPP menjadi sangat minim. Padahal, untuk membayar gaji guru dan staf saja dibutuhkan biaya tetap yang tidak sedikit.
“Contohnya, SD Muhammadiyah sekarang hanya punya 11 siswa. Bagaimana mungkin bisa membayar guru dan menjaga kualitas jika tidak ada dukungan?” kata Maulana.
Ia menyebut banyak sekolah swasta Muhammadiyah di wilayah lain juga mengalami hal serupa. “Ini bukan masalah Bogor saja. Tapi di berbagai daerah Jawa Barat, sekolah-sekolah Muhammadiyah dan bahkan NU pun mengalami tekanan yang sama,” tambahnya.
Maulana menekankan bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi besar di bidang pendidikan, sosial, dan keagamaan telah berkontribusi besar bagi Indonesia, termasuk Jawa Barat. Namun ia menilai, belakangan peran dan kontribusi itu seolah tak dihargai dalam kebijakan pemerintahan provinsi.
“Kami tidak minta diistimewakan, tapi mohon diperlakukan adil. Sekolah Muhammadiyah sudah berdiri sejak zaman perjuangan kemerdekaan. Sekarang justru seperti dibiarkan mati pelan-pelan,” ujarnya.
Ia mendesak Pemprov Jabar untuk lebih terbuka berdialog dengan organisasi masyarakat, khususnya Muhammadiyah, dalam penyusunan kebijakan pendidikan. “Kami perlu duduk bersama. Jika dibiarkan, dalam lima tahun lagi bisa jadi sekolah Muhammadiyah tinggal nama,” tandasnya.