Diplomasi tidak selalu harus berlangsung di ruangan tertutup dengan protokol yang ketat. Kadang, ruang makan sederhana dengan hidangan khas Nusantara justru menjadi tempat terbaik membangun kepercayaan dan menyulam kerja sama yang berkelanjutan. Itulah yang terlihat dalam pertemuan hangat antara Direktur Lembaga Analisis dan Kajian Publik (LANSKIP), Abdul Rachmat Saleh, dengan Pimpinan Bank Syariah Indonesia (BSI) Cabang Merdeka Kota Bogor, Rizky Aria Fitranda, di sebuah rumah makan lokal, Selasa (8/7/2025).
Pertemuan yang awalnya terkesan biasa itu ternyata menyimpan makna strategis. Meja makan yang sederhana tanpa dekorasi mencolok menjadi saksi awal mula terbangunnya kesepahaman antara dua institusi yang sama-sama peduli pada kemajuan masyarakat, khususnya dalam bidang ekonomi syariah dan literasi publik.
“Meja makan ini bukan sekadar tempat mengisi perut, tapi ruang diplomasi tempat nilai, ide, dan kerja sama dirajut,” kata Abdul Rachmat di sela santap siang itu.
Diskusi hangat di sela-sela hidangan itu tidak hanya berisi canda ringan atau nostalgia masa lalu. Justru sebaliknya, meja makan itu menjadi ruang terbuka membahas kerja sama antara LANSKIP dan BSI, mulai dari edukasi publik tentang ekonomi syariah, pendampingan UMKM binaan, hingga rencana penyelenggaraan forum diskusi publik bertema “Syariah untuk Semua.”
Rizky Aria Fitranda, selaku pimpinan BSI Cabang Merdeka, menyambut baik inisiatif tersebut. Ia menilai bahwa sinergi antara lembaga riset publik seperti LANSKIP dengan lembaga keuangan syariah sangat penting di era disrupsi informasi saat ini.
“Kolaborasi seperti ini memberi harapan baru. Bank syariah tak bisa hanya fokus pada pelayanan transaksi, tapi juga harus terlibat aktif dalam penguatan literasi ekonomi masyarakat. Di sinilah LANSKIP bisa jadi mitra strategis kami,” ungkap Rizky.
Diplomasi meja makan sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah politik dan ekonomi dunia. Banyak keputusan besar bahkan perdamaian antarnegara dibangun lewat obrolan santai di meja makan. Mantan presiden AS Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill misalnya, banyak menyusun strategi Perang Dunia II di meja makan pribadi, bukan di ruang perundingan formal.
Abdul Rachmat menegaskan bahwa budaya diskusi ringan namun bermakna ini perlu dihidupkan kembali di tingkat lokal. Apalagi dalam konteks membangun kepercayaan antar lembaga dan memajukan agenda-agenda kebaikan bersama.
“Jangan remehkan obrolan ringan di meja makan. Justru dari sanalah kita bisa saling memahami, membuka diri, dan mulai merancang langkah konkret bersama,” ujarnya.
Apa yang terjadi pada siang itu memang bukan penandatanganan MoU formal. Namun justru dari kesederhanaan itulah muncul ruang dialog yang jujur dan cair. Diplomasi meja makan, seperti ditunjukkan Abdul Rachmat dan Rizky Aria Fitranda, membuktikan bahwa kerja sama tak harus diawali dengan seremoni, tapi dengan niat baik dan keterbukaan—bahkan jika itu dimulai dari semangkuk sup dan segelas teh hangat.
“Kami ingin menjaga semangat pertemuan ini, agar menjadi contoh bahwa perubahan bisa dimulai dari tempat yang paling sederhana,” tutup Abdul Rachmat sambil tersenyum.