Jakarta – Pengamat intelijen dan geopolitik Amir Hamzah, menyoroti kurangnya transparansi aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus korupsi di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, banyak kasus besar yang melibatkan pejabat atau keluarga mantan presiden tidak mendapat tindak lanjut yang jelas.
Salah satu yang menjadi sorotan Amir adalah dugaan pencucian uang ke anak Jokowi Gibran dan Kaesang yang melibatkan perusahaan PT SM, yang sebelumnya dikaitkan dengan kasus pembakaran hutan pada 2015. Perusahaan ini sempat digugat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan tuntutan ganti rugi Rp 7,9 triliun. Namun, pada Februari 2019, Mahkamah Agung hanya mengabulkan ganti rugi sebesar Rp 78 miliar.
Selain itu, Amir juga mengkritisi sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak menindaklanjuti laporan gratifikasi yang melibatkan Kaesang Pangarep, anak bungsu Presiden Joko Widodo. “Alasan KPK karena dia bukan pejabat negara, padahal saat itu ia mendapatkan pengamanan sebagai anak presiden,” ujar Amir kepada wartawan, Sabtu (15/3/2025).
Amir juga menyoroti kasus di tubuh Pertamina, di mana Jaksa Agung memutuskan bahwa Boy Thohir, kakak dari Erick Thohir, tidak terlibat dalam dugaan korupsi Pertamina. “Padahal, Boy Thohir bahkan belum diperiksa. Dia diduga mengendalikan pejabat-pejabat Pertamina yang kini mendekam di tahanan melalui dua orang kepercayaannya, R. Harry Zunardi alias AI dan Febri Prasetyadi Suparta alias James,” ungkapnya.
Menurut Amir, Harry Zunardi adalah sosok yang menggantikan Erick Thohir sebagai Komisaris Utama PT Mahaka Media Tbk (ABBA) pada 2019, saat Erick diangkat menjadi Menteri BUMN. “Ini menunjukkan ada jaringan kekuasaan yang saling melindungi,” tambahnya.
Tak hanya itu, kasus lain yang menurut Amir belum mendapat kejelasan adalah dugaan keterlibatan menantu Jokowi, Bobby Nasution, dalam pengelolaan Blok Medan serta permainan tambang nikel di Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, yang diduga melibatkan Kahiyang Ayu dan Bobby. “Hingga kini, tidak ada tindak lanjut yang jelas terhadap kasus-kasus tersebut,” kata Amir.
Amir menegaskan bahwa ketidaktegasan dalam pemberantasan korupsi berimbas pada minimnya pemasukan negara. “Harta koruptor yang disita seharusnya bisa membantu APBN,” ujarnya.
Dalam kasus lain, mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL), dalam persidangan dugaan korupsi di kementeriannya, menyebut nama Jokowi. SYL mengungkap bahwa kebijakan yang ia jalankan, termasuk menarik uang dari bawahan, merupakan tindak lanjut instruksi Jokowi terkait krisis pangan akibat Covid-19 dan El Nino.
Amir menilai bahwa ketidaktransparanan dalam pemberantasan korupsi ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia. “Jika hal ini terus dibiarkan, maka pemberantasan korupsi hanya menjadi retorika tanpa tindakan nyata,” pungkasnya.