RDP Komisi II DPR: Wakil Rakyat Harus Segera Menyelamatkan Kedaulatan Tanah NKRI, Lindungi Rakyat dari Kejahatan Oligarki Rakus PIK-2

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H, Advokat, Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR-PTR)

Hari ini (Selasa, 04/3), kami dari Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat diundang oleh Komisi II DPR RI, untuk Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait masalah pertanahan. Sebelumnya, 5 Desember 2024 lalu kami memang telah mengirimkan Surat Permohonan Audensi.

Bu Andi Zastrawati dan Bu ARLEN INTANI selaku Tenaga Ahli komisi II DPR RI, yang mengirimkan undangan. Kami diundang untuk hadir dalam RDPU dan RDP di komisi II pada hari Selasa, 4 Maret 2025, pukul 11.00 s/d selesai. Berempat di Ruang Rapat Komisi II (KK II) gedung nusantara DPR RI, dengan acara audiensi terkait permasalahan Tanah.

Langsung saja, informasi tersebut penulis teruskan kepada seluruh Tim, baik kuasa hukum maupun Penggugat perkara 754/Pdt.G/2024/PN. JKT.Pst. Alhamdulillah, hari ini sejumlah tim yang terlibat sudah mengkonfirmasi akan hadir, baik dari Aliansi Rakyat Menggugat (ARM) maupun Forum Purnawirawan Pejuang Indonesia (FPPI).

Sejumlah korban kasus perampasan tanah rakyat di proyek PIK-2, juga sudah mengkonfirmasi akan hadir. Penulis sengaja mengundang mereka turut hadir, agar DPR RI bisa menggali lebih dalam kasus perampasan tanah rakyat di proyek PIK-2, kepada korbannya langsung.

Adapun kami, ingin fokus pada bagaimana strategi perampasan tanah yang dilakukan oleh Oligarki, menggunakan hukum, aparat dan pejabat, memanfaatkan kebijakan yang sebelumnya telah didesain untuk kepentingan Oligarki.

Perampasan tanah dilakukan oleh Oligarki, baik di darat maupun di laut. Kasus pagar laut dan sertifikat laut PIK-2, adalah bukti kongkritnya. Meski KKP, ATR BPN hingga Mabes Polri tak menyentuh Agung Sedayu Group, namun fakta di lapangan sudah diketahui secara luas, bahwa dibalik kasus pagar laut dan sertifikat laut ada Agung Sedayu Group, untuk kepentingan proyek PIK-2 milik Aguan dan Anthony Salim.

Sementara itu, secara umum bahaya Kedaulatan tanah rakyat dan negara, terancam secara terstruktur, sistematis dan masif melalui produk hukum yang diterbitkan pemerintah dan DPR. Tentu, pruduk hukum tersebut sebelumnya telah dipesan oleh Oligarki.

UU Cipta Kerja khususnya peraturan di bidang pertanahan, yang dirinci dengan terbitnya PP No. 21 Tahun 2021, adalah sarana sistematis secara legal untuk merampas tanah daratan dan laut Indonesia. Hal itu dikarenakan dalam PP tersebut, diatur sejumlah pasal yang merupakan rincian pengaturan UU Cipta Kerja (UU No. 6 Tahun 2023) yang dapat digunakan untuk merampas wilayah darat dan laut Indonesia.

A. Modus Operandi Perampasan Wilayah Darat (Tanah Rakyat)

1. Dilakukan dengan mendelegitimasi bukti kepemilikan tanah rakyat melalui ketentuan Pasal 96 PP No. 18 Tahun 2021, dimana kepemilikan tanah berdasarkan Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia, bukti tertulis tanah bekas milik adat dinyatakan tidak berlaku dan tidak dapat digunakan sebagai alat pembuktian hak atas tanah, hanya sebagai petunjuk dalam rangka pendaftaran tanah.

2. Pemerintah memberikan batas waktu hingga Desember 2025 agar masyarakat meningkatkan bukti tersebut menjadi SHM. Jika hingga Desember 2025 masyarakat tidak meningkatkan bukti kepemilikan menjadi SHM, maka terhitung sejak Januari 2026, masyarakat dianggap tidak memiliki bukti kepemilikan atas tanah dan tanah mereka akan mudah dirampas oleh pihak lainnya (mafia tanah) yang telah bermain mata dengan BPN dan memiliki bukti kepemilikan baik Sertifikat Hak Milik (SHM) maupun Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).

3. Hal itu ditegaskan dalam dalam Pasal 76 A ayat 1 PP No. 18 Tahun 2021 disebutkan, alat bukti tertulis tanah bekas milik adat yang dimiliki oleh perseorangan berupa Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia dan alat bukti bekas hak milik adat lainnya dengan nama atau istilah lain dinyatakan tidak berlaku setelah lima tahun sejak Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.

4. Saat Bukti kepemilikan tanah berdasarkan Petuk6 Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia, bukti tertulis tanah bekas milik adat dinyatakan tidak berlaku dan tidak dapat digunakan sebagai alat pembuktian hak atas tanah, maka hal ini sama saja melapangkan jalan Mafia Tanah (para Oligarki) untuk merampas tanah rakyat melalui kolusi dengan BPN lewat diterbitkannya Sertifikat Hak Milik (SHM) maupun Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama pribadi atau korporasi Oligarki Mafia Tanah.

B. Modus Operandi Perampasan Wilayah Laut (Melalui Modus Tanah Musnah untuk mendapatkan Hak Reklamasi/Rekonstruksi)

1. Pasal 49 UU Cipta Kerja mulai memperkenalkan istilah ‘Tanah Musnah’ sebagai pintu masuk untuk merampas wilayah laut, untuk dijadikan milik individu maupun korporasi.

2. Dalam Pasal 66 PP Nomor 18 tahun 2021, diatur rincian dan tahapan untuk mendapatkan hak reklamasi/rekonstruksi melalui pintu ‘Tanah Musnah’.

3. Oligarki Mafia tanah berkerja sama dengan desa membuat rekayasa, seolah-olah ada tanah yang dahulu daratan lalu musnah terkena abrasi. Modusnya, membuat girik-girik palsu di wilayah laut, yang diklaim dahulu adalah daratan.

4. Girik-girik palsu ini, ditransaksikan (diperjualbelikan), lalu ditingkatkan menjadi sertifikat baik SHGB maupun SHM.

5. Diatas sertifikat laut, baik SHGB maupun SHM ini, dibuat pagar laut untuk menguasai wilayah laut secara fisik.

6. Setelah SHM dan SHGB tersebut ditetapkan sebagai tanah Musnah, maka pemegang hak atas SHM dan SHGB di laut itu akan mengajukan hak untuk melakukan reklamasi/rekonstruksi, bahkan bisa mengajukan permintaan uang kerohiman.

7. Modus perampasan laut ini, persis seperti apa yang terjadi pada kasus pagar laut PIK-2 di Laut Tangerang Utara.

Berikut rincian tentang Pasal 66:

Tanah Musnah

Pasal 66

(1) Dalam hal terdapat bidang tanah yang sudah tidak dapat diidentifikasi lagi karena sudah berubah dari bentuk asalnya karena peristiwa alam sehingga tidak dapat difungsikan, digunakan, dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya, dinyatakan sebagai Tanah Musnah dan Hak Pengelolaan dan/atau Hak Atas Tanah dinvatakan hapus.

(2) Penetapan Tanah Musnah sebagaimana dirnaksud pada ayar (1) dilakukan dengan tahapan identifikasi, inventarisasi, dan pengkajian.

(3) Sebelum ditetapkan sebagai Tanah Musnah, pemegang Hak Pengelolaan dan/atau Hak Atas Tanah (Agung Sedayu Group/mafia tanah) diberikan prioritas untuk melakukan rekonstruksi atau reklamasi atas pemanfaatan Tanah.

(4) Dalam hal rekonstruksi atau reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, *atau pihak lain maka pemegang Hak Pengelolaan dan atau Hak Atas Tanah (Agung Sedayu Group/Mafia Tanah) diberikan bantuan dana kerohiman.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Tanah Musnah diatur dengan Peraturan Menteri.

DPR memang turut bersalah, karena telah mempelopori terbitnya UU Cipta Kerja yang menjadi landasan terbitnya PP No. 18 tahun 2021 Tentang Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Namun saat ini, saatnya bagi DPR untuk mengevaluasi kesalahan.

Melalui kewenangan yang ada di DPR RI, Penulis menyampaikan usulan sebagai berikut:

Pertama, DPR RI segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk melakukan penyelidikan terhadap praktik perampasan tanah rakyat di proyek PIK-2, di wilayah Provinsi Banten.

Kedua, DPR mendesak kepada Pemerintah untuk segera membatalkan status PSN PIK-2, sekaligus menghentikan proyek PIK-2 sampai tuntas dilaksanakan penyelidikan oleh DPR.

Ketiga, DPR wajib memperjuangkan kedaulatan tanah NKRI, melalui pembatalan PP No.18 tahun 2021 dan UU Cipta Kerja. DPR harus menghapus kesalahan, dengan membatalkan UU Cipta Kerja, dengan memasukkan rencana pembatalan UU Cipta Kerja dalam Prolegnas di DPR RI.

Keempat, DPR mendesak aparat penegak hukum, Kementerian dan lembaga terkait, untuk menindak seluruh pihak yang terlibat dalam perampasan tanah rakyat di proyek PIK-2, baik di darat maupun di laut, baik oknum pejabat maupun aparat, pelaksana teknis di lapangan dan pemilik proyek PIK-2. [].

Simak berita dan artikel lainnya di Google News