Perubahan Nilai Masyarakat

Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat Politik dan Kader Muhammadiyah Kudus

Perubahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai sesuatu yang didambakan. Sebagai contoh dulu tahun 1998 rakyat Indonesia menghendaki perubahan nilai dan sosial lewat reformasi. Selang satu tahun kemudian rakyat Timor-Timur menghendaki perubahan nilai masyarakatnya dengan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia lewat referendum. Nun jauh 80 tahun yang lalu, rakyat Indonesia menghendaki adanya revolusi, perubahan cepat dan tepat untuk mencapai keinginan sendiri, dengan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Perubahan banyak bentuknya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perubahan dapat dimaknai dengan sebuah transformasi.  Menurut pengertian lain, transformasi menggapai sebuah masyarakat yang ideal dapat diamati pada prilaku lahiriahnya yang merupakan cerminan otentik dari nilai-nilai yang di-yakininya. Seperti halnya kebudayaan, da’wah adalah suatu “proses” menuju idealisasi kehidupan. Yaitu proses transformasi dan perubahan (tahawwul wa taghayyur) yang teratur dan berkelanjutan. Transformasi nilai yang maju dan berjalan terus-menerus dalam totalitas hidup, baik secara kualitas ataupun secara kuantitas. Dalam sejarah manusia keidealan sebuah masyarakat, termasuk masyarakat muslim, adalah pancaran dari keberhasilan proses transformasi yang dilakukannya. Nabi Muhammad SAW ketika proses tranformasi yang dilakukakannya telah mencapai kesempurnaan, beliau me-nyatakan “khairun qurun qarni” (abad terbaik (ideal) adalah abadku)

Dalam aplikasinya, proses transformasi dapat diamati melalui perubahan-perubahan yang terjadi dalam segala aspek kehidupan manusia disertai segala konsekuensi yang diakibatkannya.

Perubahan itu sendiri adalah suatu “proses” sebagaimana diisyaratkan Allah SWT, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS, al-Ra’ad [13]: 11).

Terkadang, perubahan terjadi berturut-turut meliputi satu atau dua aspek, dan melahirkan konsekuensi kegoncangan yang menuntut pencapaian keseimbangan psikologis dari satu gejala ke gejala yang lain. Namun tidak jarang perubahan itu berlangsung dengan mulus sehingga proses transformasi berlangsung seolah tanpa dirasakan individu yang bersang-kutan. Awal proses transformasi adalah “transformasi pengetahuan”. Langkah ini dapat melahirkan perubahan dari ketida-ktahuan menjadi tahu. Dengan kata lain, seseorang yang sebelumnya tidak tahu tentang al-haq, melalui serangkaian proses “transformasi pengetahuan”, ia menjadi tahu. Pada umumnya pengetahuan terhadap al-haq tersebut diperoleh manusia melalui wahyu yang telah disampaikan oleh para nabi dan utusan-Nya. Namun proses transformasi tidak hanya berhenti sampai dimilikinya pengetahuan tentang sifat hakiki al-haq tersebut, akan tetapi harus berlanjut hingga eksistensinya menjadi warna totalitas kehidupannya. Itulah yang disebut dengan “kesadaran akan al-haq”. suatu kesadaran yang melibatkan pe-muasan kognisi dan emosi seseorang.

Kesadaran religius yang menyatukan pengalaman dan pengetahuan tentang al-haq menjadi kepribadian; yang me-ngintegrasikan nilai-nilai, pilihan-pilihan. ide-ide, dan keteladanan orang lain menjadi bagian dari diri sendiri. Semua itu hanya mungkin diwujudkan melalui inter nalisasi al-haq tersebut. Melalui proses internalisasi al-haq. transformasi yang telah membuahkan kesadaran tersebut akan menjadi bagian dari diri seseorang hingga gerak dan prilakunya didorong oleh nilai-nilai yang telah tertanam di dalam dirinya (sibghah)

Di sini proses transformasi telah me-nemukan sosoknya yang jelas, yaitu teraktualisasinya al-haq dalam totalitas gerak dan prilakunya hingga menjadi identitas budaya pribadi, Ketika manusia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, akan terjadi dina-mika pencampuran berbagai identitas budaya pribadi yang akan melahirkan penyesuaian-penyesuaian, baik berupa pengurangan atau pun penambahan elemen identitas budaya. Pencampuran tersebut akan mene-mukan bentuk akhirnya berupa identitas budaya kolektif yang bersumber dari al-haq. Dapat dibayangkan, bila berbagai identitas budaya pribadi tersebut meru-pakan perwujudan atau aktualisasi nilai-nilai yang positif (al-haq), maka akan memperkuat terbentuknya identitas budaya kolektif yang positif. Demikian juga sebaliknya. Sebab gerak dan prilaku yang tampil pada diri seseorang tidak lepas dari gambaran perilaku budaya yang terdekat dalam kehidupanya.

Dalam konteks da’wah, perilaku budaya lahir dari pengejewantahan cita budaya dan ideologi yang bersumber dari al-haq. la merupakan elemen asasi yang mendasari semua lapisan perilaku budaya. Cita budaya berisi prinsip-prinsip, norma-norma, serta nilai-nilai Ilahiah yang mengarahkan dan memberi bentuk pada prilaku budaya yang pada akhirnya akan melahirkan peradaban. Dalam realisasinya selalu menuntut optimalisasi ruang dan waktu.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News