Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut bahwa galon kuat polikarbonat atau galon guna ulang aman untuk digunakan. Potensi terjadinya migrasi Bisfenol A (BPA) yang merupakan monomer dari pembentuk polimer polikarbonat sangat kecil sekali.
“Ikatan polimer polikarbonat yang menjadi bahan material galon kuat polikarbonat membuat kekuatan wadahnya tetap lebih baik dari wadah plastik lainnya,” kata Periset Ahli Madya Pusat Riset Teknologi Polimer (PRTP) BRIN Syuhada dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (19/11/2024).
Syuhada menuturkan ikatan polimer polikarbonat yang ada pada galon kuat polikarbonat itu sangat kuat dan kecil kemungkinan untuk rusak. Kalaupun sampai rusak, proses migrasi BPA itu tidak keluar dalam jumlah besar atau hidrolisis keluarnya hanya sedikit secara perlahan.
Migrasi BPA ke dalam air juga tidak bakal terjadi apabila permukaan galon mengalami gesekan. “Tapi, kalau sudah menembus ke dalam atau sekitar 0,1 mili, itu mungkin baru ada migrasinya dan itupun jumlahnya tidak banyak. Tapi, kalau hanya tergores saja, migrasi BPA tidak akan terjadi,” ujarnya.
Ia menjelaskan galon kuat polikarbonat juga terbukti sangat tahan terhadap suhu panas. Suhu transisi gelas (Tg) atau titik lelehnya mencapai 150-230 derajat celcius, yang artinya galon akan baru rontok jika panasnya mencapai suhu tersebut.
Selain itu galon kuat polikarbonat sudah sangat umum digunakan untuk Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) karena juga memiliki sifat yang transparan dan mudah dibentuk.
Menurutnya galon plastik polikarbonat telah lama digunakan sebagai kemasan galon untuk AMDK di banyak negara, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan China karena ketahanannya terhadap perubahan suhu dan kekuatan struktural yang unggul. Alasan lain penggunaan galon jenis itu juga memiliki keunggulan yakni dapat digunakan berulang kali, mendukung konservasi energi dan sumber daya, serta berkontribusi pada pengurangan emisi karbon.
BPA adalah bahan baku pembuatan jenis plastik polikarbonat dan epoksi. Karena manfaatnya, BPA tidak hanya dipakai pada kemasan air minum, namun juga banyak ditemukan pada barang-barang di sekitar kita. Selain kemasan pangan, BPA juga digunakan untuk thermal paper pada kertas ATM/struk belanja, CD, peralatan olahraga, hingga peralatan medis seperti selang kateter dan tambalan gigi.
Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap BPA, termasuk jenis-jenis plastik yang digunakan sebagai bahan kemasan pangan membuat misinformasi menjadi semakin mudah tersebar dan menimbulkan pemahaman yang salah. Untuk menghindari meluasnya penyebaran informasi yang salah, masyarakat diimbau untuk membiasakan diri mencari informasi secara utuh dan menyeluruh.
Pengamat Sosial Universitas Indonesia mengatakan misinformasi bisa menimbulkan kebingungan. “Jangan mudah termakan oleh isu beredar yang belum bisa dipercaya kebenarannya,” katanya.
Guru Besar Ilmu Rekayasa Proses Pengemasan Pangan IPB Prof Nugraha Edhi Suyatma mengatakan belum ada studi yang membuktikan bahwa kandungan BPA ditemukan pada air minum dalam kemasan galon. “Penelitian terbaru yang dilakukan peneliti ITB justru tidak menemukan BPA di galon air minum dari empat merk yang banyak dikonsumsi di Indonesia. Hasilnya tidak terdeteksi melalui alat yang paling sensitif sekalipun,” katanya.
BPA sering dituding sebagai salah satu penyebab risiko permasalahan kesehatan. BPA dianggap dapat menyebabkan infertilitas, gangguan hormon, memicu kolesterol serta menyebabkan kanker.
Namun, beberapa ahli di bidang kesehatan didukung penelitian ilmiah, memiliki pandangan yang berbeda. Dokter Spesialis Kandungan dan Kebidanan dari Tzu Chi Hospital dr. Ervan Surya mengatakan hingga saat ini belum ada studi ilmiah yang konklusif mengenai pengaruh luruhan BPA terhadap infertilitas. Bahkan berdasarkan hasil studi yang beliau temukan, tidak ada korelasi antara BPA dengan gangguan kesuburan.
“Infertilitas dapat terjadi karena pengaruh gaya hidup yang tidak sehat, seperti merokok, dan olahraga yang terlalu berat. Merokok sudah jelas-jelas terbukti sebagai salah satu penyebab gangguan kesuburan, namun sepertinya masyarakat tidak khawatir akan hal ini, malah cenderung panik dengan isu lain yang belum terbukti kebenaran fakta ilmiahnya, contohnya BPA ini,” katanya Ervan.