Mempertanyakan Fungsi Pengawasan Dinas Koperasi Provinsi Jawa Tengah dalam Kasus BMT Mitra Umat Pekalongan

Oleh: Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan

Kasus gagal bayar BMT Mitra Umat Pekalongan dengan nominal hampir 90 miliar ini menyita perhatian saya. Puluhan ribu nasabah menjadi korban kekejian pengurus koperasi berbasis syariah tersebut. Kasus sudah ditangani pihak kepolisian Kota Pekalongan. Saya dan seluruh korban berharap pihak kepolisian dapat menangani masalah ini dan memberikan solusi-solusi penyelesaian.

Kenapa pihak kepolisian? Selama perjalanan saya mendampingi para korban dalam menuntut keadilan dan hak-haknya, saya pribadi merasa hingga hari ini, pihak kepolisianlah yang transparan dari awal pelaporan hingga BAP semuanya dilaporkan, ada tindak lanjut atas aduan para korban, tidak stag.

Sementara pihak lain seperti dinas koperasi provinsi Jawa Tengah, hingga hari ini saya dan para korban tidak tahu apa yang sudah mereka lakukan untuk kasus BMT Mitra Umat tersebut.
Indikasi awal saya menilai minimnya pengawasan Dinas Koperasi Provinsi Jawa Tengah terhadap kasus gagal bayar BMT Mitra Umat ini adalah ketika saya dan perwakilan korban pada tanggal 22 Agustus 2024 meminta buku RAT (Rapat Anggota Tahunan) BMT Mitra Umat tutup buku 2023, secara lisan Dinas Koperasi Provinsi mengatakan tidak punya bukunya.
Jawaban Dinas Koperasi Provinsi ini mencerminkan adanya masalah mendasar dalam tata kelola dan pengawasan terhadap lembaga keuangan berbasis koperasi di Jawa Tengah.

Pertama, jika Dinas Koperasi mengaku tidak mengetahui adanya RAT atau tidak berusaha untuk mendapatkan laporan keuangan tutup buku 2023, ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pemantauan dan pengawasan rutin. Padahal, RAT adalah salah satu mekanisme penting untuk mengevaluasi kesehatan keuangan dan operasional sebuah koperasi.

Ketidakaktifan dinas dalam hal ini bisa berdampak buruk, seperti lambatnya deteksi masalah keuangan yang dapat merugikan anggota koperasi.

Kedua, ketidakjelasan langkah-langkah yang diambil oleh Dinas dalam menangani kasus gagal bayar BMT Mitra Umat juga menimbulkan kekhawatiran. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai kurangnya transparansi dan akuntabilitas dari pihak berwenang dalam melindungi kepentingan anggota koperasi. Dinas seharusnya memiliki prosedur yang jelas dan tegas dalam menangani kasus-kasus semacam ini, termasuk memberikan pendampingan hukum kepada anggota yang dirugikan dan menegakkan sanksi kepada pihak yang bertanggung jawab.

Jadi, secara keseluruhan, situasi ini menyoroti perlunya reformasi dalam sistem pengawasan koperasi di Jawa Tengah, baik dari segi peningkatan kapasitas sumber daya manusia di dinas terkait maupun dari aspek regulasi dan mekanisme pengawasan yang lebih efektif. Tanpa langkah-langkah perbaikan yang signifikan, kepercayaan masyarakat terhadap koperasi, terutama yang berbasis syariah seperti BMT, dapat terus menurun. Jika Dinas Koperasi Provinsi sebagai pengawas dan pembina koperasi saja abai dalam pengawasannya, bukan tidak mungkin, pelan tapi pasti masyarakatpun akan takut dan khawatir untuk menabung di koperasi.