Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik
“Ya semua kita serahkan ke Pak Anies. Tentu mudah-mudahan sih Pak Anies juga sangat paham dengan PKS, menghargai PKS dan Insya Allah kita husnudzon Pak Anies akan tetap bersama dengan PKS,” [Presiden PKS, Ahmad Syaikhu, 27/6]
AKhirnya, PKS harus memakan buah simalakama dari pohon yang ditanamnya. Blunder PKS mengusung AMAN (Anies – Sohibul Iman) mulai nampak. PKS, terpaksa merelakan kadernya Sohibul Iman, dicopot dari posisi Cawagub, hanya demi bisa maju Pilkada Jakarta mengusung Anies.
Memang benar, PKS tak menggunakan frasa ‘menyerahkan posisi Cawagub ke parpol mitra Koalisi’. Tapi, esensinya PKS akan kehilangan kesempatan untuk menempatkan kadernya di posisi Cagub bahkan juga Cawagub, meski PKS pemenang Pemilu Jakarta dengan memboyong 18 kursi DPRD.
Dengan bahasa diperhalus, PKS memberikan keleluasaan kepada Anies Baswedan untuk memilih calon wakil gubernur dari partai politik lain meski telah mewacanakan duet bersama Sohibul Iman di Pilgub Jakarta 2024.
Hal tersebut disampaikan Ahmad Syaikhu Presiden PKS, saat merespons pertanyaan soal PKB yang membuka peluang mengusung Anies sebagai cagub sementara posisi wakil gubernur berasal dari PDIP, bukan dengan Sohibul Iman.
Sejak awal, PKS blunder. PKS, terlalu dini mengumumkan posisi Anies sebagai Cagub didampingi Sohibul Iman. Padahal, PKS tak memiliki kepentingan lagi meningkatkan elektabilitas dalam Pemilu, karena kursi DPRD sudah diperoleh.
Berbeda saat Pilpres, ketika PKS sejak dini mengusung Anies, ada harapan akan dampak ‘Ekor Jas’ bagi partai, memanfaatkan elektabilitas Anies. Sekarang, Anies tak memiliki ekor untuk meningkatkan elektabilitas PKS, karena Pemilu sudah usai. Bahkan, Anies masih memiliki beban berat elektabilitas karena kalah Pilpres.
PKS, berada sub ordinat dibawah Anies. PKS tak punya kepercayaan diri untuk membusungkan dada, berdikari mengepakkan sayap partai, tanpa bayang-bayang Anies. PKS, tak bisa memanfaatkan Anies, sebaliknya ‘dimanfaatkan Anies’ dan jatuh posisi tawarnya dihadapan parpol lain, meski sebagai pemenang Pemilu Jakarta.
Sebenarnya, jika deklarasi awal Sohibul Iman sebagai Cagub dipertahankan, lalu PKS merelakan posisi Cagub untuk Anies dan Sohibul Iman cukup di Cawagub, dengan syarat Anies memboyong satu parpol agar PKS bisa membeli tiket Pilgub, itu canggih. PKS mampu membangun simbiosis mutualisme dengan Anies, dengan manuver ‘Menawar lebih, untuk mendapatkan harga yang sepadan’.
Posisi Sohibul Iman sebenarnya realistisnya hanya Cawagub. Tapi ditawarkan sebagai Cagub. Saat Anies mampu memboyong satu partai untuk berkoalisi, maka PKS dengan kstaria menurunkan Sohibul Iman sebagai Cawagub, sebagai bentuk kompromi.
Target politik terpenuhi, wibawa partai terjaga, dan PKS bisa menjual narasi ‘demi masa depan Jakarta, PKS merelakan posisi Cagub untuk Anies’, dan tetap mendapatkan jatah kue kekuasaan dengan posisi Sohibul iman (atau kader lainnya), sebagai Cawagub.
Sekarang, PKS malah terkesan sekedar tim hore. PKS, menyerahkan posisi Cawagub kepada Anies. Partai lain, pasti mengincar posisi Cawagub jika diminta berkoalisi. Jika tidak, silahkan jalan sendiri.
Akhirnya, PKS hanya akan menjadi partai pemenang Pemilu Jakarta yang mengusung Anies dan kader parpol lainnya. Ini, jelas pilihan politik yang tak akan mendapat ridlo kader internal partai. PKS pemenang Pemilu Jakarta, tapi kalah dalam percaturan politik Pilkada. Pembaca punya pendapat lain?