Jurnalistik Investigasi Diatur di RUU Penyiaran, Aktivis Politik: Rezim Jokowi Membungkam Suara Kritis

Rezim Joko Widodo (Jokowi) membungkam suara kritis dengan adanya pengaturan jurnalistik Investigasi di RUU Penyiaran.

“Saya sudah baca draf RUU Penyiaran tentang pengaturan jurnalistik investigasi yang isinya membungkam suara kritik. Rezim Jokowi tidak ingin ada suara kritik untuk membongkar keburukan penguasa dan pengusaha yang melanggar aturan,” kata aktivis politik Rahman Simatupang dalam pernyataan kepada redaksi www.suaranasional.com, Rabu (15/5/2024).

Menurut Rahman, demokrasi di era Rezim Jokowi mengalami titik terendah. “Jokowi ingin membuat negara stabil dengan membungkam suara kritis,” ungkapnya.

Kata Rahman, Prabowo yang mempunyai karakter anti-kritik akan mendorong pengesahan RUU Penyiaran yang mengatur jurnalistik investigasi. “Ada pengkondisian di DPR untuk pengesahan RUU Penyiaran,” tegasnya.

Sebelumnya, penayangan eksklusif jurnalistik investigasi menjadi isi siaran dan konten yang dilarang dalam draf Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran terbaru atau versi Maret 2024.

Selain jurnalistik investigasi, 10 isi siaran dan konten juga dilarang karena tidak sesuai dengan kaidah Standar Isi Siaran (SIS). Aturan itu termaktub dalam Pasal 50B ayat (2). Di antaranya, media dilarang menayangkan isi dan konten siaran yang mengandung unsur mistik, pengobatan supranatural, serta rekayasa negatif informasi dan hiburan melalui lembaga penyiaran atau platform digital.

Kemudian, dilarang juga menyampaikan konten siaran yang subjektif menyangkut kepentingan politik yang berhubungan dengan pemilik dan/atau pengelola lembaga penyiaran dan penyelenggara platform digital penyiaran.

Dalam draf tersebut juga diatur mengenai sanksi apabila melanggar aturan pada ayat (2) tersebut, mulai dari teguran tertulis, pemindahan jam tayang, pengurangan durasi isi siaran dan konten bermasalah, penghentian sementara siaran, denda, hingga rekomendasi pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP). Sanksi administratif tersebut termaktub dalam Pasal 50B ayat (3).

Namun, sebelum penjatuhan saksi administratif, lembaga penyiaran diberikan kesempatan untuk menjelaskan dan berhak untuk menjawab. Tak hanya itu, pada Pasal 50B ayat (4) disebutkan bahwa pengisi siaran juga bisa dikenakan sanksi berupa teguran dan/atau pelarangan tampil.

Kemudian, dalam draf RUU disebutkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dapat membentuk panel ahli dalam melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran SIS dan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3).

Dalam draf RUU Penyiaran juga dikatakan bahwa penyusunan, penetapan sampai sosialisasi P3 dilakukan KPI setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR.

Aturan ini tecantum dalam Pasal 48 ayat (2). Demikian juga, SIS disusun dan ditetapkan oleh KPI setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR sebagaimana termaktub dalam Pasal 50A ayat (3).

Simak berita dan artikel lainnya di Google News


Baca Juga