Oleh: Tarmidzi Yusuf, Kolumnis
Prabowo Subianto presiden terpilih dukungan Presiden Jokowi mulai menampakkan watak aslinya. Otoriter dan anti kritik.
Ini yang dikhawatirkan kalangan civil society. Prabowo akan membungkam pihak yang kritis terhadapnya. Apalagi nama Prabowo pernah disebut-sebut dalam kasus penculikan aktivis tahun 1998.
Dalam acara Bimtek dan Rakornas PAN di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (9/5) Prabowo menyinggung pihak yang tak mau kerja sama, jangan mengganggu.
Ucapan ini ditafsirkan tertuju ke calon presiden yang juga kader PDIP, Ganjar Pranowo dan PDIP sendiri. Sebelumnya Ganjar Pranowo deklarasi sebagai oposisi Prabowo Subianto.
Ganjar Pranowo pun langsung membalas tudingan Prabowo tersebut. “Yang bekerjasama bisa saja mengganggu dan jangan sampai yang di dalam juga mengganggu pemerintahan,” kata Ganjar ke beberapa media.
Apakah kritik atau meluruskan kebijakan yang menyalahi konstitusi termasuk mengganggu? Misalnya terbaru soal perubahan aturan syarat capres-cawapres yang diubah oleh Mahkamah Konstitusi tidak boleh dikritik. Melanggar konstitusi atas nama konstitusi. Kacau bernegara seperti ini.
Rekam jejak Prabowo kalah Pilpres 2014 dan 2019 susah move on. Meski narasi yang berkembang saat itu Prabowo dicurangi oleh Jokowi yang di Pilpres 2024, Jokowi menjadi mesin pemenangan Prabowo-Gibran dengan cawe-cawenya itu.
Rakyat dan pesaing Prabowo di Pilpres 2024 yang kritis dan tidak mau bergabung pemerintahan Prabowo lalu dianggap sebagai pengganggu karena menyuarakan keadilan dan kebenaran?
Atau mungkin cermin dari keputusasaan Prabowo setelah gagal merangkul PDIP dan Ganjar Pranowo? Atau setidaknya berharap PDIP mau mengakui hasil Pilpres 2024 yang dianggap cacat moral dan cacat konstitusi karena Gibran belum cukup umur.
Mungkin juga berkembang opini di kalangan elit dan pendukung PDIP bahwa Prabowo sebagai representasi neo orde baru dan menangnya Prabowo dengan sokongan Jokowi di Pilpres 2024 sebagai awal kebangkitan orde baru yang selama ini lantang disuarakan oleh PDIP.
Sulit bagi PDIP menerima Prabowo meski pada Pilpres 2009 yang lalu, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Atau semata-mata faktor Gibran yang dinilai sebagai anak haram konstitusi. Bahkan dengan suara lantang PDIP menolak pelantikan Gibran sebagai wakil presiden yang cacat moral dan dipenuhi kecurangan itu.
Konstitusi kita sudah menjamin kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul. Bila pilihan politik Ganjar Pranowo dan PDIP mungkin juga partai parlemen lainnya yang mengambil sikap oposisi tak perlu pula dianggap sebagai memusuhi rezim Prabowo Subianto.
Rakyat punya hak politik untuk memilih. Kritis, oposisi ataupun bergabung dengan rezim yang berkuasa sama-sama baik sepanjang dijamin oleh konstitusi. Jangan dianggap sebagai penonton biasa dan menganggu.
Bandung,
3 Dzulqa’dah 1445/11 Mei 2024