Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik
Penulis tidak membela kecurangan Pemilu, bahkan penulis juga muak dan jijik dengan praktik kecurangan pada Pemilu 2024. Apa yang akan diputus oleh MK, juga sudah penulis tuangkan prediksinya dalam sejumlah tulisan, yakni : putusan MK hanya akan melegitimasi kecurangan.
Sejak mula, penulis tak setuju penyelesaian kecurangan politik dalam Pemilu melalui lembaga hukum di MK. Semestinya, diselesaikan melalui mekanisme politik dan dilaksanakan oleh lembaga politik di DPR, melalui hak angket.
Karena itu, penulis awalnya mendorong partai yang menjadi korban kecurangan, yang mengusung Paslon 01 dan 03 (PKS, NasDem, PKB, PPP & PDIP), mengaktifkan hak angket di DPR. Sebab, secara kumulatif suara partai pendukung Paslon 01 dan 03 melebihi 50 % sehingga dipastikan akan menang saat prosesnya sampai paripurna.
Tapi sudahlah, orang politik di DPR sebenarnya setali tiga uang. Mereka juga sama-sama curang dan pengkhianat, sehingga tak mungkin ada ‘Jeruk Makan Jeruk’. Akhirnya, isu hak angket hanya jadi dagangan politik.
Jangankan memenuhi suara paripurna untuk menyetujui hak angket Pemilu curang. Usulan hak angket yang syaratnya cuma 25 anggota DPR dan 2 fraksi saja tidak pernah wujud. Semua parpol pengecut, hanya berani membenturkan rakyat, tapi tak berani berbenturan politik sendiri. Rakyat yang didorong kedepan sebagai tumbal.
Hari ini pun (Selasa, 9/4), penulis merasa tak nyaman dengan tulisan Megawati Soekarno Putri yang terkesan memelas, menghiba kepada MK dan playing victim dihadapan rakyat. Amicus Curae yang ditulis Megawati tak akan mengubah keputusan MK, kecuali hanya bisa dijadikan framing untuk membangun citra Politik Megawati dan PDIP, seolah menjadi korban kecurangan.
Megawati menuding Jokowi sebagai Presiden, bertanggungjawab atas kecurangan Pemilu 2024. Dalam tulisannya, Megawati menegaskan:
“Presiden memegang kekuasaan atas negara dan pemerintahan yang sangat besar. Karena itulah penguasa eksekutif tertinggi tersebut dituntut standar dan tanggung jawab etikanya agar kewibawaan negara hukum tercipta,”
Padahal, siapa yang mengorbitkan Jokowi dari seorang ‘Ndeso di Solo’ menjadi pejabat penting. Dari Walikota Solo, Gubernur setengah jalan DKI Jakarta, hingga menjadi monster politik dalam jabatan Presiden 2 periode?
Semua itu tanggungjawab Megawati dan PDIP. Megawati-lah, yang mengasuh dan menggendong Jokowi hingga menjadi orang besar, walau akhirnya berkhianat pada Megawati. Jadi, sebenarnya rakyat juga berhak menuntut Megawati dan PDIP atas kerusakan bangsa, termasuk kecurangan Pemilu yang dilakukan Presiden Jokowi.
Tapi sayang, Mega dan PDIP tidak berbuat.
Saat sebelum Pemilu, banyak tuntutan agar Menteri PDIP ditarik dari kabinet Jokowi untuk menekan Presiden Jokowi, agar rencana curang bisa dibatalkan. Nyatanya itu tidak dilakukan PDIP, dengan dalih menjaga kepentingan nasional.
Tapi publik juga membaca, keengganan itu faktornya pragmatis saja, PDIP juga ingin mengoptimalisasi kewenangan di kementerian untuk kepentingan Pemilu 2024. Bukan demi menjaga kepentingan nasional. Tepatnya menjaga kepentingan elektabilitas PDIP dalam Pemilu 2024, baik dari sisi anggaran dan kewenangan menteri.
Sebelum Pemilu, Puan Maharani selaku Ketua DPR RI dari PDIP minta rakyat ke DPR untuk membawa bukti dan menjelaskan urgensi pemakzulan Jokowi. Begitu TPUA membawa bukti, dan menjelaskan salah satu urgensinya agar Pemilu jujur adil tanpa Jokowi, Puan malah mengabaikan rakyat yang datang ke gedung DPR.
Sesaat pasca pengumuman Sirekap, wacana angket ramai mengemuka. Bahkan, Ganjar Pranowo yang pertama kali menggulirkan.
Tapi apa yang dilakukan oleh Megawati dan PDIP? Tidak ada.
Mega tak menggunakan kekuasaannya untuk menghalangi kecurangan Pemilu 2024. Mega tak mendorong proses Pemakzulan Jokowi via Ketua DPR RI, Mega tak menarik menterinya dari kabinet Jokowi, Mega tak mendorong partainya gulirkan hak angket.
Jadi, sudahlah tak usah bersandiwara. Rakyat sudah puas dikhianati partai politik. Rakyat, sudah tak melihat air mata PDIP yang membela rakyat. Bahkan, saat kekuasaan Jokowi berulangkali menaikan BBM, PDIP pasang badan untuk Jokowi.
Mengenai pembelaan Bahlil Lahadalia kepada Jokowi, Bahlil itu cuma penjilat. Substansi pembelaannya tidak nyambung dengan fakta persidangan di MK.
Yang dipersoalkan bukan anak presiden menjadi Wapres. Tapi putusan MK No. 90, yang melegalisasi anak haram konstitusi.
Jadi, bagi penjilat memang asal menjilat itu biasa. Dan penulis, menulis tulisan ini tidak sedang berada pada posisi membela Jokowi, Bahlil atau Megawati. Tapi penulis menulis untuk membela rakyat, agar jangan mau ditipu dan dikhianati politisi secara berulangkali. [].