Oleh: Damai Hari Lubis, Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Pilpres 2024 menyisakan perselisihan Sengketa Hasil Pemilihan Umum/ SHPU ditandai didaftarkannya gugatan di Mahkamah Konstitusi/MK kepada Tergugat KPU, dari pihak Penggugat yakni pasangan Capres 01 dengan register 01-01/AP3-PRES/Pan.MK/03/2024 dan dari Capres 03 dengan register nomor 02-03/AP3-PRES/Pan.MK/03/2024.
Bahwa, pasangan Pilpres 02 (Prabowo-Gibran), selaku Pemenang Pilpres sementara versi KPU ikut menjadi Pihak Terkait dengan pengacaranya adalah Yusril Ihza Mahendra, selaku atas nama Kontestan Capres 02 dan tentunya pihak terkait 02 akan mempertahankan kemenangan sementara kliennya, serta akan menjustifikasi terhadap semua dalil-dalil hukum yang disampaikan oleh Tergugat KPU.
Pihak Penggugat dari pasangan capres 01 dan 03 masing-masing kubu ada dua orang eks hakim yang pernah menjabat Ketua MK. Dan keduanya, Hamdan Zoelva yang Co. Captain di posisi 01 dan Mahfud MD. Pemohon Prinsipal Di kubu 03 (Cawapres dari Capres Ganjar Pranowo).
Alas hukum kedua belah pihak 01 dan 03 menuntut KPU. Tentunya harus berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945; “MK. berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan salah satunya, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Dan Hamdan dan Mahfud pastinya mengetahui batasan kewenangan MK dalam proses perkara terkait kegiatan pemilu dikatakan oleh Pasal 475 ayat (2) UU. Nomor 7 Tahun 2017 (UU Tentang Pemilu). Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Lalu menyangkut judul artikel, SIAPA YANG MENANG ? Merupakan gramatika yang mengandung majas, karena seolah pertarungan otot, namun tidak demikian, maka jawabannya mesti objektif.
Pertama; “02 akan dimenangkan oleh Majelis Hakim MK. Karena posita daripada materi gugatan 01 dan 03 kepada KPU diluar konstruksi daripada hukum positif (Hukum yang berlaku) vide sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 475 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 yang secara eksplisit, isi daripada pasal sumber hukum/ UUD. 45 secara hirarkis merupakan perintah kewajiban keberlakuan Pasal UUD.45 kepada sistim hukum dibawahnya, ” UU. Tentang Pemilu “, jelas unifikasi norma pada keduanya sebagai implementasi hak dan kewenangan MK yaitu HANYA SPESIAL menangani khusus tentang perselisihan pemilu terkait hasil penghitungan suara
Selanjutnya, segala dalil-dalil teori apapun yang disampaikan Penggugat diluar konteks hukum kewenangan MK. didalam gugatan SHPU yang sekedar menganggap (karena bukan kualitas objek perkara), namun diluar kontruksi perselisihan dengan legal standing kewenangan MK. dimaksud, maka MK. PASTI MENGGUNAKAN KEWENANGANNYA (YUDICATIVE POWER) DAN HALAL MENGGUNAKAN ASAS LEGALITAS KEWENANGAN UNTUK MENOLAK DALIL-DALIL BAGUS DAN CEMERLANG YANG DISAMPAIKAN OLEH PEMOHON/ PENGGUGAT 01 & 03.
Pertimbangan hukum MK walau dalil-dalil posita penggugat berkualitas normatif, berikut analisis berupa sekian banyak analogi komparatif serta akurasi, berikut dalil-dalil argumentasi hukum yang sinkronisasi satu dengan yang lainnya atau linear, dan nampak nyata overlapping diantara pasal-pasal pada UUD. 45 begitu pula diantara pasal-pasal pada sistim hukum dibawahnya, atau antara pasal pada undang-undang yang sama dan atau pasal daripada undang-undang kepada pasal undang-undang lainnya (antar undang-undang sederajat), plus berikut fakta hukum terhadap perilaku individu Hakim (Model Anwar Usman) yang melanggar etik atau sistim hukum, bahkan fakta sang hakim nakal dan curang/ nepotisme terbukti telah mendapat sanksi hukum, kemudian Penggugat 01 dan 03 menyinggung perilaku penguasa yang kooptasi, intervensi, diskriminasi, intimidasi dan janji-janji menggunakan jabatan serta kekuasaan (Terhadap Para Kepala desa/Apdesi) sampai dengan obstruksi kewajiban transparansi dan akuntabilitas KPU dengan modus operandi model hitungan pola sirekap Jo. server asing, dan sebaliknya tidak jarang “KPU dan Kroni” justru berlaku arogansi secara telanjang melanggar sistim hukum (disobidience) yang tentu bukan role model, justru ibarat “Bak Guru Kencing Berdiri” dan publis pembangkangan terhadap rule of law atau sistim hukum positif. Contoh soal cawe-cawenya Jokowi dan para pejabat eksekutif, namun perbuatan melawan hukum, curang dan lain-lain pelanggaran malah dibiarkan (pembiaran) oleh KPU (juga Bawaslu). Bahkan ada beberapa temuan riil publik, KPU inklud melakukan beberapa pelanggaran dan kelalaian.
Kesemuanya fakta-fakta hukum yang nice, berikut analogi-analogi serta adagium hukum atas peristiwa hukum dari kubu Hamdan Zoefa dan Kubu Mahfud MD. namun telak akan dibantah oleh KPU dan oleh Yusril, “bahwa kesemuanya yang dijabarkan oleh pasukan 01/ Hamdan Zoelva dan 03/ Mahfud MD adalah ranah legislatif atau proses hukum yang semestinya melalui DPR. RI dan Presiden atau proses JR/ Judicial Review dan atau melalui MPR. RI yang memiliki kompetensi untuk melakukan perubahan atau revisi, pencabutan dan amandemen UUD. 45, atau hal- hal yang diluar pasal 475 ayat (2) UU. Tentang Pemilu, sehingga harus diabaikan oleh MK.
Tentunya, jika stop disini, Yusril akan menangkan pertarungan, artinya Hamdan Zoelva dan Mahfud MD. Keok di ranah MK.
Prediksi objektif pertarungan antara Hamdan Zoelva dan Mahfud MD. Para eks Ketua MK. tentu tidak boleh terhenti disini, karena sisi pandang hukum, dengan gejala-gejala diskursus politik dan hukum yang banyak menunjukan perilaku dari para aktor KPU. dan kroni penguasa negeri ini selaku stake holder sesungguhnya (subtansial subjek yang berkepentingan) banyak menunjukan attitude yang tidak jujur, tidak adil serta penuh kecurangan, bahkan terindikasi kejahatan dengan mens rea atau TSM. karena dilakukan sejak pra dan saat proses pemilu pilpres disertai manuver-manuver politik setelahnya.
Kedua, semua adagium yang cerdas dan cemerlang itu kan dianggap angin lalu oleh MK. berdasarkan kewenangan yang halal mereka para hakim MK gunakan untuk menolak semua argumentasi hukum Penggugat 01 dan 03. Oleh karenanya MK akan kembali klasik menjadi mahkamah kalkulator, andai hasil sirekap dengan metode sikarep (semau-maunya), dengan merepresentasikan/ mengindentifikasikan/ menganggap bahwa andai di wilayah tertentu dianggap mesti diulang kembali sesuai data empirik 01 dan 03, maka andai dikalkulasikan 100 % dari tiap-tiap TPS di tanah air, yang mesti diulang didapatkan oleh 01, namun tetap 02 masih unggul dari 58 % menjadi 50, (lima puluh koma). Maka MK dalam pertimbangan vonisnya, jika tetap menerapkan teori dengan metode kalkulator dengan menolak gugatan dari 01 dan 03 kepada KPU, atau dengan kata lain mengukuhkan kemenangan 02, maka teori “hukum kalkulator” tetap menentukan Yusril menang vs Hamdan Zoelva dan Mahfud MD.
Ketiga, lain lagi, jika majelis Hakim MK berubah karakter dengan membuat dan melakukan langkah “rule breaking”, sehingga menjadikan fungsi yudikatif sebagai hakim ideal, yakni putusan hakim merupakan salah satu alat menemukan hukum selain demi prinsip fungsi kepastian hukum (rechtmatigheid) dan hakekat mendapatkan materiele waarheiden atau kebenaran yang sesungguhnya kebenaran atau faktor keadilan (gerechtigheit), maka atas dasar banyaknya kecurangan bukti empirik dari 01 dan 03 dengan memiliki data dan fakta yang kesemuanya memenuhi unsur-unsur alat bukti yang cukup (Barang bukti, para saksi dan keterangan para saksi dan ahli). Kemudian, andaikan realitas putusannya Majelis Hakim MK NEKAD menyatakan dalam putusannya, “bahwa KPU terbukti melakukan banyak pelanggaran dan keberpihakan, tidak berlaku jujur dan adil Jo. UU. Pemilu, selaku penyelenggara pemilu serta terbukti konspirasi dengan melakukan pembiaran terhadap pelanggaran dari beberapa pejabat publik eksekutif diantaranya Presiden Jokowi, dan beberapa orang menteri dan termasuk pelanggaran yang dilakukan pasangan kontestan Pilpres 02 Prabowo dan Gibran, oleh karenanya menghukum:
1. Termohon KPU. dengan pemberhentian dari jabatannya sebagai anggota Komisioner KPU;
2. Menyatakan melalui putusan kontestan Capres-cawapres 02 diskuafkasikan atau dicoret keikutsertannya dalam pilpres pemilu 2024;
3. Memerintahkan agar presiden RI dan DPR RI sebagai pejabat yang berwenang segera setelah putusan dibacakan, mengangkat dan melantik anggota KPU dan sesegera membuat agenda ulang pemilu pilpres 2024 ;
4. Dan atau Presiden RI selaku penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, agar berbuat semestinya dengan segala legalitas kekuasaan membuat keputusan-keputusan atau diskresi politik dan hukum yang dibutuhkan dalam rangka khusus terselenggaranya pemilu pilpres ulang…
Maka, jika ilustrasi estimasi putusan yang demikian, bahwa segala bentuk pelanggaran yang merupakan kecurangan, dan kecurangan yang amat banyak yang unsur hukumnya masuk kategori opzet atau dolus premeditatus atau TSM menurut UU. Pemilu sehingga merupakan perbuatan cacat hukum sehingga harus batal demi hukum, demi keadilan dan demi kepastian. Dan sangat memalukan pada abad demikrasi modern ini, jika perbuatan pelanggaran hukum, dan perilaku curang tanpa beban atau akibat hukum terhadap pelaku di negara berdasarkan hukum/ rule of law dan equlitas ? Negara yang segala sesuatu tindakan harus berdasarkan hukum (supremasi hukum) serta berharap eksistensi manfaat hukum (utility/ doelmatigheit). Jika seperti ini nekad tekadnya bunyi putusan MK maka bukan sekedar kemenangan Hamdan Zoelva dan Mahfud. MD terhadap Yusril, namun kemenangan hukum di tanah air, Kemenangan Seluruh Bangsa ini lintas SARA.
Namun pertanyaannya beranikah MK/ Mahkamah Konstitusi menghapus akronim sarkastik sebagai MK dari kepanjangan Majelis Kalkulator, dengan bukti memutus hukum secara keharusan ?
Pastinya masyarakat dan aktivis hukum dan publik pemerhati penegakan hukum merasa aneh jika 2 (Dua) orang Mantan Ketua MK Lawan Yusril Eks Menkumdang – Menkeh & HAM yang tidak jarang ditolak JR.nya di MK menang atau malah berhasil ketika melawan Hamdan Zoelva dan Mahfud MD yang hafal dari mulai kulit buku dan seluruh isi UU. Tentang Mahkamah Konstitusi.