Digital Forensik akan Membongkar Kejahatan Pilpres 2024 di Sidang MK

Agus Maksum, Praktisi IT Terkait Pemilu
Sistem Informasi Pemilu di Indonesia telah menjadi titik perhatian penting dalam menjamin integritas dan transparansi proses demokrasi. Dengan berkembangnya teknologi informasi, implementasi Sirekap menjadi langkah penting dalam meningkatkan transparansi dan keakuratan pemilu. Artikel ini mengkaji perubahan entry data C Hasil dan hak edit yang seharusnya terbatas pada level TPS, namun terjadi hingga ke tingkat pusat, mengindikasikan adanya desain kejahatan dalam SIREKAP. Analisis ini meliputi koreksi 154.541 TPS oleh KPU, perubahan desain kode, dan manipulasi data yang memerlukan akses sistem tertentu.
Pendahuluan:
Pemilu adalah pilar demokrasi yang memerlukan integritas dan transparansi. Di Indonesia, KPU berusaha menerapkan sistem yang dapat dipercaya oleh semua stakeholder. Setelah Pemilu 2019, di mana Situng diadopsi untuk monitoring penghitungan suara, muncul kekhawatiran atas potensi manipulasi data C1 dari TPS ke kabupaten. Ini mendorong penggunaan Sirekap mulai Pilkada 2020 hingga Pilpres dan Pemilu 2024.
Analisis Perubahan Desain Entry Data C Hasil dan Hak Edit serta Desain Kecurangan DPT Bermasalah
Perubahan desain entry data C Hasil dan hak edit dari TPS ke tingkat pusat menimbulkan kecurigaan adanya desain kejahatan dalam SIREKAP. Koreksi oleh KPU atas 154.541 TPS, modifikasi desain kode, dan manipulasi data menunjukkan bukti kecurangan. Leony Lidya, pakar IT, di MK menekankan perubahan desain data C Hasil dan hak edit sebagai indikasi kejahatan pemilu melalui SIREKAP.
Kasus 54 juta DPT bermasalah muncul sebagai gejala awal dari desain kejahatan Sirekap, mempertegas analisis kejahatan yang telah didesain, Penghilangan filter suara maksimum 306, Perubahan entry data C Hasil dan hak edit yang meluas hingga ke tingkat pusat memperlihatkan potensi kejahatan yang terstruktur. Koreksi atas 154.541 TPS yang dilakukan oleh KPU, bersama dengan perubahan desain kode, menunjukkan bukti adanya desain kejahatan yang sistematis dan terencana. Leony Lidya, ahli IT sebagai Saksi Alhi menyoroti perubahan hak edit sebagai pertanda nyata dari kerentanan untuk terjadinya otak atik data pemilu sebagai bukti kejahatan itu sendiri.
Implikasi dan Rekomendasi:
Penemuan 54 juta DPT bermasalah yang melanggar UU no 7 tahun 2017 di mana DPT di bagikan pada peserta pemilu tidak sesuai pasal 202 (2) yang bunyinya DPT paling sedikit memuat nomor induk kependudukan,nama, tanggal lahir, jenis kelamin dan alamat WNI dan perubahan hak entry dan edit dalam Sirekap serta pasangan Capres khususnya 01 tidak mendapatakan DPT dari KPU sekalipun sudah meminta secara tertulis.
Serta adanya pengakuan resmi KPU atau Koreksi atas 154.541 TPS yang dilakukan oleh KPU, merupakan bukti yang sudah hadir dan menjadi fakta persidangan yang tidak memerlukan lagi audit digital forensik untuk meyakinkan Hakim konstitusi untuk menilai kebenaran substantif tentang adanya desain kejahatan pilpres melalui SIREKAP.
Penutup:
Isu seputar integritas Sirekap menandai pentingnya kehati-hatian dalam merancang sistem informasi pemilu. Bukti yang ada, termasuk pengakuan KPU atas anomali di ribuan TPS, tidak semestinya memerlukan audit forensik digital untuk mengungkap desain kejahatan dalam sistem. Namun, hal ini menggarisbawahi pentingnya keamanan sistem informasi dan kebutuhan tindakan preventif untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem pemilu Indonesia.
Namun bila para pihak termasuk Hakim MK memerintahkan Audit Digital Forensik tentunya akan lebih tinggi validitas dsn keyakinan akan adanya desain kejahatan dalam Pilpres 2024.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News