Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik
Penulis bukan tak setuju melawan kecurangan, bukan pro pada pemilu curang, apalagi bagian dari pendukung capres curang. Namun, sebagai wujud kecintaan kepada saudara Muslim, dan tak ingin ada saudara Muslim selalu menjadi korban para politisi, sejak awal penulis tak respek dengan proses hukum di MK.
Mulanya, penulis agak tertarik dan memberi dukungan pada hak angket. Namun, dalam perjalannya hak angket hanya dijadikan alat politik, sarana bargaining untuk merapat ke kekuasaan. Maka wajar, hak angket saat ini layu sebelum berkembang.
Hak angket, adalah contoh kongkrit penipuan para elit dan parpol pada aspirasi umat. Mereka, menipu umat, seolah berjuang untuk umat, padahal mereka sedang memanfaatkan tekanan umat untuk bernegosiasi dengan kekuasaan.
Lagi-lagi, suara umat hanya dimanfaatkan. Suara umat hanya diarahkan untuk datang ke TPS, massanya dimanfaatkan untuk demo dan kampanye parpol, dan semangatnya hanya dimanfaatkan untuk perang sosmed. Selebihnya? Umat ditinggalkan.
Begitu juga fenomena di MK, semua hanya membius umat. Seolah, di MK masih ada harapan. Proses di MK membius umat, seolah akan ada keadilan yang dihasilkan dari putusan MK.
Empat menteri yang hadir, seolah bukti MK independen dan mampu memaksa kekuasaan menghadirkan menteri. Namun, secara substansi antiklimaks. Karena masalah ‘politik gentong babi’ tak dapat dibuktikan dengan hadirnya 4 menteri. Menteri Jokowi ini kompak, menyatakan bansos tak ada hubungannya dengan Pemilu 2024.
Sehingga, dalil adanya hubungan alokasi bansos dengan peningkatan bahkan kemenangan suara 02 tidak bisa dibuktikan. Bahkan, didelegitimir oleh 4 menteri Jokowi.
Proses sidang, juga tak menggambarkan adanya komplain selisih suara, yang selisih itu diakibatkan oleh kecurangan yang TSM, yang berdampak pada kemenangan Paslon 02. Padahal, ini adalah subtansi utama dalam sengketa Pilpres berupa keberatan pada keputusan penetapan hasil pemilu oleh KPU berdasarkan keputusan nomor 360/2024.
Adapun soal pencalonan Gibran, hakim MK hanya komplain soal banyaknya pelanggaran etik. Seolah, hakim MK pro pemohon dan akan membatalkan Gibran Rakabuming. Padahal, itu adalah pengantar untuk dijadikan pertimbangan, yang intinya MK bukanlah lembaga pengadil soal etik, bukan pula berwenang untuk membatalkan status Paslon, dan pada akhirnya tuntutan pembatalan capres 02 dan pemilu ulang tanpa paslon 02 akan ditolak.
MK hanya membius, melambungkan harapan umat akan hadirnya keputusan yang adil. Padahal, hasilnya sudah dapat ditebak bahwa putusan MK nantinya hanya akan melegitimasi kecurangan.
Pasca putusan MK, parpol yang malu untuk mengakui akan merapat, dengan gaya khasnya akan menyatakan menerima putusan MK dan demi menjaga persatuan nasional, akan bergabung dengan pemenang. Merapat untuk berkuasa, dan meninggalkan umat yang telah banyak berkorban dan menderita.
Karena itu, penulis mengajak kepada segenap elemen umat untuk segera meninggalkan demokrasi dan fokus berjuang untuk syariah & Khilafah. Sebab, hanya Khilafah yang akan memperhatikan aspirasi, harapan dan cita-cita umat untuk mendapatkan keadilan, dengan tegaknya hukum Allah SWT dimuka bumi. [].