Prabowo, Gibran dan Supersemar

Oleh: Fahmi Suwaidi (Pemerhati Sejarah dan Politik)

Prabowo Subianto sudah mendekati gerbang kemenangan pemilu. Mau dianggap jujur ataupun curang, hasil quick count maupun real count menunjukkan keunggulannya secara mutlak. Suka tidak suka, bangsa Indonesia harus bersiap menerimanya sebagai pemimpin yang memenangkan pemilu presiden 2024. Maka siapa dan bagaimana seorang Prabowo perlu dipahami.

Memahami Prabowo bisa dilakukan dengan memahami orang-orang yang menjadi mentornya. Misalnya, pada awal tahun 2000-an, Prabowo pernah hijrah ke Yordania setelah tersingkir dari pusaran politik pasca reformasi 1998. Tak perlu jauh-jauh mencari teladan hijrah ke luar negeri bagi Prabowo, ayahnya pun pernah melakukan hal itu. Dulu pada tahun 1960-an, Soemitro hijrah ke luar negeri setelah partainya PSI dibubarkan Soekarno dan para tokoh oposisi ditangkapi.

Selain ayahnya, mentor yang paling berpengaruh dalam hidup Prabowo adalah mertuanya, Presiden Soeharto. Dalam beberapa hal, sepertinya Prabowo menjadikan mertuanya itu menjadi role model dalam karier militer dan politiknya. Misalnya bagaimana ia menjadi Panglima Kostrad seperti Soeharto.

Prabowo pasti paham sejarah mertuanya, Soeharto meraih puncak kekuasaannya setelah sebagai Pangkostrad ia menjadi figur sentral TNI AD. Intrik 30 September 1965 membuat para pemimpin AD terbunuh. Gugurnya enam jendral menyisakan Soeharto sebagai jendral terakhir yang memiliki peluang memulihkan keadaan AD sekaligus negara. Maka Kostrad adalah kunci yang harus dikuasai.

Namun berbeda dengan Soeharto yang melesat menuju kekuasaan, jabatan Pangkostrad Prabowo justru dicopot oleh Habibie. Prabowo kalah pengaruh dari Sintong Panjaitan yang telah beberapa tahun ngenger menjadi sekretaris pribadi Habibie. Ketika Sintong bilang Prabowo berbahaya, maka Habibie pun menyingkirkannya.

Saat itu mungkin Prabowo belum tahu, atau lupa, pentingnya kedekatan yang muncul dari falsafah ngenger Jawa itu. Kelak ia menerapkannya ketika merelakan diri menjadi Menteri di kabinet Jokowi, pesaing beratnya dalam Pilpres 2019. Selama empat tahun ia ngenger pada Jokowi, sampai meraih kepercayaannya untuk menjadi penerus yang direstui, berpasangan dengan Gibran bin Jokowi.

Tradisi ngenger politik ini punya akar yang mendalam di Nusantara. Sebelum mengambil alih kekuasaan dari Dinasti Islam Demak keturunan Raden Patah, Joko Tingkir ngenger dulu pada Sultan Trenggana sebagai komandan pasukan pengawalnya. Jauh sebelum Tingkir, Ken Arok juga ngenger dulu pada Tunggul Ametung. Ia menjadi komandan kawal sebelum membunuh Ametung, mengambil alih kekuasaan dan menikahi jandanya, Ken Dedes.

Kembali pada Soeharto, sebelum ia terpilih menjadi presiden pada 1967, ia mengalami masa ngenger pada Soekarno yang cukup panjang. Yaitu menjadi salah satu perwira yang dikenal oleh Soekarno sejak di Yogyakarta tahun 1949 sampai menjadi Pangkostrad pada 1965. Dalam kemelut pasca 30 September 1965, Soeharto menjadi figur sulit yang memegang kendali pasukan. Namun Soekarno sudah sangat mengenalnya.

Kenapa Soeharto menjadi figur sulit buat Soekarno? Sang presiden pernah menyebutnya sebagai “opsir koppig” atau perwira yang keras kepala. Maka ia tak terlalu disayang Soekarno seperti jendral Ahmad Yani, misalnya. Namun, se-koppig-koppig-nya Soeharto, Soekarno cukup kenal dia. Ia berharap bisa bersandar dan berlindung pada Soeharto di hari-hari sulit antara 1965-1966. Inilah titik kesamaan puncak Jokowi dan Soekarno.

Jokowi dan Soekarno

Orang yang mencermati sepak terjang Jokowi selama berkuasa hampir dua periode pasti akan menemukan banyak kesamaan dengan Soekarno. Dalam pencapaian politik sampai kehidupan rumah tangga, ada hal-hal yang mirip di antara kedua presiden itu.

Pertama, Soekarno sukses menyingkirkan semua lawan politik dan mendominasi politik Indonesia selama 20 tahun berkuasa. Jokowi berhasil melakukannya, dengan merangkul hampir semua partai politik selama 2 periode berkuasa.

Kedua, Soekarno mengawali karier politiknya di Partai Nasional Indonesia (PNI) saat ia kuliah di Bandung. Di sana ia menikah dengan isteri keduanya, Inggit Garnasih yang terpaut usia lebih sepuh. Di masa awal kariernya Inggit banyak menopang Soekarno secara ekonomi.

Soekarno yang mahasiswa calon insinyur ditopang oleh Inggit yang pengusaha jamu dan kosmetika tradisional. Rumah tangga mereka harmonis, namun ada yang kurang. Inggit tak juga melahirkan keturunan.

Soal anak menjadi titik perpecahan mereka. Setelah Soekarno dibuang oleh Belanda ke Bengkulu, ia menemukan isteri yang ketiga, Fatimah yang kemudian di-Indonesiakan namanya menjadi Fatmawati. Inggit tak sudi dimadu dan bercerai dengan Soekarno. Rumah tangga mereka pun pecah.

Apa kemiripan rumah tangga Soekarno dengan Jokowi? Jokowi mengawali karier politiknya di Partai Demokrasi Indonesia (PDIP) saat menjadi Walikota Solo. Ia banyak ditopang oleh Megawati Soekarnoputri sebagai ketua partai nasionalis itu.

Jokowi yang pengusaha muda ditopang oleh Megawati yang memimpin partai pemenang pemilu. Hubungan keduanya cukup dekat meskipun keduanya sama-sama punya anak yang digadang meneruskan dinasti politik keluarga.

Soal anak menjadi titik perpecahan mereka. Setelah mendekati masa akhir periode keduanya, Jokowi menjodohkan Gibran anaknya dengan Prabowo sebagai pasangan capres-cawapres. Meninggalkan Mega dan PDIP yang menjagokan Ganjar Pranowo. Kongsi politik mereka pun pecah.

Akan Bernasib Sama?

Nasib Mega, terlahir dari Ibu Fatmawati, ironisnya mirip Inggit. Mereka ditinggalkan oleh lelaki yang ditopang pada masa awal dan belum terkenal. Keduanya ditinggalkan karena sang lelaki menginginkan anak yang bisa meneruskan jalur keturunan dan dinasti kekuasaan.

Jika nasib Mega mirip Inggit, apakah nasib Jokowi juga akan mirip Soekarno? Meskipun belum sampai ujung, ada proses yang juga mirip. Di akhir masa kekuasaannya, tahun 1965, Soekarno terjebak kasus Gerakan 30 September yang menempatkannya pada posisi sulit. Ditambah kegagalan ekonomi dan pengelolaan negara yang amburadul, Soekarno goyah di ujung kekuasaan.

Tahun 1966 Soekarno ditekan demo mahasiswa dan rakyat yang menilainya tidak tegas pada PKI, biang keladi Gerakan 30 September 1965. Demo terus meningkat eskalasinya karena beberapa mahasiswa tewas ditembak Cakrabirawa, pasukan pengawal Soekarno.

Puncaknya istana dikepung demonstran yang dikawal pasukan tanpa identitas kesatuan. Soekarno panik dan buru-buru pergi ke Bogor menaiki helikopter bersama beberapa menterinya. Salah satunya, Menlu Soebandrio, sampai kehilangan sepatunya yang copot saat lari menuju heli.

Dalam situasi sulit, Soekarno mencoba mencari sandaran. Ia memasrahkan kekuasaannya pada Soeharto yang menawarkan diri memulihkan kondisi. Soekarno memberikan surat perintah pada Soeharto pada tanggal 11 Maret 1966. Surat itu kelak dikenal sebagai Supersemar, surat perintah sebelas maret.

Dalam surat itu, selain memberi mandat kekuasaan pemulihan keamanan dan ketertiban pada Soeharto, Soekarno juga mengamanatkan pengamanan diri dan ajaran-ajarannya pada Soeharto. Apakah semua hal itu dilaksanakan Soeharto? Ternyata tidak semuanya.

Dengan modal Supersemar, Soeharto perlahan mengambil alih kekuasaan dan pengaruh Soekarno. Ia membubarkan PKI, merombak kabinet dan susunan parlemen. Ia memadukan kekuatan mandat Soekarno dengan dukungan rakyat yang gembira menemukan pemimpin dan harapan baru.

Namun buat Soekarno dan para pengikutnya, Soeharto dinilai berkhianat karena tak menjalankan amanat menjaga dan mengamankan ajaran-ajarannya. Soeharto memang tak membiarkan Soekarno diadili dalam kasus Gerakan 30 September, namun ia membongkar Nasakom dan mengebiri PNI. Secara bertahap Soeharto melepaskan diri dari pengaruh rejim Orde Lama Soekarno dan membangun rejimnya sendiri, Orde Baru.

Gibran dan Supersemar

Nah, membandingkan langkah-langkah Soeharto di masa lalu akan tampak ada kemiripan dengan situasi di masa kini. Apalagi mengingat sejarah bahwa Prabowo adalah mantan menantu Soeharto selama puluhan tahun. Bukan tidak mungkin jejak politik Soeharto pun diikuti olehnya.

Meski tak separah Soekarno, Jokowi di ujung masa kekuasaannya mulai goyah. Ekonomi rakyat memburuk dan utang luar negeri meroket. Usahanya untuk berkuasa tiga periode gagal terbentur batasan konstitusional. Maka, seperti Soekarno ia butuh sandaran untuk mengamankan diri, keluarga dan proyek-proyeknya setelah lengser.

Datanglah Prabowo, mantan pesaing yang rela ngenger dan menjadi menterinya. Perlahan tapi pasti Prabowo meraih dukungan Jokowi. Puncaknya ketika Jokowi menitipkan anak sulungnya untuk mendampingi Prabowo dalam pemilu presiden. Namun juga ada titipan agar Prabowo meneruskan program kerja Jokowi, terutama pemindahan ibukota dari Jakarta ke IKN di Kalimantan.

Gibran bagi Prabowo bagaikan Supersemar bagi Soeharto. Prabowo menggabungkan kekuatan birokrasi Jokowi dengan kekuatan politiknya sendiri. Meskipun hasil pilpres belum final, namun semua perhitungan cepat maupun riil di KPU menunjukkan ia bakal menang satu putaran. Kekuasaan Prabowo sudah terlihat di depan mata.

Namun apakah Prabowo akan setia dan loyal pada Jokowi dan proyeknya? Juga menjaga Gibran dan saudara-saudaranya agar tetap melanjutkan dinasti politik Jokowi? Ataukah Prabowo akan seperti mertuanya, mendepak halus titipan Soekarno setelah ia berkuasa? Sejarah yang akan menjawabnya, Wallahu a’lam bish shawab.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News