Oleh: Radhar Tri Baskoro
KPU sudah menetapkan capres/cawapres periode 2024-2029. KPU hanya penyelenggara pemilu, ia tidak berwenang menangani kecurangan pemilu. KPU hanya tahu menghitung angka, ia tidak peduli apakah angka itu diperoleh dengan cara curang atau tidak. Tugas itu dibebankan kepada Bawaslu. Tetapi Bawaslu hanya bisa menangani kasus sepele seperti pemasangan baliho atau kehadiran bocah di arena kampanye. Ketika ia dihadapkan kepada kecurangan aparat, Bawaslu angkat tangan. Paling banter ia kirim surat ke pimpinan aparat. Surat itu tidak berdampak, kan kampanye cuma tiga bulan. Diundur sedikit waktu tanggapan surat, orang sudah lupa. Pelanggaran pemilu oleh aparat berlalu bersama waktu.
Apalagi kalau aparat jadi distributor bansos seminggu sebelum pencoblosan. Ribuan aparat terlibat di seluruh Indonesia. Bagaimana mereka bisa ditangkap. Ketika bukti ketemu presiden terpilih sudah diumumkan.
Lebih muskil lagi ketika aparat mendatangi lurah, camat dan kiai. Katanya mereka cuma omon-omon, tidak mengancam. Tetapi apa yang ada di pikiran pak lurah ketika aparat tanya, “Dana desa sudah tersalur semua, Pak?“
Dan yang paling mustahil adalah kalau presiden curang, siapa bisa meluruskan? Mestinya sih, DPR. Tetapi apa yang dilakukan DPR ketika secara sistematis aparat hukum tiba-tiba memanggil ketua partai dan calon presiden mempersoalkan kasus-kasus yang bahkan telah terkubur bertahun-tahun? Anehnya, proses hukum itu tiba-tiba berhenti setelah tersangka bertemu presiden. Tragis, semudah itukah kekuasaan mengendalikan hukum?
DPR sudah hampa, tidak ada isi apa-apa di sana. Seharusnya mereka memperjuangkan nilai-nilai Pancasila. Tetapi mereka cuma omon-omon Empat Pilar, tetapi tidak ada satu pun yang benar-benar ditegakkan. Ketika presiden melanggar begitu banyak nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, ketidak-berpihakan, DPR bergeming. Rupanya, kepentingan politik lebih berharga dari segalanya. Lantas, bagaimana rakyat bisa percaya kepada Pancasila dan UUD 1945 ketika wakil rakyat tidak peduli kepadanya.
Pelanggaran Pancasila dan UUD 1945
Apa kabarnya hak angket? Masalah pelanggaran etika terkait pencawapresan Gibran Rakabuming di Mahkamah Konstitusi seharusnya ditanggapi sebagai pelanggaran UUD 1945 dan Pancasila yang sangat serius. Pertama, karena pelanggaran itu dilakukan oleh seorang Ketua dari lembaga peradilan tertinggi. Dan kedua, karena pelanggaran itu tidak murni masalah administrasi hukum, tetapi jelas politis. Orang yang diloloskan menjadi cawapres adalah putra presiden. Sangat besar kemungkinan pelanggaran etika Ketua MK adalah atas desakan dan restu presiden. Cukup dengan dua alasan di atas DPR seharusnya serius menangani hak angket. Kenyataannya hak angket yang diusung PDIP disambut dingin, beberapa wakil rakyat malah mencemooh.
Banyak sekali pelanggaran yang dilakukan Presiden Jokowi pada Pilpres 2024 lalu. Namun selain masalah pelanggaran etika di MK, cukup satu saja ditambahkan: pembagian bansos di masa kampanye. Nilai bansos tersebut tidak main-main, mencapai ratusan trilyun. Membagikan bansos sebanyak itu sudah pasti akan mempengaruhi preferensi pemilih. Apakah hukum pemilu membiarkan hal itu terjadi. Bagaimana bila semua petahana melakukan taktik ini di seluruh pilpres dan pilkada, apakah pemilu masih diperlukan.
Menurut hemat saya, membagikan bansos di masa kampanye adalah pelanggaran sangat berat atas prinsip pemilu yang bebas, jujur dan adil. Sudah semestinya DPR meminta pertanggungjawaban presiden atas hal itu bila mereka masih mau disebut pengawal Pancasila dan UUD 1945.
Namun, kita semua menyaksikan DPR hanya diam, datar dan dingin. Kenyataan pelanggaran berat Presiden atas prinsip-prinsip demokrasi dibiarkan lewat dan diabaikan. Apakah demokrasi tidak perlu dibela lagi? Apakah Pancasila dan UUD 1945 sudah tidak memuat nilai-nilai demokrasi lagi? Hai DPR, lantas apa yang kalian bela?
Perang Melawan Elit Penguasa
Lumpuhnya DPR dalam menyikapi perilaku presiden adalah satu-satunya alasan mengapa demokrasi kita mengalami kemunduran drastis. Hanya karena mereka menutup mata dan bungkam atas pelanggaran UUD 1945 dan Pancasila oleh presiden maka pelanggaran itu bisa terjadi.
Dalam hal ini saya ingin menuding langsung hidung Puan Maharani, Lanyalla M. Matalitti, Bambang Soesatyo, dan ketua-ketua umum partai di DPR, kalian yang paling bertanggungjawab atas hancurnya demokrasi di Indonesia.
Kalian sesungguhnya yang melindungi Jokowi melakukan pelanggaran-pelanggaran itu. Kalian tidak pantas duduk di posisi sekarang karena kalian sesungguhnya pelanggar Pancasila dan UUD 1945. Kalian adalah orang pertama yang mesti dihadapkan ke pengadilan rakyat.##