Gibran Itu Alien?

by M Rizal Fadillah

Alien terjemahannya adalah”asing” maknanya berbeda atau tidak wajar. Saat googling maka keluarlah adjektiva “foreign”, “strange”, “extraneous”, “exotic”, “outside”, “different”, “distinc”, “dissimilar” dan sejenisnya. Mengacu pada berbeda dan tidak lazim. Makhluk alien adalah makhluk yang berbeda dengan kita, ia berasal “dari luar bumi”.

Gibran tentu bukan makhluk luar bumi tetapi sama dengan makluk bumi lain yakni manusia yang bukan hewan atau tumbuh-tumbuhan. Apalagi batu-batuan. ET atau the Extra Terrestrial adalah film fiksi Amerika disutradai Steven Spielberg tulisan Mellisa Mathison berceritra tentang pertemanan seorang anak dengan makhluk angkasa ET yang terdampar di bumi. Secara rahasia berupaya untuk mengembalikan ke habitatnya.

Gibran tidak berhubungan dengan ET namun dalam pergaulan politik dan demokrasi Indonesia saat ini nampak ia tergambar berbeda, tidak wajar, asing atau alien. Ada fenomena aneh yang mungkin dapat disebut sebagai cacat sejarah. Baru 2 tahun sebagai Wali kota “karbitan” sudah sukses “dimenangkan KPU” sebagai Wakil Presiden. Seorang bocah eks pedagang martabak manis.

Tidak ada kemampuan luar biasa padanya, yang istimewa adalah Gibran itu putera sulung Presiden Jokowi. Jabatan ayah yang berperan melambungkannya. Tentu, seperti biasa, Jokowi akan membantah perannya. Sayangnya Jokowi salah dalam menilai bahwa rakyat sesungguhnya tidak bodoh meskipun sering atau berulang-ulang dibohongi oleh dirinya.

Alienasi Gibran penting untuk dilakukan. Ada nilai ketidakpatutan sebagai Wakil Presiden jika foto terpampang di berbagai instansi termasuk sekolah-sekolah. Figur buruk tidak bagus dipandang anak didik dan generasi muda Indonesia yang mencanangkan kehidupan ke depan yang cerdas, jujur dan bermartabat.

Sekurangnya ada empat dasar bagi alienasi Gibran, yaitu :

Pertama, cacat etika. Bagaimana Putusan Majelis Kehormatan MK yang telah menghukum Ketua MK sang Paman Gibran akibat perbuatan tidak etis dan pemaksaan “pemenuhan persyaratan” kurang umur Gibran itu dapat diabaikan baik akibat maupun dampak politik dan hukumnya ?

Kedua, cacat politik kerakyatan. KPU sebagai lembaga demokrasi telah berkolaborasi untuk meloloskan pendaftaran Gibran tanpa dasar dan aturan yang seharusnya dibuat. Hukuman DKPP atas Ketua KPU menjadi penting untuk mendelete Gibran sebagai Cawapres. KPU telah nekat memanipulasi dan menelikung prinsip politik kerakyatan.

Ketiga, cacat budaya dan agama. Presiden yang mewariskan anaknya jabatan Wakil Presiden merupakan perilaku di luar budaya bangsa Indonesia. Menumbuhkembangkan budaya politik feodal dan monarkhi. Begitu juga dengan praktek menghalalkan segala cara, jelas melanggar kaedah agama. Hukumnya Haram.

Keempat, cacat hukum. Gibran yang sukses dimenangkan KPU adalah produk nepotisme. Diawali kerja paman atas kepentingan ayah dan dukungan ibu. Nepotisme merupakan kejahatan hukum. Jokowi, Gibran, Iriana dan Usman patut diseret ke meja hijau. Sangat memenuhi elemen dari sebuah perbuatan pidana.

Gibran adalah alien yang mesti dialienasi. Dan untuk mencegah getok tular–contagious sore throat–yang berbahaya, maka fotonya tidak bagus dipasang di ruang-ruang pendidikan. Di samping tidak pantas dan ijazah tak jelas, juga anak dari raja culas yang kurang berkualitas.

Jika rakyat serius bergerak untuk merebut kembali hak kedaulatannya, maka Gibran tentu tidak akan naik kelas. Ia dan pasangannya akan gagal dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Terlalu banyak kecacatan yang melekat dari keterpilihan palsu tersebut.

Rakyat merasakan kecurangan dan kejahatan di dalamnya. Mengucapkan selamat membuat tidak selamat, menerima sama saja dengan siap untuk menderita. Menolak dan melawan adalah jalan merdeka dan bahagia.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 25 Maret 2024

Simak berita dan artikel lainnya di Google News