Nasib Rakyat Pasca Pemilu

Oleh: Ahmad Basri, Ketua K3PP Tubaba /Alumni UMY

Menuju 14 Februari 2024 ini merupakan momentum besar tentang arah masa depannya indonesia selanjutnya siapa yang akan menjadi nahkoda untuk lima tahun kedepan 2024 – 2029. Jika dilihat dari fenomena yang ada ditengah masysrakat, antusiasme menyambut capres 2024 begitu besar, persiapan para penyelenggara pemilu ( KPU ) dan Bawaslu, sepertinya tidak menemukan banyak kendala dilapangan. Aparat keamananpun sudah siap memback up memberi jaminan pemilu berjalan lacar tanpa ada gangguan.

Walaupun ada keputusan dari DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) yang menyatakan bahwa para penyelenggara pemilu (KPU) melanggar kode etik karna telah meloloskan Gibran sebagai pasangan cawapres. Namun hal itu tidak mengganggu proses pelaksanaan pemilu 14 Februari 2024 akan terganggu apalagi tertunda. Proses pemilu tetap “wajib” dilaksanakan sesuai amanah perintah undang – undang.

Sama dengan keputusan MK beberapa waktu lalu dewan kehormatan MK tidak tegas mengambil sikap sebatas pada sangsi etik moralitas. Sesungguhnya dua keputusan baik di MK maupun KPU sama – sama dalam di ranah “Gibran” yang menjadi obyek permasalahan. Intinya apapun kemarahan publik tetaplah bahwa realitas politik Gibran hari ini adalah pasangan resmi cawapres Prabowo.

Mustahil Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu / DKPP mengambil sikap ekstrem menganulir semua keputusan KPU menyangkut pencalonan Gibran. Keputusan DKPP terhadap ketua fungsioner KPU hanya mengikuti apa yang sudah ada tinggal menduplikat seperti keputusan Dewan Kehormatan MK.Sebab kedua obyeknya sama menyangkut Gibran. Ini semua tidak memberi efek apapun terhadap pencalonan Gibran.

Bicara perspektif hukum Politik – Politik Hukum, menjadi wajah dalam kehidupan kita hari ini yang tidak terpisahkan. Siapapun yang akan berkuasa realitas empiric sepertinya akan selalu menggunakan cara – cara sepertinitu.Tinggal mana yang akan menguntungkan bagi kepentingan kekuasaan, apakah pendekatan hukum atau politik. Itulah cara untuk mempertahan kekuasaan, yang lemah tentu hanya sebatas berteriak, mahalnya sebuah keadilan.

Jika kita hari ini dibuat terkoyak – koyak tentang rasa keadilan rusaknya etika moral kekuasaan.Tentu kita semua sepakat setuju dengan itu semua. Hukum politik – politik hukum telah merusak sendi – sendi keadilan, yang lemah tak berdaya, merasa kekuasaan penuh dengan kedzoliman. Sehingga berbondong – bondong para para guru besar dari berbagai perguruan tinggi baik negeri /swasta, berteriak ” turun gunung ” dengan menancapkan bendera setengah tiang, tentang pentingnya etika moralitas kekuasaan.

Jika kekuasaan tidak bersandar pada etika moralitas yang melahirkan “politik dinasti” mewakili wajah “Gibran” tentunya menjadi menarik sedikit tentang hasil dari lembaga survei. Semua lembaga survei dalam surveinya menempatkan pasangan 02 (Prabowo Gibran) unggul diatas rata – rata pasangan 01 dan 03. Diprediksi pasangan 02 akan meraih kemenangan dalam pemilu 2024.

Mengapa suara “etika moralitas” yang menjadi tema besar dan menjadi kegelisahan kita semua tentang roda kekuasaan hari ini, tidak berbanding lurus dengan sikap publik terhadap pasangan 02 Prabowo Gibran. Suara lembaga survei yang menempatkan pasangan 02 Prabowo Gibran selalu unggul diatas pasangan 01 dan 03. Kenaikan suara 02 tentu menarik menjadi bahan kajian.

Artinya publik tidak begitu terpengaruh dengan adanya kasus di MK, tidak memiliki dampak terhadap pasangan 02. Seharusnya ini berdampak bisa ditandai dengan adanya kenaikan suara elaktabilitas 01 dan 03, akan tetapi tidak sama sekali adanya kenaikan elaktabilitas suara pemikih. Sebaliknya 03 misalkan malah stagnan tingkat elaktabilitas cenderung semakin menurun menurut hasil lembaga survei. Posisi 01 hanya mengalami kenaikan namun tidak begitu besar.

Bagi penulis proses pemilu 2024 mungkin lebih baik dan lebih maju dari proses pemilu 2014 dan 2019. Walaupun tidaklah sempurna seperti yang kita harapkan pasti ada kekuranganya. Kasus MK dan KPU menjadi catatan tersendiri telah mencoreng wajah di pemilu 2024 ini. Namun kita sangat bersyukur tidak terjadi polarisasi politik sosial yang keras ditengah masyarakat.

Tidak ada lagi tumbuhnya fenomena buzzerr atau istilah kecebong – kampret untuk mereduksi pasangan calon tertentu. Tidak ada istilah apapun yang dilekatkan kepada pasangan capres dengan membawa berbagai narasi yang negatif sampai menimbulkan differensi sosial yang tajam. Kalaupun ada tidak setajam pemilu 2014 dan 2019. Ini yang setidak kita syukuri bersama di pemilu 2024. Mungkin masyarakat sudah lelah dan sadar dengan keributan dalam pemilu, yang pada akhirnya pasca pemilu kehidupan nasib tidak kunjung berubah tetap sama.