SBY, Jokowi: Siapa Negarawan

Oleh: Ahmad Basri (Ketua K3PP Tubaba – Alumni UMY)

Presiden paling elegan mengakhiri jabatannya dengan tidak menimbulkan kegaduhan ” kontroversi ” diruang publik, setidaknya kita harus mengajukan ibu dua juri setinggi – tingginya buat SBY. SBY Presiden dua kali periode ( 2004 -2009) (2009 – 2014 ) telah mewarisi sifat kenegarawan seorang pilitikus dengan tidak menjadi seorang politik partisipan.

Sifat – sifat ini yang menjadi catatan untuk kita kenang hingga detik ini. Sebagai ” tokoh ” pendiri Partai Demokrat, SBY telah menjadi warna tersendiri dalam dinamika politik di Indonesia. SBY tidak hanya dikemas sebagai warna ” Partai Demokrat ” atau sebagai Presiden dua kali periode, tapi dikenang telah menancapkan landasan nilai – nilai moralitas kekuasaan bagaimana bersikap dan bertindak dalam mensikapi proses politik pemilu.

Pemilu 2014 merupakan ujian politik SBY terbesar dalam proses politik bagaimana mensikapi posisinya sebagai presiden. SBY sukses menyiapkan transisi kekuasaan, untuk tidak terjebak dalam politik partisan dukung mendukung capres Jokowi dan Prabowo.

Jika SBY mau dan berkehendak dalam ” permainan ” lingkaran politik partisan saat itu, maka sangat mudah untuk dilakukannya. Kekuasaan jabatan semua ada dalam tangannya. Struktur kekuasaan dalam kendalinya. TNI – Polri bisa dimainkannya diperintahkannya. Sebagai mantan petinggi TNI ( Kassospol ABRI ) SBY paham betul memainkan strategi politik.

Andaikan SBY mau memainkan strategi politik partisan, tentu rasa solidaritas korps sesama lahir dalam rahim militer, piskologis kekuasaan untuk berpihak kepada satu calon pilpres 2014 akan memberikan ” dukungan ” kepada Prabowo. Bisa dipastikan sejarah presiden 2014 bukanlah Jokowi tapi Prabowo. Disinilah letak SBY sebagai presiden dan politikus ” negarawan ” tidak terjebak dalam jiwa partisan militeristik korps yang sempit.

Tentu SBY jauh dibandingkan dengan Jokowi diakhir kekuasaannya berakhir. Tidaklah sulit sesungguhnya memahami kekuasaan Jokowi, yang dianggap publik banyak melakukan prilaku ” nyeleneh ” menyimpang dari moralitas sebagai presiden. Prilaku ” nyeleneh ‘ menyimpang sudah tumbuh dari awal – awal Jokowi mejadi presiden.

Efhoria politik kekuasaan yang berlebihan, terpilihnya Jokowi sebagai presiden 2014, telah menutup kesadaran publik tentang bibit – bibit ” nyeleneh ” Jokowi sebagai presiden. Kritik terhadap Jokowi dianggap sebagai politik kebencian, perspektif itu yang selalu dibangun. Daya nalar kritis publik dibungkam dengan berbagai narasi ketakutan publik.

Peran politik propogada buzzerr dimainkan dalam segala lini kehidupan publik. Tidak ada ruang kebebasan publik, semua yang berbeda dengan politik istana siap – siap untuk dilaporkan kepihak berwajib. Ini semua sebuah pengkondisian politik kekuasaan bagaimana kekuasaan itu ingin terus dilestarikan.

Sekali lagi Jokowi mabuk kekuasaan hingga puncaknya pada pendangkalan diruang ” sakral ” Mahkamah Konstitusi. Kasus Gibran mempertegas ambruknya moralitas kekuasaan Jokowi. Diiringin oleh ” pengkhianatan ” Jokowi terhadap PDIP ( Baca : Megawati ). Ini semua mengusik kesadaran publik bahwa jalan ” melawan ” meluruskan jalan pikiran Presiden Jokowi yang ” kotor ” harus tetap disuarakan.

Keluarnya pernyataan sikap keprihatinan dari para akademik kampus (UGM ,UII ) baru – baru ini, yang diwakili para guru besar tentu sangat menarik untuk dapat dipahami dalam kontek menjelang pemilu 14 Februari 2024. Setidaknya sikap keprihatinan yang disuarakan kalangan akademik tersebut, cukup membawa ” angin segar ” bahwa, dunia kampus belumlah mati dalam membangun kesadaran intelektual. Meraka ingin mempertegas bukanlah kaum intelektual ” menara gading ” yang hidup terasing dari dunia luar.

Tentu menjadi pertanyaan besar mengapa kesadaran kaum intelektual kaum cendikia tersebut hadir menjelang akhir kekuasaan Jokowi berakhir. Dimana posisi mereka selama ini dalam hampir 9 tahun lebih Jokowi berkuasa. Persepsi publik bisa berandai – andai apakah ini gerakan moral atau gerakan politik. Jika ini gerakan kesadaran moral intelrktual tentu setidaknya apa yang mereka lakukan patut didukung.

Namun jika apa yang mereka lakukan memiliki ruang ” gerakan politik ” yang ingin dipesankan kepada sikap anti kepada 02 tentu sungguh memprihatinkan. Mereka terjebak pada politik partisan intelektual bukan lagi sebuah pesan moral intelektual. Apa bedanya dengan Jokowi akhirnya sebagai presiden partisan.

Menjadi satu catatan hampir 9 tahun lebih Jokowi berkuasa, suara – suara dunia kampus pada umumnya, seperti kehidupan benda purbakala didalam museum – tak bersuara. Kasus mencuatnya ijazah palsu Jokowi misalkan, posisi UGM tidak bersikap tegas, cenderung menutup dari opini publik yang berkembang, dan seolah – olah membiarkan publik menerka – nerka sendiri. Ini tentu sesuatu yang mengusik kesadaran kita bersama ada apa dengan UGM. Jangan – jangan ijazah palsu Jokowi benar adanya.