Raja Jogya, Muhammadiyah dan NU

Oleh: Ahmad Basri (Ketua K3PP Tubaba – Alumni UMY)

Sepertinya sudah tradisi politik kebudayaan dari pemilu ke pemilu, capres cawapres berkunjung atau “sowan” di kediaman Raja Jogya Sri Sultan Hamengkubuwono ke X. Ini setidak merupakan bentuk penghormatan atas nilai – nilai cultural kebudayaan bahwa “Raja” merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Jawa.

Raja masih memiliki tempat tersendiri dalam mitologis masyarakat masyarakat jawa. Masyarakat Jawa berpandangan bahwa raja adalah jelmaan Tuhan (pusat mikrokosmos). Alam pemikiran itu masih berkembang ditengah masyarakat jawa ( jawa tradisional ), walaupun pandangan itu kini tidak sekuat seperti dulu seiring perubahan alam modernisasi.

Namun mikrokosmos mitologi simbolik tentang Raja menjadi bagian integral dari kebudayaan Jawa. Raja masih mendapat tempat tersendiri dan istimewa sehinga melapaskan ” simbolik ” Raja ditengah kebudayaan jawa tentu sesuatu yang mustahil itu terjadi. Raja dengan rumah besarnya ” keraton ” merupakan penjaga tradisi kemurnian adat istiadat kebudayaan jawa.

Itulah mengapa para capres cawapres setiap pemilu dipaksa atau tidak, selalu menempatkan diri “sowan” ke Raja Jogya. Ganjar, Prabowo, Anies sudah melaksanakan “tradisi” itu dan tentu memberi makna luas atas kunjungan tersebut. Legitimasi cultural politik menjelang pemilu tentunya sangat dibutuhkan oleh mereka bertiga.

Setidaknya penerimaan Raja Jogya dikediamannya di keraton mencerminkan pengakuan penegasan kebudayaan bahwa Raja merestui mereka. Sikap Raja dalam penerimaan terhadap ketiga capres tersebut, banyak dijadikan analisa politis cultural, sikap dan kecenderungan mana yang sesungguhnya dicintai secara simbolik personality oleh Raja.

Namun menariknya tidak pernah ada sikap gejala bahasa tubuh yang ditunjukan oleh Raja untuk tidak “netral” semuanya diterima dengan senyum terbuka. Posisi Raja harus mampu menempatkan setiap bahasa tubuh untuk benar – benar dan berhati – hati dalam berucap. Salah ucap bisa diberi makna tafsir cultural ditengah masyarakat dengan beraneka ragam.

Posisi Raja memang beda ditengah pergulatan politik dukung mendukung dalam pemilu. Raja tidak ingin menjadi bagian politik partisipan yang akan merugikan legitimasi Raja ditengah masyarakat. Jika Raja terjebak dalam politik partisan ikut bagian dari ” team sukses ” salah capres dalam pemilu tidak bisa dibayakan dampaknya yang terjadi. Kewibawaan sebagai Raja dimata publik akan luntur dan bisa jadi keistimewaan Jogya bagian dari sejarah republik, secara politis dapat diganggu oleh para politisi nakal.

Raja dalam posisi sikap netral tentu memberi keluasaan yang luas ditengah masyarakat untuk memilih siapa yang terbaik dari masing – masing capres menjadi pilihannya dalam pemilu dalam subyektif pandangan pribadi. Pemaknaan ini setidaknya sejalan dengan pemikiran besar organisasi Persyarikatan Muhammadiyah dalam mensikapi pemilu.

Pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah telah memberi sikap politis bahwa tidak ada politik yang namanya dukung mendung dalam pemilu 2024 terhadap capres. Dan sikap ini tetap konsisten sebagaimana pemilu – pemilu sebelumnya. Namun pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah memberi kebebasan sepenuhnya kepada warga Muhammadiyah untuk menentukan sikap personalitynya. Jika ingin terlibat politik praktis harus dari kepengurusan Muhammadiyah.

Sebenar sikap politik Persyarikatan Muhammadiyah hampir sama dengan sikap pengurus pimpinan NU. NU tidak dalam posisi politik dukung mendukung dalam capres pemilu. Mereka yang terbukti melakukan politik partisan membawa nama organusasi NU mendapatkan sangsi. Dipersilahkan keluar dari organisasi NU sebagai pengurus.

Apa jadinya jika pilar sosial keagamaan Muhammadiyah – NU serta pilar sosial kebudayaan yang diwakili oleh ” Raja ” Jogya menjadi bagian dari politik partisan dukung mendukung dalam pemilu. Ruang terbuka lahirnya konflik dan api permusuhan akan mudah terjadi. Merajut kembali keharmonisan sosial keagamaan dan sosial kebudayaan akan sulit terwujud.

Biarlah para politisi ( baca pileg ) berebut kekuasaan karna memang itu habit dari kehidupan politik di alam demokrasi. Namun menempatkan posisi Muhammadiyah – NU dan Raja dalam sikap netral dalam pemilu adalah kemulian moralitas paling tertinggi. Pilar utama menjaga spritualitas keagamaan dan budaya.