Oleh Shamsi Ali
Minggu pagi tgl 21 Januari New York City dilanda udara dingin yang cukup ekstrim. Tapi begitu bangun subuh saya justeru merasakan kehangatan karena dua hal.
Satu, karena pagi ini kita akan disuguhi acara penting di berbagai kanal TV maupun media lainnya. Acara debat keempat paslon Presiden-Wakil Presiden yang sedang bertarung untuk memenangkan hati rakyat Indonesia.
Dua, karena di pagi hari itu juga akan diadakan acara deklarasi dukungan kepada paslon Amin (Anies-Muhaimin) di pusat kota dunia, Time Square New York City.
Maka Setelah selesai Sholat subuh, dengan riang dan cekatan saya persiapkan laptop di ranjang agar bisa menonton debat itu sambil selimutan. Terasa godaan rasa malas dan kantuk itu kuat. Tapi demi cinta tanah air dan harapan untuk hadirnya perubahan yang lebih baik saya lawan dan harus tetap semangat.
Tepat pukul 8:30 pagi waktu New York rangkaian acara debat pun dimulai. Sebagaimana sebelumnya acara debat dimulai dengan hening cipta yang diakui doa oleh ketua KPU. Sesuatu yang nampaknya akan menjadi tradisi nasional ke depan di Indonesia. Di mana acara-acara formal tidak lagi dibuka dengan doa seperti biasa. Hal ini mungkin karena doa yang tradisional (yang biasa) mulai dianggap terlalu kental religious dan kurang berkarakter nasionalis (?).
Sejujurnya saya akui bahwa debat kali ini cukup seru dan attraktif (menarik). Cawapres Muhaimin tampil mempesona, menyampaikan isu-isu substantif dan sekali-sekali harus mengkounter upaya “teenage bullying” dari cawapres no. 2 yang nampaknya mencoba melaksanakan dengan penuh ketaatan arahan timnya.
Capres no. 3 tampil dengan baik. Walaupun pada berbagai kesempatan harus menghadapi “kenakalan remaja” yang terkadang menampakkan prilaku “childish” (kekanak-kanakan). Sang Professor pun harus kembali ke tabiat aslinya. Tidak mau dan tidak pantas merespon pernyataan (dalam bahasa Muhaimin) anak SD atau SMP. Bukankah memang panggung itu adalah panggung untuk membicarakan ide-ide besar policy (kebijakan) bangsa dan negara?
Karena kelakuan kekanak-kanakan yang tidak substantif dari cawapres Gibran itu Gus Muhaimin beberapa kali menyampaikan jeb-jeb bahkan tamparan keras kepadanya. Ketika menyinggung tentang catatan Muhaimin misalnya, hal yang boleh dan tidak melanggar aturan dan etika debat. Muhaimin menampar balik dengan mengatakan “saya catat sedikit. Yang penting ini bukan catatan Mahkamah Konstitusi” (merujuk kepada keputusan MK yang melanggar etika berat.
Pada bagian lain, yang saya yakin banyak yang memilki penilaian yang sama, adalah ketika menyinggung botol minuman Muhaimin dari plastik. Sementara sang cawapres lain memakai gelas dari kaca. Muhaimin tidak menggubris karena sama sekali tidak relevan dengan substansi debat cawapres. Muhaimin membawa air botol hanya karena tidak ingin mubazir air yang memang dibawanya dari awal.
Namun ketika cawapres no. 2 menanyakan tentang nikel dan lithium dengan menyebut LFP (Lithium Ferro Phosphate), nampaknya ingin tampil keren dan nampak cerdik. Kenyataanya tidak saja Muhaimin menjawab secara substantif, juga menampar lagi dengan mengatakan: “tenang pak Gibran. Semua ada etikannya. Kita debat di sini bukan tebak-tebakan istilah dan singkatan. Kita debat di sini mengenai kebijakan publk”.
Bahkan pada satu kesempatan tamparan Muhaimin itu lebih pedis: “ini saya ragu, kalau kita tebak-tebakan singkatan kayak anak SD atau SMP. Atau jangan-jangan-jangan ijazah palsu kita di sini palsu semua”.
Terus terang pernyataan terakhir Muhaimin ini tidak saja menusuk jantung Gibran. Bahkan kemungkinan sang ayah juga yang sedang menonton di ruang sana. Maklum masalah ijazah palsu ini telah lama di perdebatkan di ruang persidangan dan telah banyak menyita perhatian publik.
Intinya pada debat cawapres kali ini isu etika kembali menjadi salah satu isu utama. Baik pada tataran konsep bahwa semua kebijakan harusnya berdasar etika, termasuk proses pencalonan, hingga ke kebijakan lingkungan hidup. Tanpa menghiraukan etika semua akan bertendensi menghalalkan segala cara.
Tapi tidak kalah pentingnya adalah bahwa etika pada acara debat itu harus dipegang. Ketika para capres/cawapres menyampaikan atau mempertanyakan ide, gagasan dan kebijakan maka sepedis apapun itu biasa dalam debat poltiik. Yang tidak etis adalah gestur cawapres no. 2 perlihatkan kepada cawapres no. 3, baik cara berkata maupun gerakan tubuh yang dinampakkan.
Taubat Ekologis ala Muhaminin
Konsep taubat ekologis sesungguhnya pertama kali disampaikan oleh Pope Franciss beberapa waktu yang lalu. Istilah ini kemudian menjadi populer di kalangan aktifis lingkungan. Tentu baik secara keilmuan, apalagi secara agama konsep taubat ekologis ini menjadi sangat penting dan mendasar.
Realita ancaman ketidak adilan (environmental injustice) dan pengrusakan lingkungan hidup menjadi isu penting dalam debat cawapres tadi. Bahkan cawapres no urut 3 dari statemen pembukaan pun sudah mengutip ayat: “kerusakan telah nampak di daratan dan di lautan akibat apa yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia”. Muhaimin juga membaca ayat ini di statemen penutupnya.
Yang ingin saya garis bawahi adalah bahwa ketika Muhaimin mengutip konsep pertobatan ekologis ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan punya perhatian dan pemahaman yang cukup tentang isu-isu lingkungan yang telah menjadi isu global yang sangat besar dan menakutkan (scary reality).
Saya sebenarnya ingin menambahkan konsep tersebut sebagai tindak lanjut dari pentingnya “ecology repentance” (taubat akologis). Yaitu pentingnya bangkit dan membangun semangat juang untuk menyelamatkan lingkungan hidup yang sedang mengancam eksistensi manusia. Berbagai konsekwensi buruk ini, dari memanasnya bumi, natural disasters seperti gempa bumi, banjir, hingga Tsunami, dll, harus diperangi bersama.
Kalau Pope Franciss mengusung kata “ecological repentance” saya kemudian terpikir untuk mempopulerkan istilah “Ecological Jihad” atau Jihad Ekologis. Saya yakin konsep ini selain memang urgen, sekalgus akan memberikan makna positif yang lain dari kata jihad yang sering disalah pahami.
Terima kasih Gus Muhaimin telah menyebutkan konsep Paus Franciss dalam debat cawapres malam ini. Hal yang kemudian menginspirasi saya untuk mempopulerkan konsep “Jihad ekologis” (ecological jihad) sebagai penguatan dan implementasi dari perjuangan menyelamatkan bumi dari ancaman kehancurannya.
Insya Allah awal bulan Februari depan ini saya akan menjadi salah seorang pembicara pada konferensi “UN Week Interfaith Harmony”. Dan pastinya akan saya akan jadikan hal ini sebagai salah satu obyek bahasan. “The urgency of Ecological Jihad to save our earthly planet, our shared home” (Urgensi membangun semangat jihad ekologjs untuk menyelamat bumi, rumah kita bersama).
Semoga lancar dan sukses. Aminkan aja dulu!
Jamaica Hills, 22 Januari 2024