Orang-orang Kiri yang Berkhianat

Oleh: Ragil Nugroho

Setiap generasi akan mempunyai pengkhianatnya sendiri-sendiri. Pun, dalam gerakan kiri. Tentu yang rajin mengeja sejarah akan menemukan laku khianat seorang trotkis seperti Tan Malaka. Saat organisasi sedang menyusun pemberontakan untuk mengusir kolonialisme, Tan Malaka malah melakukan sabotase. Dalam panggung gerakan kiri dunia, Trotski bisa dijadikan contoh. Kala Soviet sedang gencar-gencarnya melawan fasisme, Trotski justru berkoar-koar di tempat persembuyiannya, menyerang garis politik Stalin.

Ia bukan hanya melemahkan gerakan anti fasis, tapi juga memberikan kesempatan pada lawan untuk melakukan tikaman balik. Setengah frustasi karena buku-bukunya tak mendapatkan respon yang baik alias tak laku, Trotski membuat sensasi seolah olah berperan sebagai oposisi terhadap Stalin. Tapi sejarah tak bisa ditipu. Tan Malaka dan Trotski dikenal sebagai Brutus dalam gerakan kiri.
Sudah hampir 100 tahun pengkhianatan ala Tan Malaka dan Trotski terjadi, tapi masih terus saja berulang. Yang paling anyar adalah pengkhianatan orang orang kiri yang masuk Persatuan Indonesia (Perindo). Organisasi ini diracik dan didirikan oleh taipan didikan Cendana: Hary Tanoesudibyo.

Setelah babak belur dalam pertarungan melawan Surya Paloh di Partai Nasdem, ia kemudian terbirit-birit meminta perlindungan tentara. Maka bergabunglah dengan partai yang didirikan oleh serdadu: Partai Hanura. Mungkin Tanoe beranggapan bahwa Jenderal Wiranto [bekas ajudan Jenderal Suharto dan pernah menjadi Panglima ABRI], bisa menjadi pelindung. Sebetulnya sudah biasa konglomerat bersekutu dengan tentara. Dengan kata lain, persekutuan borjuasi dengan tentara sudah ada seusia republik ini. Hal itu merupakan simbiosis muatalisme untuk mengamankan modal mereka, baik dari serangan faksi borjuasi yang lain maupun dari serangan kelas pekerja.

Dalam setiap kesempatan, Tanoe selalu menyerocos kalau Perindo berbeda dengan Hanura. Tapi siapa saja yang otaknya belum kram akan mengetahui antara keduanya adalah kembar siam; alat elektoral untuk Pemilu 2014. Tak mengherankan kalau Jenderal Wiranto diangkat sebagai dewan pembina Perindo. Dan dalam posisi ini para aktivis kiri berbondong-bondong masuk menjadi bagian. Sebagaimana perahu Nabi Nuh, mereka beranggapan Perindo merupakan penyelamat yang bisa membawa Indonesia keluar dari badai.

Anom Astika, mantan anggota PRD (Partai Rakyat Demokratik) serta pernah dibui oleh rezim Suharto (ini yang sering dibanggakannya sehingga merasa punya paspor khusus melakukan apa saja) dan Ardi Putra Utama, mantan anggota PRD asal Bandung yang banyak dididik dilingkungan PSI [Partai Sosialis Indonesia], tercatat sebagai deklarator Perindo yang paling perwira. Sebagai aktivis yang ikut mendirikan PRD, tentu mereka masih ingat [kecuali kalau ingatannya sudah lumutan], dua program penting partai berlambang Gir- Bintang itu: referendum untuk rakyat Timor Leste dan pencabutan Dwi Fungsi ABRI.

Agar tak terjadi amnesia sejarah, cuplikan isi Manifesto PRD bisa menjadi pengingat:

“Untuk itu penjajahan atas Timor Timur haruslah menjadi bab dari program perjuangan kita, bukan sekadar embel-embel solidaritas—dalam makna tabu terhadap rakyat Maubere untuk menentukan nasibnya sendiri: MERDEKA.”(Manifesto)

Tergurat dengan jelas dalam Manifesto itu PRD mendukung referendum bagi rakyat Maubere untuk menentukan nasibnya sendiri, dengan salah satu opsinya: Merdeka. Daniel Dhakidae dalam bukunya, Cendekiawan dan Kekuasaan, menandaskan bahwa PRD merupakan kekuatan politik pertama yang secara terbuka menyatakan invansi militer ke Timor Timur merupakan bentuk penjajahan. Pada akhirnya referendum dilaksakan semasa rezim Habibie. Hasilnya, rakyat Maubere memilih merdeka.

Lantas bagaimana sikap PRD terhadap Dwi Fungsi ABRI? Manifesto memberikan penjelasan yang gamblang:

“Inilah saatnya… Garda militer yang berlindung di bawah Dwi Fungsi ABRI harus dicabut…Militer menjarah lorong-lorong kehidupan masyarakat sipil, persis dengan hakikat kemiliterannya, sebagai penyandang senjata, lebih-lebih dengan hakikat rezim Orde Baru—
tak terusik oleh sejarah pencerahan abad pertengahan sekalipun….Oleh karena itu: Rakyat harus mencabut Dwi Fungsi ABRI.”(Manifesto)

Sikap PRD dalam persoalan Dwi Fungsi ABRI tak perlu ditafsirkan lagi. Sudah terlalu jelas titik komanya. Lantas mengapa jebolan PRD kemudian bersekutu dengan tentara? Di sinilah makna pengkhianatan orang-orang kiri sebagaimana dilakukan oleh Anom dan Ardi. Dengan sadar mereka telah mengencingi program perjuangan yang dulu mereka usung. Dan pengkhianatan itu semakin tampak bugil ketika kita tahu siapa sesungguhnya Jederal Wiranto.

Wiranto lulus dari Akademi Militer pada tahun 1968. Antara 1989 sampai 1993 menjadi ajudan Suharto. Robert Cribb dan Audrey Kahin dalam bukunya Historical Dictionary of Indonesia, menyebutkan:

“Namun, masa jabatannya sangat pendek [sebagai Menkopolkam dalam kabinet Gus Dur] terutama setelah terjadinya pembataian massal yang dilakukan oleh milisi dukungan militer setelah pelaksanaan referendum di Timor Timur. Komisi Hak Azasi Manusia merekomendasikan kepada Kejaksaan Agung untuk menyelidiki tanggung jawab Wiranto di sana…Pada Februari 2003, Perserikatan Bangsa Bangsa menuduhnya melakukan kejahatan kemanusian karena bertanggungjawab atas pembantaian selama referendum bagi kemerdekaan Timor Timur.”

Penjelasan di atas didukung oleh laporan resmi Komisi Kebenaran Timor Leste (CAVR). Dokumen tersebut kemudian dibukukan dengan judul Chega!. Dalam loporan itu nama Wiranto disebut sebanyak 69 kali. Peranan Wiranto yang paling menonjol adalah pembentukan milisi sipil pada waktu jajak pendapat. Tugas milisi sipil tersebut memastikan agar rakyat Timor Leste tetap memilih berintegrasi dengan Indonesia. Ketika hasil jajak pendapat diumumkan dan rakyat memilih merdeka, Timor Leste dibumihanguskan oleh milisi bentukan tentara. Dengan terbuka Wiranto mengakui bahwa milisi ada di bawah kendali tentara:
“Jenderal Wiranto, Panglima ABRI mengakui keterlibatan TNI dalam milisi…Dokumen militer belakangan memberikan bukti meyakinkan tentang pasokan senjata oleh TNI kepada milisi.”(Chega!)

Timor Leste terbakar. Rakyat menjadi korban. Mayat mayat bergelimpangan. Mungkin baik Anom maupun Ardi sudah membatu hatinya, tak bisa merasakan lagi penderitaan rakyat Maubere kala itu. Mungkin juga kedua mantan aktivis itu sudah bengkok nalarnya sehingga dengan enteng bersekutu dengan seorang jenderal yang telah membantai rakyat Timor Leste. Memang sulit dijelaskan melalui nalar yang waras ketika orang-orang yang dulu dengan garang berteriak tentang referundum Timur Leste dan cabut Dwi Fungsi ABRI, kemudian bersatu dengan jenderal yang hendak menggagalkan proses demokratis tersebut serta pendukung utama Dwi Fungsi. Dalam gerakan kiri ada taktik “bekerja di kalangan musuh” tapi mereka justru “bekerja untuk musuh”. Di sinilah kualitas keduanya bisa dilihat: jongos tentara.

Baiklah. Saatnya membuka halaman berikutnya. Kemiskinan mendekatkan diri pada kekufuran. Ungkapan dalam pepatah Arab tersebut cocok dilekatkan pada Kuncoro Adi Broto [populer dengan panggilan Kuncung]. Lama menjadi pelukis kiri dan tidak terkenal sehingga hidup miskin di ibu kota, membuat Kuncoro kehilangan batu pijakan. Dengan mudah ia kemudian melompat menggandul pada Perindo. Padahal sebelumnya lukisan-lukisan Kuncoro kental dengan nuansa anti tentara dan kapitalisme. Kita bisa melihat lukisan tersebut di cover Pembebasan (koran PRD). Malang melintang menjadi anggota Jaringan Kebudayaan Rakyat [Jaker; organisasi seniman yang berafiliasi dengan PRD], ternyata tak membuatnya teguh pada pendirian. Ia dengan mudah menukar prinsip berkeseniannya dengan isi perut.

Ketika deklarasi terlihat di layar kaca wajah Kuncoro begitu heroik menyanyikan mars Perindo, dan persis di hadapannya Jenderal Wiranto berdiri jumawa. Tak tahu apa yang tergetar di kalbunya saat itu. Mungkin ia memikirkan gaji bulanan yang ia dapatkan sehingga lupa kalau pelukis Lekra seperti Trubus dihilangkan oleh tentara. Mungkin juga ia berpikir setelah gajian akan makan di KFC, akibatnya ia lupa kalau pelukis Semsar Sihaan lututnya cacat permanen dihajar popor tentara. Bisa juga ia sedang berpikir ketika uang sudah cair akan pergi ke lokalisasi, tak ingat kalau penyair Wiji Thukul hilang diculik tentara. Tapi begitulah kenyataannya.

Kita tak akan mendapatkan lagi Kuncoro menggambar tentara atau Jenderal Wiranto yang membantai rakyat Timor Leste karena ia telah menjadi kaki tangan tentara. Kita tak akan melihat lagi gambar-gambar gurita kapitalisme dengan wajah Hary Tanoe yang menjerat kaum buruh karena sekarang ia telah bersekutu dengan konglomerat.

Lantas bagaimana dengan aktivis lain yang bersekutu dengan tentara di Perindo seperti Fendry Panomban dan Natalia? Tak perlu diungkap lebih panjang karena peranan mereka dalam gerakan anti kediktatoran tak pernah signifikan; sekadar numpang beken agar mendapat lebel aktivis kiri. Lebih baik kita uraikan aktivis dan intelektual kiri yang diam saja melihat persekutuan teman-teman mereka denga tentara.

Ada aktivis kiri yang begitu garang menyerang rencana pembangunan museum Suharto di Bantul, Yogyakarta. Tanpa rem pula ia memojokkan PKS yang pernah berencana memberikan gelar pahlawan kepada Suharto. Tapi tak pernah secuil kata mengutuk teman-temannya yang bersekutu dengan jenderal Orba semacam Wiranto. Sikap hipokrit tersebut sama seperti bunyi pepatah lama: kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak. Lumpur feodalisme rupanya masih menjangkiti aktivis-aktivis kiri yang mau dikenang sebagai penentang utama Suharto [prestasi yang dibanggakan setiap tanggal 22 Juli], tapi ewuh pakewuh terhadap teman seranjangnya yang bersekutu dengan tentara. Sebuah sikap yang menjijikkan tapi benar-benar terjadi.

Pun, dengan intelektual kiri yang begitu gagah mengupas Marxisme, tapi tak pernah muncul kritiknya terhadap aktivis kiri yang berkolaborasi dengan tentara. Tak tahu intelektual macam apa mereka, bisa berbusa-busa mengutip ayat-ayat Marxisme, tapi begitu toleran terhadap kongkalikong orang-orang kiri dengan tentara. Sikap ini sama memualkannya dengan intelektual-intelektual yang pada tahun 1966 diam saja ketika terjadi pembantaian terhadap orang-orang komunis. Masikah intelektual kiri karbitan itu punya muka menulis Logika Marxis, revolusi proletar, anti neoliberalisme, kebudayaan progresif dan segepok teori-teori Marxis lainnya?

Mungkin mereka menganggap Marxisme hanya olah pikiran, tak termasuk kritik terhadap metode gerakan. Tapi wajar karena memang mereka enggan menjejakkan kaki ke bumi dan lebih suka disebut bagawan.

Pada akhirnya, orang-orang kiri di Perindo hanya menjadi tukang pel untuk membersihkan darah yang telah ditumpahkan oleh Jenderal Wiranto dan konglomerat hitam. Disaat gerakan buruh-tani menggejolak dan sering digebug oleh tentara, mereka memilih berperan sebagai Brutus. Maaf [tidak bermaksud mencemooh], setelah pengkhianatan Tan Malaka dan Trotski, laku khianat mereka adalah yang terbesar sejak pelumpuhan gerakan kiri paska kudeta Suharto: bersekutu dengan konglomerat dan tentara sekaligus.
Haleluya.***

Lereng Merapi, 2013