Menjawab Ketua DPR RI: Alasan, Bukti dan Urgensi Pemakzulan Presiden Jokowi

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H (Advokat)

“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” [Pasal 7A UUD 1945]

Pasca pertemuan tokoh Petisi 100 dengan Menkopolhukam Mahfud MD di Kantor Menkopolhukam, wacana pemakzulan Presiden Jokowi terus menggelinding bak bola salju. Aspirasi yang disampaikan oleh Petisi 100 ini kemudian ramai ditanggapi oleh sejumlah politisi dan Parpol.

Pada Selasa kemarin (17/1), Ketua DPR RI Puan Maharani turut memberikan respons. Puan menyatakan bahwa DPR sebagai lembaga wakil rakyat tentu akan menampung aspirasi rakyat terkait wacana pemakzulan Jokowi. Hanya saja, Puan mempertanyakan apa alasan, bukti dan urgensinya.

Nah, untuk menjawab pertanyaan Ketua DPR RI tersebut, penulis ingin menyampaikan sejumlah alasan, bukti dan urgensi pemakzulan Jokowi agar DPR bisa segera menindaklanjutinya. Bukan soal apakah wacana ini bisa dibuktikan di DPR, MK dan dapat ditindaklanjuti oleh MPR, melainkan segenap rakyat berkeinginan agar proses dan mekanisme Pemakzulan Presiden bisa berjalan sesuai konstitusi.

Pengguliran aspirasi Pemakzulan ini juga tidak terkait waktu, apakah selesai paling tidak dalam waktu 6 (enam) bulan seperti yang disampaikan Yusril Ihza Mahendra, atau bisa lebih cepat dari itu. Pengguliran aspirasi ini juga bukan karena takut kalah Pilpres seperti didalihkan oleh Jimly Assidiqy. Mengingat, tokoh-tokoh petisi 100 bukanlah unsur parpol atau timses yang terlibat dalam kontestasi atau setidaknya ikut dukung mendukung Pilpres 2024.

Alasan, bukti dan urgensi Pemakzulan Jokowi yang disampaikan Petisi 100 dapat dipahami sebagai berikut :

Bahwa Presiden Jokowi harus dimakzulkan karena terbukti telah melakukan Perbuatan tercela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945, berupa tindakan cawe-cawe (intervensi) dalam Pilpres 2024 yang menyebabkan putra Presiden Gibran Rakabuming Raka bisa menjadi Cawapres, dibuktikan dengan adanya putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 02/MKMK/L/11/2023 yang menyatakan Anwar Usman melanggar kode etik berat saat mengadili dan mengeluarkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Adapun urgensinya adalah untuk menjamin pelaksanaan Pemilu 2024 berjalan secara LUBER (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) dan JURDIL (Jujur & Adil), sebagaimana dikehendaki oleh UU Pemilu. Sebab, jika Jokowi masih menjadi Presiden, Pemilu dilaksanakan dibawah kekuasaan Jokowi, maka dapat dipastikan Pemilu tidak akan LUBER dan JURDIL.

Urgensi lainnya adalah untuk menjamin hasil Pemilu 2024 legitimate dan dipercaya Rakjat. Sebab, jika Pemilu diadakan dibawah kendali Jokowi maka dapat dipastikan rakyat meragukan hasilnya. Patut diduga bahkan diyakini, Pemilu hasil kecurangan dan rekayasa. Padahal, rakyat butuh Presiden yang terpilih dari pertarungan yang sahih, bukan Presiden hasil kecurangan.

Selain alasan diatas, ada juga alasan, bukti dan urgensi pemakzulan Jokowi lainnya, yaitu:

Bahwa Presiden Jokowi harus dimakzulkan karena terbukti tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945, berupa tidak memiliki ijazah asli sebagai syarat menjadi Presiden, dibuktikan dengan adanya putusan Pengadilan Negeri Surakarta, Putusan Pengadilan Tinggi Semarang dan Putusan Mahkamah Agung R.I. dalam perkara Gus Nur dan Bambang Tri Mulyono, berupa Putusan Nomor 318/Pid.Sus/2022/PN.Skt dan Putusan 319/Pid.Sus/2022/PN.Skt. Jo Putusan Nomor 271/PID.SUS/2023/PT SMG dan Pusan Nomor 278/PID.SUS/2023/PT SMG Jo Putusan Nomor 4850/K/Pid.Sus/2023 dan Putusan Nomor 4851/K/Pid.Sus/2023.

Isi Putusan Gus Nur dan Bambang Tri menegaskan bahwa ijazah palsu Jokowi bukan kabar bohong melainkan hanya dianggap kebencian berdasarkan SARA (pasal kabar bohong dibatalkan oleh PT Semarang dan dikuatkan MA), sepanjang persidangan ijazah asli Jokowi juga tidak ada, sehingga bisa disimpulkan bahwa ijazah Jokowi palsu. Karena ijazah Jokowi Palsu, maka Jokowi terbukti tidak memenuhi syarat sebagai Presiden karena syarat untuk menjadi Presiden minimal berpendidikan SMA sederajat yang dibuktikan dengan ijazah yang asli, bukan ijazah Palsu.

Urgensinya, agar bangsa Indonesia terbebas dari legacy tuduhan pernah dipimpin oleh Presiden berijazah palsu. Agar generasi saat ini, mampu bertanggungjawab pada generasi selanjutnya, dengan mewariskan legacy berbangsa dan kepemimpinan nasional yang steril dari ijazah palsu.

Terakhir, penulis meyakini bahwa dua alasan diatas, yakni Presiden Jokowi terbukti telah melakukan perbuatan tercela dan Presiden Jokowi terbukti tidak memenuhi syarat, cukup untuk menjawab sekaligus meyakinkan DPR agar segera mengaktivasi Pasal 7A UUD 45 dan melakukan proses Pemakzulan Jokowi. Sebab jika tidak, penulis khawatir DPR tidak akan lagi dipercaya sebagai lembaga perwakilan rakyat.