Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)
“Kehidupan adalah perang melawan itikad buruk manusia” ( Baltasar Gracian : 1601 – 1658 )
Dalam sebuah pertarungan politik sering kali berhadapan seseorang yang di luarnya menyenangkan dan koperatif, di balik layar mereka manipulatif dan licik dengan niat jahatnya.
Dalam dunia politik terlalu banyak seseorang bahkan seorang presiden sekalipun diluar terus berbicara layaknya orang bijak namun cenderung berkhianat dibalik layar.
Seorang penguasa ingin terus berkuasa ketika kekuasaannya dilanda kekacauan untuk menyelamatkan diri sekuat tenaga berusaha menutupi kelemahannya, semaksimal mungkin akan tampil meyakinkan, menyenangkan agar tetap mendapatkan simpati, dukungan perlindungan dari rakyatnya.
Sayang rakyat justru sudah merekam kedok ambisinya kekuasaan yang ugal-ugalan, terus menerus melanggar konstitusi dan semua aturan dilindas. Rakyat sudah terlanjur marah dan telah sampai klimak rasa muak, harus dilawan dan di makzulkan.
Ketika rakyat sudah berani melawan secara terang-terangan dan penguasa tahu sedang dalam ancaman. Efeknya adalah sensasi penguasa yang samar samar akan mulai kelihatan murung , bingung, ketakutan dan munculnya macan macam rekayasa untuk bertahan. Serangan yang terus menerus, menyusupkan rasa inferior.
Serangan dari media sosial yang terus menerus menerjang Jokowi, nampaknya sederhana akan memicu rasa ketakutan, was was dan energinya akan merusak dirinya.
Selanjutnya akan kelihatan menonjol reaksi berlebihan, pikiran menjadi nanar, limbung, ucapannya asal asalan dan timbul perasaan terhina.
Bisa akhirnya harus menyerah, bagaimana itu bisa terjadi dan apa persisnya itulah gambaran ketika rakyat harus melengserkan Suharto saat itu.
Lahirnya analisa para pengamat politik bahwa Jokowi bisa di makzulkan atau paslon capres milik pengusaha bisa di tumbangkan adalah proses politik yang sangat mungkin terjadi.
Politik busuk Jokowi sudah tidak bisa di permak dengan basa basi , dikawal dengan pencitraan semua sudah terlambat, ketika ambisi mementingkan diri dan keluarganya sudah terang benderang dengan politik dinastinya.
Pahamilah yang akan menjadi efek terbesar dalam permainan memelihara keunggulan adalah gangguan tidak kentara dalam suasana hati dan pikiran, bahwa politik dinasti, dengan memaksakan figur Gibran yang sering di disebut hasil dari anak haram konstitusi akan menyesatkan PS yang sangat menyakitkan.
Jokowi sendiri dengan Gibran sebagai penggantinya sama saja telah menyarungkan tinju besi dalam sarung beludru nya dan akan memukul dirinya sendiri, dan keluarganya.