Gibran sebagai Cawapres Kosmetik Berpotensi Abaikan Etik

Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)

Gibran membuat banyak blunder lagi di debat cawapres beberapa hari lalu. Selain soal jawaban yang tidak orisinil, sering tidak nyambung, tidak bisa menjawab malah menyuruh si penanya googling, juga mengemukakan singkatan yang tidak revan, yang dia sendiri tidak paham selain lihat contekan (seperti singkatan SGIE).

Secara keseluruhan pemaparan Gibran hanya “membeo” pendiktenya, otaknya tetap kosong.

Memang awalnya banyak pihak yang memuji penampilan Gibran, karena Gibran dianggap lancar dan menguasai panggung dalam memberikan pemaparan dan pertanyaan kepada Paslon lain. Ini berbeda dengan sikap-sikap Gibran sebelumnya yang terkesan menghindari debat bahkan pertanyaan pun tidak bisa dijawab dengan tepat.

Tapi, usut punya usut, Gibran hanya seperti boneka yang diberi alat bicara yang diremote dari jarak jauh. Di tubuh gibran sepertinya dipasang 4 alat : di belakang ditempel alat semacam transmiter, di kepala dan telinga di pasang earphone, dan headset, di baju dipasang clipt on, dan di tangan pegang hand-held. Seorang pakar telematika Roy Suryo telah menganalisa dari awal tentang teknik transformasi suara dari jarah jauh yang kedapatan menggunakan berbagai alat bantu yang bisa menerima pesan dari luar.

Muncul pertanyaan publik terhadap Gibran : “Mengapa Gibran hanya berani ikut acara “debat” (baca : pemaparan visi-misi) yang diselenggarakan KPU?” Berkali-kali Gibran mangkir ketika diundang menghadiri debat capres-cawapres yang diselenggarakan oleh organisasi sosial dan pendidikan. Jadi inilah alasannya. Jika debat di luar KPU Gibran tidak ada yang bisa membantu.

Sedangkan KPU diduga telah memberikan prevelege (keistimewaan) kepada Gibran berupa : menyediakan podium, boleh membawa kertas baca : contekan) dan alat tulis, dan diberikan fasilitas khusus berupa alat komunikasi khusus yang bisa menerima pesan dari seseorang yang mendiktenya.

Diprediksi jika Gibran jadi wapres, hanya akan jadi patung atau boneka yang dikendalikan para Sengkuni yang haus jabatan dan siap membela mati-matian walau harus terjun ke jurang sekalipun.

Sebagai boneka, maka dipastikan oligarki taipan akan terus mengendalikannya.

Ini berbagai masalah bakal muncul jika Gibran tetap dimenangkan :

Pertama, oligarki taipan masih menjadi pengendali semua kebijakannya.

Apalagi selama jadi cawapres banyak dana-dana siluman yang sangat besar, yang diduga berasal dari kucuran para oligarki taipan. Gibran telah masuk jeratan oligarki taipan.

Kedua, cawe-cawe Jokowi bakal berlanjut.

Belum juga menang, Jokowi sudah membuat draft aturan tentang pembagian “wilayah kekuasaan” antara Prabowo dan Gibran, di wilayah pusat dan sekitarnya (Jakarta, Depok, Bekasi, Banten, Jawa Barat, dll) menjadi wilayah kekuasaan Gibran, sedangkan Wilayah IKN dan Indonesia Timur diserahkan kepada Prabowo.

Ketiga, pasangan Prabowo-Gibran hampir dipastikan akan melanjutkan program carut-marut Jokowi

Mulai dari program hutang luar negeri, eksploitasi kekayaan alam, pembiaran cengkeraman China di Indonesia, kekuasaan mengalahkan hukum, pembungkaman oposisi, otoriter, pelanggaran HAM, pelanggaran etik, korupsi meraja lela, penentangan rakyat terhadap pemerintah makin masif, dan rakyat tetap sengsara dan menderita.

Keempat, Watak asli Prabowo akan semakin mendominasi dalam menjalankan pemerintahannya.

Masih menjadi capres pun Prabowo telah menunjukkan karakter (asli) buruknya : kejam, temperamental, menghina ulama, memusuhi umat Islam yang taat, korup, dan banyak berbohong. Setelah jadi presiden hampir dipastikan akan lebih otoriter lagi.

Kelima, Prabowo-Gibran bakal lebih pro oligarki taipan daripada kepada rakyatnya sendiri.

Seperti komitmennya pasangan Prabowo-Gibran akan melanjutkan program Jokowi (yang menurut rakyat sudah gagal) : hutang menggunung, ekonomi terpuruk, lapangan kerja susah, TKA China terus membanjiri Indonesia, kriminalisasi ulama, pembungkaman oposisi, kebebasan berbicara dipasung, harga-harga terus melambung, korupsi meraja lela, kolusi dan nepotisme terus berjalan, masyarakat terus dibuat dungu, dan marwah Indonesia di luar negeri semakin terpuruk.

Tanpa kecurangan suara Prabowo-Gibran hanya 1 digit, bahkan menurut hasil polling liputan6.com, dengan responden sekitar 96.000 voter, elektabilitas Prabowo-Gibran hanya 2.6%.

Jika Gibran yang penuh kosmetik dipaksa menjadi cawapres, hampir dipastikan nasibnya sama seperti ayahnya : penipu, pembohong, penindas, dan pelanggar etik.

Rakyat sudah muak dengan Jokowi, bagaimana mungkin akan memilih pasangan Prabowo-Gibran ?

Gunakan hati nurani dan akal sehatmu ketika memilih capres-cawapres, sebelum penyesalan berkepanjangan itu terjadi.

Bandung, 13 J..Akhir 1445