Pengelolaan APBN Gagal dan Merugikan Keuangan Negara

Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tahun anggaran 2023 ditetapkan defisit Rp598,15 triliun, atau 2,84 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto). Jumlah ini di bawah ambang batas 3 persen yang dibolehkan oleh undang-undang. APBN tahun anggaran 2023 tersebut ditetapkan di dalam UU No 28 Tahun 2022 tentang APBN Tahun Anggaran 2023.

Namanya Undang-Undang (UU), wajib ditaati. Begitu juga dengan UU APBN yang ditetapkan bersama DPR, pada hakekatnya mengikat dan wajib ditaati pemerintah dalam mengelola APBN, dan merealisasikan pengeluaran Belanja Negara.

Tentu saja, APBN adalah sebuah “anggaran”, yang artinya bersifat perkiraan, sehingga tidak mungkin 100 persen tepat atau akurat. Artinya, realisasi APBN pasti berbeda dengan anggaran. Ini dapat dipahami sepenuhnya.

Tetapi, persoalan APBN bukan masalah akurasi semata. Meskipun akurasi dalam perkiraan APBN tentu saja cukup penting. Agar realisasi pengeluaran (baca: belanja) dapat sebaik mungkin mendekati anggaran, agar target ekonomi dan sosial yang ditetapkan di dalam APBN dapat tercapai sesuai rencana.

APBN terdiri dari dua komponen. Yaitu, Pendapatan Negara dan Belanja Negara. Dari dua komponen APBN tersebut, Pendapatan Negara bersifat perkiraan, atau disebut anggaran. Karena itu, realisasi penerimaan Pendapatan Negara bisa meleset dari anggaran yang ditetapkan.

Artinya, anggaran atau perkiraan Pendapatan Negara di luar kendali pemerintah, bisa fluktuatif, karena dipengaruhi banyak faktor yang di luar kendali pemerintah. Antara lain, nilai tukar rupiah, harga minyak dunia, suku bunga global, perdagangan internasional (ekspor-impor), serta pertumbuhan ekonomi global, dan lainnya.

Di lain sisi, komponen Belanja Negara sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah. Sebagai konsekuensi, maka defisit APBN juga sepenuhnya dalam kendali pemerintah. Karena, pemerintah dapat menyesuaikan jumlah Belanja Negara atas kelebihan atau kekurangan penerimaan Pendapatan Negara.

Sebagai contoh, pada tahun tertentu, anggaran Pendapatan Negara ditetapkan Rp1.000 triliun dan anggaran Belanja Negara Rp1.100, sehingga rencana atau anggaran defisit APBN menjadi Rp100 triliun.

Kalau realisasi Pendapatan Negara ternyata Rp50 triliun lebih rendah dari perencanaan (anggaran), menjadi Rp950 triliun, pemerintah dapat menyesuaikan Belanja Negara juga turun Rp50 triliun, menjadi Rp1.050, untuk mempertahankan defisit anggaran tetap Rp100 triliun (Rp950 triliun – Rp1.050 triliun), dengan asumsi defisit tersebut mendekati ambang batas yang dibolehkan UU sebesar 3 persen dari PDB.

Cara seperti itu merupakan cara pengelolaan keuangan negara dan APBN yang bertanggung jawab dan taat UU APBN. Karena, perencanaan Belanja Negara merupakan bagian dari perencanaan pencapaian target ekonomi dan sosial, seperti target pengurangan angka stunting, tingkat kemiskinan, target pertumbuhan ekonomi dan inflasi, pemenuhan kebutuhan sanitasi layak, infrastuktur (desa), irigasi, dan sebagainya.

Tetapi, realisasi APBN 2023 mengejutkan. Pemerintah mengumumkan realisasi defisit APBN per 12 Dese,ner 2023 hanya Rp35 triliun, jauh lebih rendah dari rencana defisit anggaran sebesar Rp598,15 triliun. Padahal, realisasi Pendapatan Negara mencapai Rp2.553,2 triliun, lebih besar Rp90 triliun dari anggaran Rp2.463 triliun. Tetapi, realisasi Belanja Negara hanya Rp2.588,2 triliun, jauh lebih rendah dari anggaran Rp3.061,18 triliun. Lebih rendah Rp473 triliun.

Profil realisasi APBN 2023 seperti itu menunjukkan pemerintah gagal mengelola APBN. Ada dua kemungkinan penyebab kegagalan ini. Pertama, pemerintah memang tidak kapabel. Atau, kedua, pemerintah sengaja tidak merealisasikan Belanja Negara sesuai rencana anggaran yang sudah disetujui DPR. Dalam hal ini, artinya, pemerintah sengaja melanggar UU APBN.

Nampaknya, pemerintah memang sengaja melanggar UU APBN. Alasannya, pemerintah sampai 12 Desember 2023 sudah menarik utang Rp345 triliun untuk membiayai rencana defisit APBN 2023 sebesar Rp598 triliun. Tetapi tidak dipakai. Karena tidak ada defisit. Karena pemerintah menahan Belanja Negara.

UU APBN secara eksplisit menyatakan, Rakyat (DPR) memberi wewenang kepada pemerintah menarik utang hanya sebesar untuk membiayai defisit anggaran. Dengan kata lain, pemerintah tidak boleh menarik utang lebih besar dari defisit anggaran. Maka dinamakan utang Pembiayaan Anggaran.

Karena itu, menarik utang Rp345 triliun untuk membiayai defisit anggaran Rp35 triliun sangat tidak masuk akal dan melanggar UU APBN. Selain itu juga merugikan keuangan negara dan menguntungkan pihak lain (kreditur pemilik modal). Karena pemerintah harus membayar bunga atas utang yang seharusnya tidak diperlukan untuk membiayai defisit anggaran.

Patut dicurigai, pemerintah sengaja “menggelembungkan” anggaran Belanja Negara di APBN 2023 (Rp3.061 triliun), yang sebenarnya tidak diperlukan sebesar itu. Atau, pemerintah sengaja memangkas anggaran Belanja Negara yang sudah disepakati dengan DPR di dalam UU APBN, yang berakibat tidak tercapainya target ekonomi dan sosial, dan merugikan masyarakat kelompok bawah (miskin).

Atau, alasan terakhir, mungkin juga utang Pembiayaan Anggaran tersebut terpaksa digunakan untuk membayar utang pemerintah yang jatuh tempo tahun 2023 sekitar Rp600 triliun, karena pemerintah tidak ada uang, karena tidak bisa refinancing alias menarik utang baru untuk membayar utang lama.

Artinya, investor tidak tertarik memberi utang kepada Indonesia. Hal ini sejalan dengan laporan Bank Dunia, bahwa tahun ini, investor global menarik utang dari negara berkembang lebih besar dari meminjamkan, sehingga dapat memicu krisis.

Kalau ini yang terjadi, maka krisis valuta dan moneter sudah di depan mata.