by M Rizal Fadillah
Begitu gegap gempita Pemilu 2019 rakyat mendukung Capres Prabowo. Yakin menjadi pemenang. Sayang pada kenyataannya justru “dikalahkan” oleh kelicikan. Kasihan Prabowo untuk kesekian kali gagal. Pendukung semakin mengasihani setelah Prabowo bertekuk lutut pada Jokowi sang “pemenang”. Ia menjadi “pembantu”nya dengan sejuta puja-puji. Mungkin berangka lebih dari sejuta, yang jelas over dosis.
Jengkel pada Megawati, Jokowi terbeli oleh lidah Prabowo dan Prabowo semakin ingin membeli hati Jokowi. Dimintanya Gibran menjadi Cawapres meski anak itu masih “di bawah umur”. Ayah dan ibu Gibran bahagia menitipkan sang anak kepada Prabowo. Soal “di bawah umur” bisa di “mark up” dengan narasi bantuan paman. Itulah gunanya menguasai Mahkamah Keluarga.
Dulu Prabowo diliciki dengan bertarung melawan “Negara” yang segala ada dan bisa. Jokowi waktu itu masih berstatus sebagai Presiden aktif. Semua fasilitas dikerahkan termasuk partai politik, tentara, polisi, intelejen dan tentu saja mesin uang. KPU juga ahli dalam otak-atik angka. Sementara Bawaslu mati dan MK menjadi juru selamat. Kasihan Prabowo.
Jokowi ahli dalam menghibur dengan menawarkan Prabowo sebagai Menteri. Prabowo terhibur dan menerima jabatan Menteri Pertahanan. Ada senjata dan dana pada jabatan itu. Menjadi modal sosial dan politik untuk maju lagi. Sekarang bukan untuk melawan Jokowi yang gagal berkuasa tiga periode, tetapi berkawan. Menerima titipan “shadaqah” anak Jokowi sebagai Cawapres. Berdansa dengan iringan musik orkestra.
Ada gesekan biola yang dimainkan para Ketum tersandera. Mendayu dengan irama sendu nestapa. Ada tiupan terompet aparat dari istana hingga desa. Kompak menyatakan siap gerak. Ada tuts piano hitam putih yang ditekan cekatan oleh para relawan bayaran. Ada hentakan drum keras untuk mengagetkan dan menakuti. Semau-mau gue, lu mau apa ? Negara adalah aku. Ada pula penyanyi latar dengan suara uang berhamburan. Pengusaha yang ikut bernyanyi.
Machiavelli mengajarkan politik licik. Berdusta demi kuasa. Berpura-pura bermain musik padahal mencabik-cabik. Kancil cepat berubah menjadi Srigala. Politik klasik ini digemari oleh para penguasa durjana. Yang sekali menduduki istana ingin selamanya berada disana. Dengan segala cara.
Prabowo bersama Jokowi potensial bermain licik demi sukses bersama. Diawali Jokowi yang beromong netral tetapi prakteknya menjadi dirigen dari penyiasatan. Melawan “pensiunan” Jokowi tetap Presiden, Prabowo tetap Menhan dan Gibran tetap Walikota. Konflik kepentingan tetap menjadi mainan.
Anak lolos atas peran ibu dan paman. Dulu Marcos punya Imelda kini Jokowi ada Iriana. Dulu Ferdinand “Bongbong” Marcos masih “anak ingusan” sewaktu ayahnya berkuasa dan terjungkal, kini Bongbong jadi Presiden Filipina.
Sekarang Gibran putera Jokowi masih bocil. Mungkin esok proses karbitan mampu membuktikan kelanjutan dari kekuasaan. Prabowo rupanya menjadi tempelan harapan.
Jokowi berjuang dengan segala upaya untuk putera tercinta. Tidak peduli dengan tudingan politik dinasti atau nepotisme. Semua dilabrak bahkan tega mengubah-ubah aturan untuk menolong Gibran. Brutal, vulgar dan menginjak-injak etika. Prabowo potensial berada di ruang kelicikan untuk kemenangan itu. Bersama Jokowi.
Ketika orkestra yang tidak enak didengar oleh penonton itu tetap bertahan dan beritme semau dirigen sendiri, maka kesabaran penonton menemukan batasnya. Berteriak dan mulai melempari panggung. Dahsyat membubarkan paksa. Penonton saat itu adalah pemilik kedaulatan. Kekuatan rakyat.
Hanya people power yang mampu meruntuhkan politik licik Jokowi.
Berharap Pilpres yang adil dan jujur ? Mimpi kalee.
Segera makzulkan, biarkan Pemilu tanpa ada Jokowi.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 4 Desember 2023