Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berlangsung di Sorong Minggu (12/11) lalu. Dalam operasi itu KPK menangkap Pj Bupati Sorong Yan Piet Mosso dan lima orang lain dari unsur pemerintah daerah Sorong dan Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi Papua Barat.
Dari operasi tangkap tangan Pj Bupati Sorong itu, menyeruak ‘skandal Sorong’ yakni temuan dokumen pakta integritas yang berisi komitmen Mosso untuk memenangkan calon presiden Ganjar Pranowo dalam pemilihan umum presiden tahun 2024. Dalam dokumen yang ditemukan itu, bahkan disebut jumlah kemenangan yang harus diupayakan di Kabupaten Sorong sebesar 60%+1. Dokumen itu ditandatangani Pj Bupati Sorong, Yan Piet Mosso dan Kabinda Papua Barat Brigjen TNI TSP. Silaban.
Sehubungan dengan temuan itu, aktivis reformasi 1998 Sulaiman Haikal menyatakan keprihatinan mendalam. Melalui rilis yang dibagikan kepada wartawan, aktivis mahasiswa yang di tahun 1998 memimpin organisasi PIJAR Indonesia itu mengingatkan, paradigma intelijen Indonesia sudah seharusnya berubah mengikuti paradigma reformasi di Indonesia.
“Intelijen yang di masa lalu hanya merupakan instrumen alat melanggengkan kekuasaan semata, kini mesti berubah dan harus menyesuaikan diri dalam pusaran demokrasi pasca Orde Baru,” ungkapnya.
Nah, apa yang nampak dari skandal Sorong adalah kemunduran lembaga intelijen negara. Alih-alih sebagai bagian penting dari sistem peringatan dini pertahanan dan kemanan negara, perilaku BIN yang dipertontonkan melalui Kepala BIN Daerah (KABINDA) Papua Barat melalui pakta integritas itu justru berbalik mundur kembali menjadi alat melanggengkan kekuasaan.
“Dengan pakta integritas itu, BIN ingin agar PDIP yang telah berkuasa selama 10 tahun terakhir ini, dapat terjamin kelanggengannya melalui kemenangan calon presiden yang diusung yakni Ganjar Pranowo. Bukan tidak mungkin, Pj kepala daerah lain membuat pakta integritas serupa kepada BIN di daerahnya masing-masing,” jelasnya.
Oleh karena itu aktivis 98 Sulaiman Haikal meminta kepada Presiden RI Bapak Joko Widodo untuk segera mengambil langkah-langkah taktis strategis untuk menyelamatkan institusi BIN dan memulihkan kepercayaan rakyat. “Sebagai penanggung jawab langsung BIN, presiden harus segera memutuskan penggantian kepala BIN,” jelasnya.
Langkah taktis penggantian beberapa unsur pimpinan BIN nampaknya belum cukup, karena terbukti kini malah muncul skandal Sorong yang bisa menjadi pintu masuk bukti kecurangan terstruktur di daerah-daerah lain.
Haikal juga mendengar kabar bahwa SK pengangkatan kepala BIN lama yakni Budi Gunawan sudah kadaluwarsa satu atau dua tahun lalu. Kesimpang siuran isu ini juga harus diperjelas oleh Mensesneg Pratikno. Jika memang benar jabatan Budi Gunawan tersebut sudah selesai, baiknya Presiden Jokowi segera melakukan pengangkatan Kepala BIN definitif agar tercipta kepastian dan keteraturan tata kelola pemerintahan.
“Untuk figur yang akan diusulkan dan diangkat, tentu saja itu menjadi hak prerogatif yang melekat pada Presiden Jokowi,” pungkas Haikal.