Keterkaitan Penaklukan Konstantinopel dengan Amil Zakat

Oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi, Associate Expert FOZ)

Langit Konstantinopel yang cerah hari itu bertambah cerah. Tepat tanggal 20 Jumadil Awal 857 Hijriah atau bersamaan embusan anginnya menjadi saksi ketika Sultan Muhammad II dan seluruh pasukannya berhasil memasuki kota Konstantinopel, ibu kota Romawi Timur atau disebut juga Bizantium, Sejak saat itu pulalah sosok pimpinan penakluk Konstantinopel dikenal luas dengan nama Muhammad al-Fatih.

Peristiwa ini tak berdiri sendiri. Kemenangan pasukan Muhammad al-Fatih adalah puncak dari rangkaian panjang hampir delapan abad lamanya. Yakni sejak umat Islam diberikan informasi oleh Rasulullah bahwa kelak mereka akan menaklukkan Romawi dan memasukinya dengan kemenangan gemilang. Nubuwah penaklukan Konstantinopel ini menjadi impian yang dirawat setiap kekhalifahan Islam, dari generasi ke generasi. Maka, seperti dicatat dalam sejarah ekspedisi penaklukan konstantinopel terus bergelombang dilakukan tiada kenal kata kalah, apalagi menyerah.

Menaklukkan Romawi tidaklah mudah, yang ketika itu negeri adidaya dunia. Superpower yang kekuatan tentara dan daya dukung negaranya seolah tak terdapat celah sedikit pun untuk dicari titik lemahnya. Kekuatan pasukan Romawi berpadu sangat kuat dengan letak kota Konstantinopel yang dikelilingi benteng-benteng tinggi dan kokoh. Wajar bila Rasulullah mengatakan, “Yang akan menaklukkan Romawi adalah sebaik-baik pasukan, dan pemimpinnya adalah sebaik pemimpin.”

Sultan Muhammad II pun memiliki mimpi besar yang san Secara bertahap, ia terus menyiapkan seluruh langkah penaklukan. Bahkan, jauh sebelum menjabat sebagai khalifah, sang ayah sudah menggembleng dengan seluruh syarat dan ketentuan layak kemenangan bisa dihadirkan. Sebelum penaklukan, Sultan Muhammad II telah menyiapkan lebih dari empat juta prajurit. Pasukannya ini seolah tanpa kenal lelah mengepung benteng Konstantinopel. Hingga tak sedikit pasukan sang Sultan kehilangan nyawa. Pengepungan dilakukan tanpa putus selama sekitar 50 hari. Benar-benar menguji kesabaran dan pikiran, di samping menguras tenaga dan perbekalan. Pertahanan kokoh Romawi Timur memang sudah dikenal luas.

Sebelum musuh mencapai bentengnya, mereka memagari laut yang mengitari dengan rantai yang membentang semenanjung Tanduk Emas. Tidak mungkin bisa menyentuh benteng Bizantium kecuali dengan melintasi rantai tersebut. Alhasil, hari yang melelahkan terus dijalani seluruh pasukan Sultan Muhammad II, tanpa kata menyerah apalagi putus asa kendati dengan segala dinamika manusiawi di dalamnya.

Tak ada yang tidak mungkin bagi hamba Allah yang mendekatkan dirinya dengan penuh kesungguhan. Tak kurang atas kecerdasan yang diliputi kesungguhan untuk berjuang bagi masa depan umat, akhirnya Sultan Muhammad II menemukan ide yang la pikirkan sebagai satu-satunya cara agar bisa melewati pertahanan laut Romawi Timur. Sultan Muhammad II pun menaikkan 70 kapalnya ke darat melintasi Galata ke muara setelah meminyaki batang-batang kayu. Hal itu dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, tidak sampai satu malam. Pagi harinya, Romawi Timur kaget bukan kepalang, tidak menyangka lawannya memiliki siasat yang tak pernah terpikirkan sebelumnya: menyeberangkan kapal-kapal lewat jalur darat. Sebanyak 70 kapal ukuran besar diseberangkan lewat jalur darat yang masih ditumbuhi pohon-pohon besar hanya dalam waktu satu malam. Suatu kemustahilan menurut Romawi, namun itulah yang terjadi di depan matanya.

Lalu apa hubungan antara kisah penaklukan Konstantinopel dengan amil zakat saat ini? Intinya adalah di balik beragamnya para amil, dan tak mudahnya menyatukan para amil dalam satu barisan kebaikan bersama, sesungguhnya harapan itu masih terbuka luas. Mungkin hari-hari ini tampak ada perbedaan teknis dan cara pandang dalam mengimplementasikan rencana dan ide masing-masing lembaga. Namun, semua ini memiliki logika kemungkinannya sendiri. Yang penting adalah semua pihak memiliki visi besar untuk menjadikan gerakan zakat sebagai wadah berhimpun untuk kemaslahatan umat dan bangsa.

Mungkin sebagian pembaca menangkapnya ada “pemaksaan” perbandingan, yakni menautkan perjuangan al-Fatih dengan kondisi terkini gerakan zakat Indonesia. Namun, percayalah bila semua amil zakat bisa memenuhi layaknya hadits tentang penaklukan konstantinopel, kemudian mengambil pelajaran hadits nubuwah di atas lalu dikontekskan ke kiprah gerakan zakat, maka rasanya logis saja. Jadi, substansi makna dari hadits tadi kita dekatkan untuk gerakan zakat Indonesia sehingga menjadi: “Seluruh amil akan bersatu. Bila pemimpin yang mengkoordinasinya adalah sebaik-baik amil, dan amil yang dipimpinnya adalah sebaik-baik amil.”

Hari ini, di hadapan para amil, terbentang masalah umat yang makin tak mudah. Mulai dari persoalan kemiskinan, pengangguran, kesehatan dan pendidikan. Di hadapan gerakan zakat ada 25,67 juta rakyat Indonesia yang berkategori miskin sebagaimana rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2018. Salah satu penyebab kemiskinan adalah tingginya angka tenaga produktif yang tak memenuhi kemampuan diri dan keluarga masing-masing untuk bisa hidup layak. Dalam bahasa lain, kemiskinan ini diakibatkan karena tingginya angka pengangguran. Orang-orang dengan usia produktif tapi karena berbagai sebab tidak mampu menopang kebutuhannya sendiri apalagi keluarga mereka secara memadai. Dalam catatan BPS sampai dengan Februari 2019, tingkat pengangguran terbuka (TPT) berjumlah 6,82 juta orang atau 5,01 persen.

Selain masalah kemiskinan dan tingginya tingkat pengangguran di negeri ini, ada pula masalah krusial lain yang ada. Salah satu masalah yang terjadi adalah masih tingginya angka kematian ibu di Indonesia Di negara kita ini, proses kehamilan dan persalinan masih merupakan sesuatu yang berisiko dan dapat mengancam nyawa bagi perempuan dan bayi di Indonesia. Hasil Survei Penduduk di tahun 2015 saja menyebutkan bahwa Angka Kematian Bayi (AKI) di Indonesia adalah 305 per 100 ribu kelahiran hidup. Artinya, dalam 1 jam, Indonesia kehilangan 2 ibu dan 8 bayi baru lahir akibat kematian yang sebagian besar sebenarnya dapat dicegah. Angka ini setidaknya menunjukkan betapa masih besarnya pekerjaan rumah untuk memperbaiki urusan kesehatan ini.

Masalah kesehatan lainnya yang muncul adalah masih mahalnya biaya kesehatan untuk mereka yang sakit dan harus dirawat d berbagai fasilitas kesehatan yang ada. Kini memang ada BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan yang secara signifikat membantu orang-orang yang ada dalam kategori miskin. Namun karena belum menyeluruhnya warga miskin yang masuk dan menja bagian penerima bantuan kesehatan, maka bagi yang berada di kategor tidak terlalu miskin, walau belum kaya, pastilah ia akan merasakan beratnya biaya berobat bila ia dan keluarganya sakit. Apalagi setia tahun terjadi peningkatan biaya pada tarif dokter umum, tarif rumah sakit, biaya laboratorium, dan biaya check-up.

Dari tingginya biaya kesehatan yang orang miskin tersebut, dampaknya adalah pada kemampuan pemenuhan gizi anak-anak mereka. Data Kementerian Kesehatan pada akhir 2017 mencatat bahwa satu dari sepuluh anak Indonesia mengalami kekurangan gizi, dan satu dari tiga anak Indonesia mengalami stunting atau situasi balita pendek. Indikator-indikator kesehatan anak setidaknya menjelaskan bahwa ada hal yang harus terus diperbaiki dan ditingkatkan untuk menjaga agar generasi masa depan Indonesia ini bisa sehat dan gizinya terpenuhi dengan baik. Bila terus anak-anak ini sehat dan tumbuh dengan baik, semoga nantinya akan lahir generasi baru yang lebih baik dan mampu berkiprah maksimal, bukan hanya di negeri sendiri, namun juga bagi masa depan manusia dunia.

Selain adanya pekerjaan rumah di sektor kesehatan, ternyata saat yang sama ada juga problem di sisi pendidikan. Di negeri yang kita cintai ini, rupanya angka putus sekolah masih juga cukup tinggi di seluruh Indonesia. Salah satu penyebabnya antara lain karena tingginya biaya pendidikan. Mereka yang masih belia ini karena desakan ekonomi keluarga, sebagiannya terpaksa harus ikut bekerja untuk mencari nafkah. Seperti dilansir dari laman KBR, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dalam buku Profil Anak Indonesia Tahun 2018 mencatat, dari sekitar 79 juta anak Indonesia, masih ada sekitar 7,2 persen atau 5,6 juta anak yang bekerja. Masih ada anak-anak usia 10-14 tahun yang bekerja lebih dari 40 jam per minggunya, melebihi standar jam kerja orang dewasa. Ada juga ratusan ribu anak usia 5-14 tahun yang bekerja dalam kondisi berbahaya, seperti membawa beban berat, terpapar bahan kimia, hingga berhadapan dengan api dan gas.

Amil zakat di mana pun sesungguhnya aset bangsa dan umat yang jangka pendek kondisi kelembagaan amil tak terkonsolidasi dengan baik. Amil harus bersatu, saling bantu dan berusaha sekuat tenaga menjauhi konflik antar-lembaga dan fokus pada perbaikan umat dan bangsa. Amil dan gerakan zakat Indonesia juga sudah harus mulai menyusun langkah-langkah strategis untuk semakin membuktikan bahwa zakat bisa menjadi solusi permasalahan umat.

Harus disadari oleh semua bahwa berhimpunnya amil dalam gerakan zakat Indonesia itu tak menawarkan banyak janji, apalagi harapan-harapan yang dikemas dalam sejumlah narasi, Momen bersatunya amil zakat justru memerlukan sumber daya dan semua energi dari masing-masing lembaga untuk memulai merealisas visi besar gerakan zakat Indonesia. Para amil harus berdiri tegak dan menjadi inisiator bagi karya karya yang manfaatnya nyata dan bisa dirasakan umat dan bangsa.

Narasi memang penting, namun tanpa karya nyata ia akan mudah terjebak menjadi janji manis layaknya ya dilakukan para politikus. Narasi harus diiringi solusi konkreta masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa ini, baik solusi atas persoalan kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan urusan umat lainnya.