Oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi, Associate Expert FOZ)
Di hadapan amil, terbentang tantangan yang tak mudah. Ada begitu banyak jebakan saudara mustahik lainnya kembali ke kondisi lama sebelum mulai ditolong para amil. Tak menutup kemungkinan pula, di atas kertas para mustahik yang dikelompokkan dan dibina seolah tanpa bekas kembali ke kehidupan semula dengan mengandalkan rasa iba dan terus menampilkan wajah memelas.
Kaki-kaki amil sejatinya bukanlah besi yang sempurna menopang setiap masalah yang ada. Hati para amil pun bukanlah selembut sutra yang akan kembali halus dan mulus tanpa disetrika. Amil tetap saja manusia, ia bekerja dengan banyak pertimbangan sisi manusiawi yang kadang terlupa diperhatikan para pemutus nasibnya mereka di berbagai yayasan atau organisasi payung mereka.
Amil ini pejuang, peretas kebaikan-kebaikan yang dirintis dan dijalani mustahik agar hidupnya lebih baik. Keluar dari kegelapan hidup dan menuju cahaya dalam dekapan hidayah kebaikan Islam. Amil juga adalah pendakwah tanpa ceramah, yang menemani segala derita mustahik hingga ia tegar dan kembali melangkah.
Sungguh, tak pantas bila masih ada amil di dunia ini yang merasa lebih hebat dibandingkan mustahik, apalagi juga lebih berhak untuk mengatur atur amil lainnya atas dasar kuasa dan sebuah kewenangan manusia. Bahasa yang keluar sejatinya adalah ajakan untuk melakukan perbaikan, tanpa ancaman apalagi tekanan. Amil harus mengajak berbicara dari hati ke hati untuk bisa saling mengerti.
Amil tak boleh berhati batu. Jiwanya lebih lembut daripada sutra, mudah tersentuh dengan derita saudara mustahiknya dan bersedia berkorban apa saja untuk membuatnya berdiri tegak dan bisa tersenyum bahagia. Amil boleh saja lelah, namun sepanjang lelahnya lillah, lantas mereka segera melupakan lelah yang ada dan bersiaga kembali bekerja tanpa harus dipaksa.