Amil dan Sandwich Generation

Oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi & Associate Expert FOZ)

Ketika menghadiri acara HRD FOZ kemarin(18-19/10) di Jakarta, sejumlah pemateri, juga peserta sering kali menyebut soal kesejahteraan amil zakat. Sayang-nya, di forum tidak terbahas dengan jelas, bagaimana mengatasi soal kesejahteraan amil ini. Apakah hanya dikembalikan pada kebijakan lembaga masing-masing seperti sebelum-sebelumnya atau ada tindakan konkret yang mampu mengatasinya?

Bicara HRD atau SDM tentu saja bicara soal manusia. Apakah akan selesai hanya dengan bahas soal tools, soal KPI atau OKR?. Tentu saja tidak bisa. Ada skema-skema nyata yang harus dilakukan OPZ bila ingin lembaga-nya langgeng dan amilnya sejahtera. Di tengah masih “mendung-nya” suasana perzakatan pasca pandemi. Terbukti dari rata-rata penghimpunan ZIS dan qurban di tahun ini yang dirasakan sebagian besar OPZ, ternyata peningkatan-nya tak begitu naik signifikan.

Sejumlah pimpinan OPZ menyatakan bahwa belum membaiknya penghimpunan ZIS tahun ini dikarenakan Tiga alasan utama, yaitu : Pertama, masih melambatnya perkembangan ekonomi setelah pandemi, Kedua, masih adanya gelombang “distrust effect” pasca kasus ditutupnya sebuah lembaga sosial di Jakarta, dan Ketiga, karena makin banyaknya Lembaga yang ada. Walau belum dilakukan riset mendalam soal ini, para pimpinan OPZ secara umum setuju dengan alasan-alasan ini.

Tulisan sederhana di bawah ini, bermaksud memotret relasi soal HRD ini dengan situasi terkini soal kesejahteraan para amil. Apakah ketika para HRD amil zakat bertemu, lantas tercetus ide konkret yang mampu mengangkat soal kesejahteraan amil di Indonesia. Amil-amil yang ada, hari-hari ini faktanya makin berat menjalani kehidupan-nya. Banyak diantara mereka adalah masuk kategori “Sandwich Generation” yang hidupnya bukan semata untuk menanggung dirinya (dan keluarga-nya), namun juga generasi di atas (bapak/ibu kandung serta mertua, bahkan kakek/nenek), sekaligus di bawahnya (anak, adik, sepupu dan sebagai-nya).

Memahami Sandwich Generation

Bagi sebagian amil, mungkin istilah “Sandwich Generation” masih belum cukup familiar. Namun faktanya, istilah ini sebenarnya sudah lumayan lama. Istilah ini awalnya dikenalkan pertama kali pada tahun 1981 oleh seorang Profesor sekaligus direktur praktikum University Kentucky, Lexington, Amerika Serikat bernama Dorothy A.Miller.

Secara definisi, generasi sandwich merupakan generasi orang dewasa yang harus menanggung hidup 3 generasi yaitu orang tuanya, diri sendiri, dan anaknya. Situasi tadi yang secara analogi seperti sandwich, di mana sepotong daging terhimpit oleh 2 buah roti. Kedua roti tersebut diibaratkan sebagai orang tua (generasi atas) dan anak (generasi bawah), Adapun isi utama sandwich yang berupa daging, mayonnaise, dan saus yang terhimpit oleh roti diibaratkan bagai diri sendiri.

Sejumlah amil tak sedikit yang sejak awal bergabung menjadi pada sebuah OPZ, bisa jadi masuk ke dalam situasi yang bernama generasi sandwich ini. Di lihat dari beban kehidupan-nya saja, kita bisa merasakan betapa bahwa generasi ini memiliki beban hidup yang sangat berat.

Dengan beban berat seperti ini, apa dampak-nya bagi kelangsungan OPZ? Apakah mereka tetap bisa diandalkan sebagai SDM yang akan menjadi tulang punggung OPZ? Dengan situasi mereka yang tak mudah ini, apakah cita-cita, mimpi dan rencana-rencana strategis OPZ yakin akan tercapai dengan baik.

Dampak dari Sandwich Generation

Sebenarnya fenomena generasi sandwich bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga di sejumlah ngara lain di dunia, baik di beberapa negara berkembang maupun negara maju. Kondisi ini terjadi pada seorang anak dalam suatu keluarga, di mana ia harus menghidupi orang tua, keluarganya sendiri, dan anak-anaknya dalam waktu bersamaan. Dampak dari hal ini, sejumlah orang (termasuk juga para amil) akan sering mengalami tekanan psikis ketika bekerja. Lebih jauh, hal ini secara perlahan juga bisa memicu gangguan fisik seperti timbulnya sejumlah penyakit.

Selain di atas tadi, ada 4 dampak utama langsung maupun tidak langsung dari fenomena generasi sandwich ini, yaitu : Pertama, tingkat stres yang lebih tinggi, Kedua, Burnout atau kelelahan fisik dan juga mental pada diri sendiri, Ketiga, timbulnya perasaan bersalah atau merasa tidak puas, keempat, mudah merasa khawatir.

Amil zakat yang terjebak ke dalam generasi sandwich, harus dipahamkan bahwa situasi mereka tetap harus diperbaiki dan dicarikan jalan ke luar secara baik. Hal ini juga bukan pasrah lalu mengatakan bahwa: “ini sebagai bakti seorang anak terhadap keluarganya”. Kenyataannya, kalau tak bisa teratasi, maka seorang amil akan tidak optimal dalam bekerja, saat yang sama juga akan mudah stres bahkan sakit juga. Apalagi generasi sandwich yang tidak menemukan solusi atas masalahnya saat ini, bisa secara langsung akan mewariskan juga generasi sandwich berikutnya.

5 Langkah OPZ Memutus Rantai Amil Generasi Sandwich?

Bagi OPZ yang sering mengatakan “SDM adalah asset paling berharga bagi lembaga”, kini saatnya membuktikan diri bagaimana ia berperan serius dalam memutus mata rantai generasi sandwich. Ingat, memutus rantai generasi sandwich bukanlah hal mudah. Diperlukan cara yang tepat dan juga konsisten. Bagi OPZ yang ingin mensejahterakan amilnya sekaligus memutus mata rantai generasi sandwich, tak ada salahnya untuk mengikuti 5 langkah ini.

Pertama, berikanlah upah (gaji) yang layak dan adil untuk para amil dan pekerja lainnya.

Definisi upah menurut UU ketenagakerjaan adalah : “hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja. Upah ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan”. Praktek-nya, tafsir atas definisi ini masih belum sama, baik antara pemberi upah, regulator maupun pekerja (penerima upah). Dalam perspektif tenaga kerja, mereka memandang bahwa upah adalah komponen pokok bagi kelangsungan hidupnya beserta keluarganya, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Sampai hari ini, di tengah dunia zakat, soal upah ini pengaturan-nya masih sepenuhnya diserahkan pada masing-masing OPZ. Belum ada semacam standar gaji atau upah bagi para amil. Setiap OPZ, masih bebas untuk mengatur upah amil-nya sesuai kondisi dan kemampuan keuangan OPZ masing-masing. Dari pemerintah-pun, untuk sektor swasta (termasuk pengelola zakat), aturan normatifnya adalah : “pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum”. Di lapangan, aturan upah minimum ini sendiri belum memadai untuk memenuhi aspek kesejahteraan bagi tenaga kerja.

Nah, di dunia amil pun sama. Masih cukup banyak amil yang bekerja di lingkungan OPZ, namun upahnya belum sesuai upah minimum. Dalam definisi upah minimum sendiri, harapan-nya upah ini mampu mendorong kehidupan tenaga kerja (dalam hal ini amil) untuk : “bisa mewujudkan hak pekerja atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dalam penetapan upah ini juga, idealnya tidak ada diskriminasi dalam pengelolaan-nya. Adapun soal kenaikan upah secara berkala, lagi-lagi disesuaikan dengan kemampuan OPZ.

Untuk memutus mata rantai generasi sandwich, ada baiknya setiap OPZ mampu memenuhi standar-standar gaji (upah) yang ada, minimal sesuai aturan ketenagakerjaan ditambah dengan pertimbangan-pertimbangan lain sesuai kemampuan OPZ dan melihat kinerja masing-masing amil. Baik pula bila setiap tahun, walau tak banyak, dilakukan juga kenaikan upah bagi amil. Bisa dengan kenaikan besaran tertentu atau dengan prosentase. Perlu juga diperhatikan secara detail dari masing-masing amil, berapa anak-nya, bagaimana kondisi keluarga-nya serta hal lainnya yang menyangkut kesejahteraan para amil. Bisa juga OPZ memberikan semacam tunjangan atau bantuan bagi Pendidikan amil dan anak-anak-nya serta bagi perlindungan dan proteksi kesehatan keluarga amil.

Kedua, mengedukasi amil agar memiliki kemampuan merencanakan keuangan mereka.

Berapapun kafalah (gaji) seorang amil yang diterima dari lembaga, jika tak dikelola dengan baik sama saja. Akan habis dan cenderung tak cukup. Para amil harus diedukasi untuk memiliki rencana keuangan keluarga-nya secara baik. Ia harus menghitung apa saja prioritas pengeluaran keuangan-nya, sehingga mampu setidaknya menutupi kebutuhan-kebutuhan sesuai prioritasnya. Dengan kemampuan perencanaan keuangan yang baik, akan semakin mudah untuk mencapai tujuan hidup melalui pengelolaan keuangan secara terencana.

Tujuan-tujuan hidup yang ingin dicapai oleh seorang amil antara lain dapat berupa : menikah, memiliki rumah sendiri, memiliki kendaraan pribadi, menunaikan ibadah haji, kesiapan biaya pendidikan anak, serta tersedianya dana pensiun di hari tua. Dengan proses yang terencana, seorang amil akan memiliki “arah dan arti” dalam keputusan finansial bagi keluarga-nya. Melalui pengelolaan keuangan yang terencana dengan baik, seorang amil akan dapat mempertimbangkan efek jangka pendek dan jangka panjang atas tujuan-tujuan hidupnya. Dia dapat lebih mudah beradaptasi atas perubahan hidup dan merasa lebih aman karena tujuan-tujuannya berada di jalur yang tepat. Dengan perencanaan keuangan yang dilakukan, seorang amil secara bertahap diharapkan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan keuangan di masa kini dan masa depan. Hal ini juga akan semoga mampu memproteksi seorang amil dan keluarga-nya secara finansial dari risiko apapun yang mungkin terjadi.

Ketiga, edukasi amil untuk menabung secara rutin dan istiqomah. Sandwich generation bisa juga terjadi karena kurangnya kemampuan seseorang dalam mengatur finansial. Mereka yang masih sedang bekerja, justru tidak mempersiapkan tabungan untuk hari tua. Mereka juga tidak menyiapkan simpanan cadangan (berupa tabungan) untuk mencegah terjadinya hal yang memerlukan dana dalam jumlah besar. Ketika sampai waktunya untuk pensiun dan tidak lagi aktif bekerja, mereka tidak memiliki banyak uang untuk menghidupi kehidupannya sendiri dan harus bergantung kepada anak. Jadilah kemudian anak-anak-nya menanggung beban yang ada.

Untuk para amil, perlu dilakukan edukasi sejak dini, bahwa mereka harus belajar untuk menabung. Berapapun angka-nya, menabung perlu secara rutin dilakukan. Saat yang sama, para amil juga diajarkan untuk berperilaku sederhana dan mampu menghemat pengeluaran. Mereka boleh belanja, namun hanya boleh mengeluarkan uang untuk hal-hal yang penting saja. Menabung-nya pun sejak awal disesuaikan dengan semua keinginan dan rencana yang ada, baik untuk jangka pendek, menengah atau jangka panjang seperti untuk anak-anak sekolah, sewa rumah, umroh, atau yang lainnya. Rencanakan waktu, jumlah dan bagaimana mencapainya.

Untuk tujuan-tujuan jangka panjang, seperti untuk pernikahan anak, haji atau umrah, pendidikan lanjutan, wisata, dan lainnya, bisa dilakukan dengan model skema tabungan jangka panjang. Semakin panjang masa menabung-nya, akan semakin ringan. Dengan menabung apapun tujuan yang ingin dilakukan di masa depan, memungkinkan untuk bisa diraih. Dengan mengelola keuangan secara bijak dan disiplin, dibantu dengan menabung secara konsisten, Insyaallah akan memudahkan dalam mencapai apa yang telah direncanakan sebelumnya.

Keempat, menyiapkan dana untuk kebutuhan pendidikan dan Kesehatan.

Dana pendidikan dan Kesehatan semakin ke sini tidak semakin murah. Diperlukan kesiapan yang memadai bagi para amil untuk menyiapkan dana pendidikan bagi anak-anaknya. Pun termasuk untuk biaya kesehatan. Pendidikan sendiri sejatinya bukan gaya hidup, namun justru investasi bagi kehidupan di masa depan. Dengan Pendidikan yang cukup baik, harapan-nya, generasi sandwich akan dipotong siklusnya. Skema persiapan pendidikan dan juga proteksi kesehatan tak cukup dengan hanya berupa tabungan. Diperlukan juga semacam asuransi untuk kedua hal penting ini.

Dengan asuransi pendidikan, para amil sebagai orang tua akan dapat menyiapkan biaya pendidikan anak-anaknya di masa depan. Hal ini tentu saja disiapkan sejak si anak lahir. Persiapan ini ke depan-nya akan meringankan beban orang tua dikemudian hari. Dalam proses perencanaan asuransi pendidikan, tentu saja para amil harus memperkirakan perhitungan biaya pendidikan anak secara detail, seperti akan memilih sekolah di mana yang disesuaikan dengan kemampuan finansial. Pilihlah perusahaan asuransi yang baik dan memiliki kredibilitas.

Dalam hal kesehatan-pun, kita tak cukup menabung, diperlukan asuransi kesehatan untuk jaga-jaga atas segala kemungkinan di masa depan. Pada dasarnya, semakin bertambahnya usia, ketahanan tubuh akan semakin mudah turun yang berimbas pada kesehatan. Hal ini perlu benar-benar dipahami para amil. Sejak awal, setiap amil harus memperhatikan soal asuransi Kesehatan dirinya, orang tua, maupun anak-anaknya. Dengan memiliki asuransi kesehatan yang memadai, para amil akan mendapatkan jaminan kesehatan atas rawat inap, rawat jalan, pengobatan untuk gigi, penggantian kacamata, melahirkan sesuai dengan batasan yang dijamin polis asuransi masing-masing. Setidaknya, setiap amil dan anggota keluarganya harus memastikan diri terdaftar secara aktif di asuransi BPJS Kesehatan.

Kelima, menyiapkan program pensiun

Hampir sama dengan menabung, setiap amil harus menyiapkan diri untuk masa pensiun-nya. Sadari sejak sekarang, bahwa para amil tidak selamanya akan terus menerus bekerja. Akan sampai pada saatnya pensiun. Nah, untuk persiapan pensiun, tak cukup hanya menanti dana pensiun dari OPZ. Iya kalau ada, kalau tak ada, bukankah akan malah jadi tambah beban ketika masa itu tiba. Sejak awal, setiap amil harus merencanakan soal pensiun ini dengan baik. Walau agak memaksakan diri, bagus juga bila setiap bulan memastikan menyisihkan penghasilan yang ada untuk membayar, atau tepatnya menabung dana pensiun secara mandiri.

Pada giliran-nya, sejumlah uang yang terkumpul sampai menjelang pensiun, akan menjadi “uang kaget” yang akan membantu mengurangi beban saat masa pensiun itu benar tiba. Program tabungan pensiun adalah langkah awal yang baik sebagai bukti seorang amil menyiapkan dirinya setelah selesai masa kerja-nya, saat yang sama, hal ini juga sebagai bukti bahwa ia menyayangi dirinya dan keluarga-nya dengan tidak menjadi beban. Hal ini agar ketika ia sampai pada saatnya menikmati masa tua, ia mampu meminimalisir terjadinya generasi sandwich pada anak-anaknya dan juga keluarga-nya.

***

Setelah kelima langkah ini dilakukan, semoga dunia zakat secara bertahap bebas dari generasi sandwich. Sebuah generasi yang layak-nya “lingkaran kemiskinan” akan terus berputar tak ada ujungnya. Dengan segala persiapan yang matang, dan kerjasama yang baik antara para amil dengan keluarga-nya juga dengan OPZ-nya masing-masing, harapan-nya tak ada amil yang akan menjadi beban di masa tua-nya. Kalau hari ini para amil masih menanggung orang tua dan anak-anak-nya, semoga kelak saat amil-amil ini menjadi orang tua, lalu pension dan menikmati hari tuanya. Mereka bukan termasuk beban, justru menjadi contoh kebebasan finansial (freedom financial) pasca pensiun dari amil.

Dengan tidak menjadi beban bagi anak-anak, semoga menjadi inspirasi bagi masyarakat secara umum. Diharapkan pula generasi amil yang akan lahir dan meneruskan jejak di dunia gerakan zakat negeri ini, bukanlah para amil yang masuk jebakan generasi sandwich, sehingga sejak awal mereka akan lebih fokus, lebih produktif dan mampu dengan cepat memajukan gerakan zakat Indonesia.

Semoga.

#Ditulis di pinggir Timur Kota Jakarta, 22 Oktober 2023