Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)
Belum dideklarasikannya pasangan Prabowo menunjukkan adanya kebingungan Prabowo untuk memutuskan cawapres yang tepat. Kebingungan Prabowo diakibatkan dirinya tidak mandiri dan ada ketergantungan kepada sinyal-sinyal dari Jokowi.
Ketidakmandirian inilah yang meresahkan partai-partai koalisi Pemerintah.
Sebelumnya, sikap ragu-ragu Prabowo telah menyebabkan hengkangnya Muhaimin dari Koalisi Kebangsaan Indonesia Raya (KKIR) karena Muhaimin merasa “digantung” tidak ada kejelasan akan ke mana arah koalisinya ?
Menurut informasi yang beredar, Sabtu ini Gibran akan didaulat jadi cawapres Prabowo. Partai Golkar dan Gelora sudah memastikan Gibran sebagai cawapres Prabowo. Walaupun, kubu PDIP keukeuh menjadikan Gibran sebagai Juru Kampanye (Jurkam) Pasangan Ganjar-Mahfud MD.
Tapi pencawapresan Gibran bisa berbenturan dengan tugas Jurkam yang dibebankan oleh PDIP kepada Gibran.
Tarik ulur antara PDIP dan Gerindra terhadap Gibran, bukan karena Gibran seorang yang hebat. Ini tidak lebih dari “politik sandera-menyandera” antara PDIP-Gerindra-Jokowi. Gibran sendiri cuma jadi “tumbal” kerakusan Jokowi, ketidakpercayaan Prabowo, dan Dendam Megawati (PDIP).
Apa yang bisa dibanggakan dari seorang Gibran ? Menjadi Walikota Solo yang baru dua tahun, pun bukan karena proses yang murni, tapi dikatrol oleh Jokowi dan Megawati. Sebagai Walikota belum menunjukkan kecakapan kinerjanya, apalagi prestasi dan keberhasilannya. Lho kok sekarang loncat ke ketinggian yang amat jauh : menjadi cawapres! Harusnya diuji dulu menjadi Gubernur, Menteri, Wakil Ketua DPR, Ketua DPR, baru mencalonkan diri jadi cawapres.
Demi dinasti politik, Jokowi “memaksakan” Gibran untuk mengambil posisi cawapres. Jokowi sangat ketakutan akan masa depannya yang tangannya telah berlumuran darah dan dosa sehingga sedang mencari perlindungan dari Prabowo dan anak-anaknya. Padahal Gibran sendiri sangat tidak layak untuk menjadi seorang cawapres.
Prabowo sendiri sangat ambisius untuk mencalonkan diri. Padahal sudah 3 kali maju baik sebagai capres/cawapres dan selalu gagal.
Untuk capres kali ini pun secara hitung-hitungan di atas kertas dan fakta di lapangan, peluang Prabowo itu sangat kecil. Hanya survey-survey palsu dan pesanan yang mengunggulkan Prabowo.
Saat ini MK sedang mengkaji uji materi tentang batas usia maksimal capres/cawapres yang diusulkan oleh beberapa pihak menjadi 70 tahun. Ada pula yang mengajukan gugatan bagai capres/cawapres yang sudah dua kali nyalon, tidak diperkenankan lagi nyapres. Jika MK mengabulkan gugatan-gugatan ini, maka pupus sudah harapan Prabowo untuk bisa nyapres lagi.
Sebenarnya banyak sisi yang menegaskan kalauPrabowo sudah tidak layak nyapres. Pertama, usia Prabowo sudah 72 tahun yang sudah tidak energik lagi; kedua, berbagai kasus masa lalu (seperti penculikan) dianggap masih belum tuntas; ketiga, kasus pemecatannya dari Militer dianggap menjadi persoalan; keempat, kasus korupsi di kemenhan belum diungkap; kelima, kasus food estate yang telah menghabiskan dana triliunan rupiah bukan saja gagal, tapi juga telah merusak ekosistem hutan yang jumlahnya ratus ribu hektar (Semisal, food estate di Papua direncanakan seluas 1,2 juta hektare (ha), di Kalimantan Barat seluas 120.000 ha, di Kalimantan Tengah seluas 180.000 ha, di Kalimantan Timur seluas 10.000 ha, dan di Maluku seluas 190.000 ha. ), tapi sayang tidak ada audit yang transparan dan serius; keenam, kasus keislaman Prabowo yang diragukan banyak pihak; ketujuh, sikap khianatnya terhadap para ulama dan umat Islam; kedelapan, dukungannya terhadap Israel telah menyakiti umat Islam; dll.
Tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari seorang Prabowo. Dengan siapa pun cawapresnya. Apalagi jika berpasangan den Gibran, semakin lengkap permasalahannya
Semoga rakyat Indonesia cerdas dalam memilih calon pemimpinnya.
Bandung, 6 R. Akhir 1445