Bakal calon presiden yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ganjar Pranowo tidak berpihak ke rakyat dengan dibuktikan kasus Kendeng di Rembang dan Wadas di Purworejo.
“Dalam wilayah kegubernurannya, Ganjar tercatat tidak memihak rakyat dalam kasus tanah Wadas, dan Kendeng. (Lihat: pinterpolitik.com/in-depth/wadas-kendeng-mampu-jegal-ganjar/?amp=1),” kata Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle Syahganda Nainggolan kepada redaksi www.suaranasional.com, Selasa (27/6/2023).
Kata mantan tahanan politik di era Soeharto ini, Ganjar bahkan tidak memihak rakyat ketika aparat menangkapi dan membantai rakyat Wadas ketika dipaksa digusur.
Mentor Ganjar, Megawati Sukarnoputri sendiri tidak mempunyai pemihakan pada isu tanah rakyat. Ketika Mega pidato dalam acara Bulan Besar Bung Karno, 24/6/23 lalu, Megawati tidak sedikitpun mengkritik rencana pemerintah memberikan 3,3 juta lahan kepada segelintir orang kaya.
“Padahal pada pidatonya, dia menyinggung bahwa negara kita kaya raya tapi tidak terjadi pemerataan. Harusnya Mega seperti bapaknya, meminta tanah 3,3 juta itu untuk Landreform. Diberikan pada petani-petani sawit,” jelasnya.
Dengan membahas isu tanah untuk rakyat adalah satu contoh untuk faham, bahwa rezim ini tidak pro rakyat. Janji Nawacita lebih banyak menghasilkan sertifikasi lahan. Memang ada juga membagikan lahan hutan dalam konteks “TORA”, alias Hutan Sosial.
“Namun, itu jauh dari pengertian Landreform, di mana lahan-lahan terlantar dan lahan yang dikuasai secara ilegal dalam jutaan Hektar seyogyanya langsung diambil negara. Negara harus kuat berhadapan dengan mafia-mafia tanah yang sok jagoan berkuasa secara ilegal,” paparnya.
Deputi Eksternal LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Edo Rahman, mengatakan dalam beberapa konflik atau sengketa lingkungan antara warga Jawa Tengah dan korporasi, Gubernur Ganjar Pranowo kerap memosisikan diri sebagai “fasilitator atau penengah”, alih-alih membela kepentingan warganya yang dirugikan akibat dampak proyek tersebut.
Edo memberi contoh konflik lahan di Pegunungan Kendeng pada 2015 silam dan baru-baru ini di Desa Wadas.
“Kalau sebagai penengah, ya artinya bisa jadi [dia] berusaha mengakomodir kepentingan masyarakat dan korporasi. Tapi apakah kemudian itu memberikan jawaban yang betul-betul dibutuhkan masyarakat?” ujar Edo Rahman kepada BBC News Indonesia, Minggu (23/4/2023).
“Harusnya kan [dia] lebih mengutamakan kepentingan rakyat dan kepentingan masyarakat selalu ditunjang dengan kondisi lingkungan hidup yang memberikan daya dukung yang baik terhadap kehidupan warga,” sambungnya.
Pada kasus Kendeng, warga menolak penambangan dan pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia di Kabupaten Rembang dan Pati.
Mereka menilai pendirian pabrik dan penambangan batu gamping di pegunungan karst itu akan mengancam ketahanan pangan dan ketersediaan air yang telah dimanfaatkan untuk kebutuhan pertanian dan sehari-hari mereka.
Karena itulah beberapa ibu-ibu petani Kendeng mendatangi Istana Merdeka di Jakarta dan melakukan aksi menyemen kaki demi meminta dukungan Presiden Jokowi.
Hingga pada 2016, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang memenangkan gugatan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng yang memerintahkan Gubernur Ganjar Pranowo mencabut izin lingkungan PT Semen Indonesia. Tapi bukannya mematuhi putusan MA, Ganjar justru menerbitkan izin baru.
Yang terbaru adalah penolakan besar-besaran warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, terkait penambangan batuan andesit untuk proyek Bendungan Bener yang mencaplok lahan mereka.
Konflik panas sempat terjadi saat desa didatangi aparat polisi dan menangkap sejumlah orang pada tahun lalu.
Hingga kini, warga Wadas masih berkeras mempertahankan tanah mereka dari operasional penambangan dan menolak mekanisme ‘konsinyasi’ atau penitipan uang ganti rugi di pengadilan terhadap penolak tambang.
Walhi juga mencermati bencana ekologis, seperti banjir, tanah longsor, dan banjir rob yang terjadi di Jawa Tengah.
Kata Edo, banjir di provinsi ini semakin buruk tiap tahun akibat perubahan fungsi kawasan tangkapan air menjadi perumahan dan kawasan industri.
Pada Mei 2022 lalu, polisi setempat menyebut setidaknya 8.000 kepala keluarga terdampak banjir rob yang menerjang pesisir Semarang atau dekat Pelabuhan Tanjung Mas.
Sejumlah peneliti meyakini penurunan muka tanah menjadi faktor yang ikut berperan dalam menyebabkan banjir rob parah di sana.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, menurut Edo, Ganjar tak memiliki rencana yang matang selain mengandalkan tanggul laut Semarang-Demak yang bakal dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Selama dua kali menjabat pemimpin Jawa Tengah pun, sambungnya, politisi PDI Perjuangan itu disebut tidak pernah menelurkan kebijakan progresif yang berpihak pada lingkungan.
“Sejauh ini saya tidak melihat ada kebijakan yang melindungi atau memperbaiki lingkungan. Karena yang dia lakukan justru merevisi kebijakan tata ruang dan diarahkan membuka kawasan ekonomi khusus dan kawasan industri.”
“Itu kan memperparah daya dukung dan daya tampung lingkungan di Jawa Tengah.”
“Pertanyaannya sekarang bagaimana dengan kepentingan masyarakat yang membutuhkan ruang hidup?”