Oleh: Ahmad Khozinudin (Sastrawan Politik)
Tidak ada kawan abadi, yang ada kepentingan pribadi. Tak ada lawan abadi, yang ada lawan kepentingan. Perkawanan maupun perlawanan, semata didasarkan atas kepentingan apa yang diperjuangkan.
Jadi, Anda tidak perlu ‘Die Hard’ membela tokoh atau partai. Karena, sejatinya mereka juga tak pernah memikirkan kepentingan rakyat. Mereka, hanya meminjam ungkapan ‘rakyat’, demi kepentingan pribadi, kelompok dan golongannya.
Setidaknya, hal itu juga berlaku bagi PDIP dan Demokrat. Meski dikenal sebagai ‘seteru abadi’ karena sikap melankolisnya seorang Megawati terhadap SBY, namun bukan berarti keduanya tak dapat rujuk dan berdamai demi kepentingan politik yang mereka perjuangkan.
Walaupun Anda berusaha memframing ‘SBY Bukan Bapak Plin Plan’, tetapi mengubah haluan politik demi kepentingan politik, dalam politik itu biasa. Akan selalu ada alasan pembenar, dan lagi-lagi biasanya berdalih untuk dan atas nama kepentingan rakyat.
Sebagaimana dikabarkan media, Sekjen Partai Demokrat Teuku Riefky dan Sekjen PDI Perjuangan menggelar pertemuan pada Minggu (11/6) ini. Kabar pertemuan tersebut dibenarkan oleh Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra.
Pertemuan itu merupakan tindak lanjut dari tawaran kerja sama dan ajakan pertemuan antara Ketua DPP PDIP Puan Maharani dan Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Meskipun, belum ditentukan tanggal pastinya.
Mengenai pertemuan itu, ada beberapa analisis politik yang dapat dipertimbangkan menjadi latar belakang dan tujuan pertemuan, yaitu:
Pertama, terlepas Deny Indrayana tidak bertindak untuk dan atas nama partai Demokrat, namun upayanya mengungkap rencana pencopet partai Demokrat dan upaya membangun wacana pemakzulan Jokowi melalui penggunaan hak angket DPR, tidak lepas dari kepentingan politik dari partai Demokrat.
Cara membacanya sederhana, bahwa manuver Deny Indrayana menguntungkan Partai Demokrat. Sejumlah kader partai demokrat khususnya Beny K Harman, selalu tampil memberikan respons politik yang sejalan dengan wacana yang digulirkan Deny Indrayana.
Bahkan, saat Deny Indrayana dilaporkan polisi, Beny K Harman juga pasang badan. Bersuara keras untuk menentangnya.
Kedua, masalah yang dihadapi Partai Demokrat memang sangat krusial. Yakni kehilangan partai politik, kehilangan kendaraan menuju jenjang kekuasaan, kehilangan sarana untuk kembali berkuasa sebagaimana SBY pernah dua periode berkuasa.
Secara pribadi, SBY menilai manuver Moeldoko sama saja hendak memutus trah Cikeas dari panggung politik Indonesia. Terang saja, urusan pencopetan partai demokrat ini adalah urusan ‘hidup dan mati’ bagi SBY.
Ketiga, posisi Partai Demokrat di Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) bersama PKS dan NasDem belum aman. Karena sampai hari ini, NasDem belum ridlo posisi Wapres pendamping Anies Baswedan ditempati oleh AHY. Dalam urusan Wapres ini, PKS jauh lebih permisif dari NasDem.
Berdalih narasi ‘menyerahkan urusan Wapres ke Anies’ NasDem terus menentang sosok AHY untuk mendampingi Anies. Konfrontasi terbuka antara Andi Arif dan Ahmad Ali menjadi konfirmasinya.
Keempat, Demokrat merasa tak aman dan tak nyaman berada di KPP bersama NasDem. Karena posisi AHY yang belum jelas, dan kedudukan partai Demokrat yang belum aman dari ancaman pencopetan KSP Moeldoko.
Kelima, jika ada tawaran mengamankan posisi Demokrat dari pencopetan KSP Moeldoko sekaligus memberikan posisi yang setimbang kepada AHY sebagai Cawapres, tentu saja Partai Demokrat akan sangat terbuka menerima pinangan PDIP, apalagi jika maharnya adalah jaminan keamanan partai Demokrat dan posisi terhormat kepada AHY.
Keenam, PDIP mempertimbangkan untuk mengamankan Demokrat melalui menterinya Yasonna Laoly. Karena kunci sukses pencopetan partai oleh KSP Moeldoko ada pada Menkumham.
Ketujuh, PDIP agak repot jika harus menghadapi oposisi dari rakyat melalui gerakan Ormas dan kaum intelektual, jika ditambah bandul politik dari partai Demokrat. Terlepas PDIP tidak seutuhnya satu pandangan dengan Jokowi, meskipun memiliki konflik internal bersama Jokowi, namun dalam isu pemakzulan kejatuhan Jokowi jelas berdampak pada jatuhnya wibawa politik PDIP.
Kedelapan, konstelasi politik itu digunakan oleh PDIP untuk meredam geliat perlawanan oposisi dengan modus operandi menawarkan Demokrat berkoalisi. Bisa terjadi, bisa juga hanya untuk memancing Demokrat agar keluar dari KPP dan tak lagi menjadi martir rakyat, bahkan dianggap akan menjadi musuh rakyat.
Kesembilan, jaminan eksistensi partai akan menjadi harga mati dari negosiasi politik yang akan diusung Demokrat saat bertemu PDIP. Sementara posisi Wapres bagi AHY, hanyalah benefit tambahan yang diupayakan juga bisa didapatkan.
Kesepuluh, jika kondisi ini terjadi maka Anies Baswedan akan mengalami Madesu. Pencapresan Anies pasti gagal, karena NasDem dan PKS saja tak cukup kursi untuk lolos PT sebagaimana diatur dalam pasal 222 UU Pemilu.
NasDem selama ini mengunci parpol pengusung Anies Baswedan hanya pada 3 Parpol (NasDem, PKS, Demokrat). Padahal, komposisi koalisi seperti ini sangat rawan bubar, karena satu parpol saja hengkang koalisi bakal berantakan.
Bagaimana masa depan rencana pencapresan Anies Baswedan? Kita lihat saja nanti. [].