Calon presiden (capres) yang mempunyai hobi lari menunjukkan suka meninggalkan tanggung jawab. Daerah yang dipimpinnya ditinggalkan demi menaikkan popularitas dan elektabilitas.
“Bukti awal ia sudah lari dari tanggungjawab dalam memimpin Propinsinya sendiri. Lari kesana kesini ke berbagai pelosok negeri. Untuk kepentingan kampanye diri sendiri,” kata Pemerhati Politik dan Kebangsaan Rizal Fadhillah kepada redaksi www.suaranasional.com, Senin (29/5/2023). “Padahal ia masih menjabat sebagai Gubernur. Inilah tontonan penghianatan yang memuakkan,” tegasnya.
Lari dari kewajiban yang masih melekat sebagai Gubernur. Keliling sana-sini meninggalkan rakyat di Propinsinya. Modal utama untuk citra diri adalah lari pagi. Dibarengi dengan selfi dan sambutan rakyat yang penuh manipulasi. Di Jakarta lagi.
“Mencoba menjadikan pencitraan sebagai kekuatan. Untungnya rakyat kini sudah tahu bahwa pencitraan adalah kata lain dari tipu-tipu. Pemimpin yang siap menipu dan konsisten selama perjalanan untuk selalu menipu. Tentu bukan karena ijazahnya palsu tetapi memang dalam memimpin ia tidak mampu,” paparnya.
Calon Presiden yang berangkat dari pencitraan tidak layak dipilih. Kegemaran melakukan lari-lari adalah pertanda ia tidak mampu berkampanye cerdas dengan bersandar pada, visi, gagasan dan kenegarawanan. Menari dan berlari itu bagus, tetapi jika hal itu merupakan manuver politik maka tentu menjengkelkan, menipu dan membodohi rakyat.
“Bangsa Indonesia tidak ingin punya pemimpin ke depan yang banyak akting dengan berlari-lari. Rugi dan menyesal nanti.
Presiden lalu sudah gemar berlari dari tanggungjawab, akankah bangsa ini akan punya Presiden lagi yang gemar berlari-lari demi kekuasaan?” pungkasnya.