Fenomena Lembaga Survei

Oleh Hasbi Indra (Guru Besar Universitas Ibnu Khaldun Bogor)

Lembaga survei sering dikaitkan dengan dunia penelitian atau kerja intelektual. Tentu bagi yang terdidik apalagi terdidik tinggi tak mau dikatakan manusia yang tak intelektual minimal memang menghormati ada akal di kepalanya.

Nabi menuju ke langit guna meraih maqom fathonah atau dengan kata lain sosok cerdas atau intelektual istilah kini dan karakter lainnya. Fathonah ini telah ditunjukkan seluruh nabi dan dalam catatan sejarah peradaban ada intelektual yang mungkin manusia pencerah seperti Plato, Aristoteles, Socrates dan lainnya catatan itu ada pula selain nabi ada sahabatnya seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Lalu ada di era kemudian semisal Alkhawarizm, Ibn khaldun dan ada Al-‘asyari dan manusia Empat Mazhab yang mewarnai langit peradaban.

Abad modern ada pula manusia kontroversials yang membawa bangsa berperang yang terjadi di barat dan di timur yakni Karel Marx yang tak dipahami bahwa gagasannya untuk manusia berakal. Ia menempatkan manusia pada tempat yang sama, ini juga panggilan Tuhan dalam kitab suci. Karel Marx mungkin belum tercerahkan spiritual seperti orang beragama tapi dia telah membawa pesan Tuhan itu untuk kaum berjuis yang arogan agar memanusiakan manusia.

Sayangnya Karel Marx dipahami manusia Darwinisme, hanya simpeise yang berketurunan tapi tak mengenal kebijakan dan peradaban apalagi Tuhannya.

Jalan peradaban bangsa itu bisa juga melalui jalan demokrasi. Kini ada manusia menjalankan negara demokrasi yang sebenarnya juga untuk kemanusiaan dan kejayaan bangsa. Namun itu tak dipahami oleh manusia di suatu negara itu yang diwarnai oleh lembaga survei dan era mutakhir ini muncul buzzer berbayar yang sedang atau pernah dipelihara negara.

Di Lembaga survei di isi oleh manusia terdidik tinggi tapi ada yang mempertanyakan dan menunjukkan fenomena akal dungu memakai istilah Rocky Gerung. Lembaga survey dimaksudkan untuk membangun demokrasi yang sehat tapi malah menuju ke arah tidak sehat. Mereka dalam setiap lima tahun bisa mengumpulkan uang puluhan miliar atau lebih dari pembayarnya dan lalu ada lembaga buzzer mau disetarakan dan menjadi profesi baru untuk hidupnya?

Lembaga survei tak pernah memotret kebijakan atau program yang menguras uang rakyat atau uang hasil hutang, mungkin itu sensitif bagi yang membayar. Perlu ada survei yang sensitif bagi program yang melibatkan uang rakya. Atau misalnya mensurvei kehendak rakyat seperti apa bila pemilu tidak jujur atau seperti apa bila birokrasi tak netra dalam penyelenggaraan pemilu, ini jauh lebih bermanfaat.

Lembaga survei sudah masuk ke hal yang sensitif lain untuk berisi kampanye satu pihak misalnya mengukur ketaatan orang beragama sang calon yang sholeh yang taat beragama dan berakal atau lebih intelektual yang kontroversials. Sementara yang bersangkutan tak menunjukkan hal itu, konon menyukai gambar tak mendidik jiwa yang tersedia di YouTube. Siapa respondennya yang samar dan tak jelas. Responden yang jarang menggunakan hp bisa jawaban hanya spekulatif dan respondenya yang satu partainya misalnya akan cenderung menjawab tidak jujur.

Lembaga survei sebagai instrumen yang mengacaukan akal sehat yang tak lagi bermakna bagi kaum intelktualnya dan rakyat di suatu bangsa Konon di zaman jahiliyah manusianya bukan bodoh mereka pandai menyusun kata yang menggugah perjuangan, menggugah empati dan menggugah sukunya atau kini bangsa untuk meraih kemajuan melalui syairnya.

Kehebatan yang dimiliki manusia zaman jahiliyah minimal itu tak dimiliki oleh lembaga survey dan buzzer berbayar tak tersisa kecerdasan manusianya. Bila di zaman jahiliyah ada Abu lahab dan Abu Jahal masih ada cerdas intelektual rasa bahasa dan olah otak dan hati tapi mereka hanya tak cerdas spiritual dan emosional.

Di 14 abad kemudian manusia yang ada yang pernah belajar dan bahkan di mancanegara kecerdasan intelektual saja diragukan.
Mungkin bukan kecerdasan intelektual yang dimiliki tapi hanya cerdik menghitung angka tambah dan perkalian seperti pebisnis masa jahiliyah.

Kecerdasan generasi bangsa sangat menyedihkan bila hanya memiliki kecerdasan menghitung itu, itu hanya ilmu paling dasar. dan lagi Ilmu menghitung itu ilmu kejujuran tak ada 2+1 menjadi 9. Manusia itu harus memgerti pula ilmu menghitung itu mrmbentuk karakter manusia agar menjadi manusia yang sejati.

Kegagalan bangsa tak memberi nilai utama pada ilmu yang mengandung pesan akhlak sebagai pesan spirituals, itulah pesan Tuhan melalui para nabi yang dibelokkan manusia hanya morals menjadi morals hazaard dalam menjalani kehidupan.

Bangsa ini membangun diri memerlukan hal itu menjadi generasi patriotisme nilai kejujuran harus masih ada. Bila anda memilih jalan hidup di lembaga survey atau bazzer berbayar jangan menambah daftar bangsa tuna moralis yang korups dan tuna intelektual yang sekolah tinggi masih menjadi pelayan bagi manusia benalu di bangsa ini.

Ini juga himbauan untuk yang berpendidikan tinggi di tahta di Pusat dan Daerah, di Kpu, Bawaslu dan MK jangan punya mentalitas pelayan yang hanya tersisa cerdik menambah dan mengkalikan, malah yang berbekas hanya itu ketika di sekolah dasar. Atau membebekkan diri karena ada di tahta itu atas jasa manusia pedagang atau karena tak lagi memiliki rasa nasionalisme dan patriotisme pada bangsa dan rakyat di NKRI ini. Bila tak amanah dan tak jurdil pelaksanaan pemilu nanti kaum-kaum itu dan bersamanya rasanya patut hijrah ke negara terali besi sana. He he he.