Anas, Korupsi dan Pilpres

Smith Alhadar, Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

Hanya di negeri ini koruptor diperlakukan sebagai pahlawan. Di hari pembebasan Anas Urbaningrum kemarin, ratusan kader HMI — kalau bukan ribuan — berdesak-desakan di Lapas Sukamiskin, Bandung, sambil mengangkat tinggi-tingggi atribut-atribut organisasi itu.

Mereka sedang menyambut pembebasan mantan Ketum PB HMI itu. Mengherankan! Atas dasar apa tokoh itu diglorifikasi? Dalam kasus ini, HMI — yang bercita-cita melahirkan insan berilmu dan berakhlak mulia — justru lebih mengedepankan esprit de corps.

Kita jadi pesimistik pemberantasan korupsi di negeri ini akan berhasil manakala tunas-tunas muda bangsa yang berilmu tidak melihat korupsi sebagai penyakit kronis yang mengancam eksistensi bangsa.

Tak heran, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada jauh di bawah rata-rata dunia. Menurut laporan Transparency International, Indonesia punya skor IPK 34 pd 2022. Rata-rata IPK dunia 43. Di tataran dunia, Indonesia berada di peringkat 110 dari 180 negara.

Anas, mantan Ketum Demokrat, adalah narapidana korupsi proyek Hambalang pada 2010-2012. Ia ditetapkan sebagai tersangka KPK pada 2013 karena menerima sejumlah uang dari proyek itu.

Penetapan Anas sebagai tersangka merupakan pengembangan kasus mantan Bendahara Umum Demokrat Muhammad Nazaruddin. Uang itu digunakan untuk pemenangan Anas sebagai Ketum Demokrat dalam kongres di Bandung pada 2010.

Setelah proses penyidikan berjalan hampir setahun, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 8 tahun penjara kepadanya. Ia terbukti menerima uang dari proyek Hambalang senilai Rp 20 miliar. Tak terima dengan putusan itu, ia banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta.

Putusan banding memangkas hukuman Anas menjadi 7 tahun penjara. KPK pun mengajukan kasasi ke MA, yang juga diladeni Anas. Artidjo Alkostar adalah salah satu Hakim Agung yg menangani kasus tersebut.

Hukuman Anas malah diperberat menjadi 14 tahun bui dan denda Rp 57 miliar. Dua hari setelah Artidjo pensiun pada Mei 2018, Anas mengajukan PK kembali. Hukumannya dikurangi menjadi 8 tahun. Dus, secara keseluruhan, Anas dipenjara selama 10 tahun.

Bagamapun, sampai sekarang ia tak mengakui perbuatannya, yang membuat mantan komisioner KPK Novel Baswedan dan Bambang Wijonarko tertawa ngakak. BW malah bilang Anas kampungan.

Bukan hanya tidak mengakui, ia pun menggunakan jurus playing victim. Ia mengaitkan pemenjaraannya dengan makar yang dilakukan Presiden SBY, Ketua Dewan Pembina Demokrat, untuk menyingkirkannya dari posisinya sebagai Ketum Demokrat. Apa kepentingan SBY dalam melengserkannya? Sampai skrng tdk ada penjelasan rasionsal yg bisa kita terima.

Dus, alasan Anas mengada-ada, yg hanya bertujuan menarik simpati HMI dan publik kpdnya. Ia membangun citra diri sebagai korban untuk mnjaga, bhkan meluaskan ruang politik baginya sebagai modal saat bebas nanti. Anas adalah politisi mumpuni yang cerdik.

Secara tepat dia melihat jurus playing victim adalah cara paling efektif untuk menjaga ketokohannya di masyarakat yang cenderung bersimpati pd mazlum. Apalagi kejujuran kurang dihargai di negeri ini.

Dari dulu sampai sekarang — di tengah populasi Indonesia yang sangat besar — menurut Gus Dur orang jujur hanya ada tiga: polisi tidur, patung polisi, dan mantan Kapolri Sugeng. Kendati disampaikan secara kelakar, humor itu mengungkapkan bahwa orang jujur di negeri ini sangat langka.

Berikut bbrapa variabel yang membuat saya yakin Anas terlibat korupsi. Pertama, salah satu Hakim Agung yang menjatuhkan vonis kepadanya adalah Artidjo Alkostar. Artidjo merupakan icon Hakim Agung yang jujur dan keras terhadap koruptor yang hanya bisa dibandingkan dengan Baharuddin Lopa.

Selama kariernya, Artidjo telah menangani 19.708 perkara yang tak satu pun yang dirasa mencederai rasa keadilan publik. Ia pernah menduduki Dewas KPK, mengikuti pelatihan lawyer tentang HAM di AS, dan bekerja di Human Right Watch divisi Asia di New York, AS.

Artidjo pernah menjatuhkan hukuman berat pada tokoh-tokoh ternama terkait korupsi, sprti Andi Mallarangeng, Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, Ketua MK Akil Mochtar, dan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.

Kedua, testimoni Nazaruddin. Sejauh ini belum terbukti kesaksian Nazaruddin terkait orang-orang yang terlibat korupsi adalah bohong. Kalau kesaksiannya tentang mereka yang terlibat mega korupsi e-ktp tak ditangani hukum, itu karena mereka merupakan tokoh penting parpol yang berkuasa. Dus, alasannya politis.

Ketiga, makar SBY. Tidak masuk akal SBY menjerumuskan Anas ke penjara untuk alasan yang tidak jelas. Anas dibesarkan Demokrat dan disayangi SBY. Kalau ia punya bukti tentang rekayasa SBY mengapa bukti itu tak disampaikan atau mentah di pengadilan?

Kita juga harus melihat fakta berikut. Para petinggi Demokrat yang dipenjarakan terkait korupsi bukan hanya Anas, tapi juga Angelina Sondakh, Nazaruddin, dan Andi Mallarangeng. Bahkan Aulia Pohan, besan SBY, juga masuk bui ketika SBY masih menjabat presiden.

Ayah dari artis Annisa Pohan itu, istri Ketum Demokrat AHY, dituduh mengambil dan menggunakan dana BI (Aulia adalah Deputi Gubernur BI) yang berada pada Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia.

Sebenarnya dengan mengaitkan pemenjaraannya dengan SBY, Anas hanya sedang mengungkap kekecewaannya pada pemimpinnya itu, kendati punya kemampuan melindungi dirinya dari jerat hukum, justru membiarkan hukum berjalan apa adanya. Ini tidak masuk akal bagi orang Indonesia yang tidak percaya pada penegakan hukum.

Sikap mental Anas ini bukan hal yang mengejutkan dalam konteks korupsi tidak dianggap sebagai kejahatan di negeri ini. Orang yang tertangkap korupsi dianggap apes, bukan aib.

Lihat, pemerintah sendiri melemahkan KPK tanpa perlawanan berarti dari para akademisi. Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan bahkan protes terahadap KPK yang melakukan OTT. Ini, kalau bukan permisif terhadap korupsi, lalu apa? KPK tidak mungkin dapat dilemahkan dan LBP tidak mungkin bisa bicara seprti itu kalau korupsi dianggap aib besar bagi masyarakat.

Coba perhatikan jg pd pernyataan Anas pd 2018 ketika ia mengajukan PK: “Krn seaneh apapun, yg terjd itu pasti berdasarkan ketentuan Tuhan…” Artinya, kesalahan yg ditimpakan kpdnya (yg ia ingin vonis kpdnya dianggap sbg hal yg culas) merupakan keadilan Ilahi. Ia mencuci tangan atas perbuatannya pd the Will of God. Tiba2 Tuhan menjadi Zat yg ngawur, tetapi dimaafkan Anas.

Bagi sy, sehrsnya Anas bersikap sportif, mengakui kesalahan untuk kmudian berbenah diri. Sbg tokoh organisasi berpengaruh HMI, sehrsnya Anas beri teladan kpd generasi muda sbg kontribusinya pd pembangunan karakter jujur bangsa, yg hari ini sgt memprihatinkan. Yg trjd justru sebaliknya, ia membela diri di atas landasan yg tdk msk akal dan menipu. Bhkan, ia mnjadikan Tuhan sbg tmpt sampah bagi kesalahannya.

Sy tdk mengenal Anas, apalagi punya kepentingan dgn dia, sy hanya ingin mengajak simpatisannya untuk memandang kritis trhdp tokoh ini. Patutkah kita mengglorifikasi pribadi yg cacat moral?

Sy prihatin kpd mereka yg memperbesar kesetiaannya kpd seseorang yg justru setelah aib org itu terbongkar. Aneh bkn? Kl dia mengakui kesalahannya, yg terkonfirmasi melalui proses pengadilan yg terbuka, terbuka kemungkinan dia bisa membenahi diri krn ada perasaan bersalah yg dipupuk oleh agama dan norma sosial.

Tetapi Anas memainkan jurus playing victim yg bs jd untuk motif2 politik ke depan — dan secara mengejutkan dipercaya simpatisannya — justru membuka peluang lbh besar kpdnya untuk kemungkinan memanipulasi isu lain. Misalnya, dgn memanfaatkan momentum pilpres.

Perlu diketahui, meskipun di penjara, Anas ttp bisa mengkonsumsi berita dari televisi atau media lain. Dus, dia tahu betul dinamika politik nasional yg menyimpan banyak lobang hitam untuk dimainkan.

Krn keberhasilannya dlm playing victim, Anas kini bisa mnjd asset politik yg sgt potensial bg pihak2 yg berkepentingan dlm konteks pilpres. Begitu bebas, Anas menyatakan akan menuntut keadilan. Keadilan apa?

Pernyataan ini sbenarnya hanya memberi kode kpd kubu anti-Demokrat bhw ia siap bekerja sama yg saling menguntungkan untuk merusak legalitas partai itu. Kebetulan Demokrat skrng sdg diusahakan pihak Istana, melalui KSP Moeldoko, untuk di-ilegalisasi.

Tujuan pokoknya adalah menyingkirkan Anies dari arena kontestasi pilpres. Resistensi Anas trhdp Demokrat dgn bergabung kedlm kubu KLB di Deli Serdang — yg bs berupa delegitimasi partai itu — akan memperbesar energi Moeldoko dlm upayanya membegal Demokrat.

Di pihak lain, anas jg kini punya calon sekutu yg sgt powerful. Maka, org yg berkepribadian semacam Anas boleh jd akan melihat calon sekutunya sbg instrumen untuk membalas dendam. Atau, ia bisa cari keuntungan di tmpt lain dgn menjual populeritasnya saat ini.

Anas jg disokong org2 terpelajar pembenci Anies. Pokoknya pesta kecurangan dan tipu2 sdg menemukan momentumnya saat ini. Bgmpun, Anas punya peluang untuk tampil mulia dgn akhlakul karimah dan ilmu yg bermanfaat. Tp ia jg punya peluang untuk memperkeruh situasi politik nasional. Mestinya HMI tak perlu bangga kl Anas memilih peluang yg terakhir.

Tangsel, 12 April 2023