DPR: Dewan Perwakilan Partai, Masih Perlukah Kita Ikut Pemilu?

Oleh : Ahmad Khozinudin (Sastrawan Politik)

Kita patut apresiasi pernyataan jujur dari Bambang Pacul (Bambang Wuryanto), yang menyatakan bahwa dirinya sebagai anggota DPR tidak punya otoritas untuk mewakili rakyat. Entah lugu atau keceplosan, Bambang Pacul secara eksplisit menyatakan, dirinya termasuk juga ‘korea’ kolega lainnya (baca: badut-badut Senayan), hanya garang didepan publik, namun takut pada pimpinan partainya masing-masing.

Hal itu disampaikan Bambang Pacul saat menjawab permintaan Mahfud MD agar DPR segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Prinsipnya, Bambang justru mendorong Mahfud MD untuk melobi pimpinan partai, karena hakekatnya anggota DPR di senayan adalah kepanjangan tangan partai.

Tanpa pengakuan Bambang Pacul, sebenarnya publik sudah paham bahwa politisi di DPR itu hanya menjadi Wakil Rakyat saat kampanye Pemilu. Saat kampanye itulah, rakyat benar-benar dimanjakan oleh politisi.

Ada yang berkunjung, bagi-bagi kaos, hingga amplop merah berisi duit dengan cover ‘Harta Zakat’. Rakyat, juga selalu menjadi materi ulasan dalam setiap pidato kampanye politik.

Namun setelah politisi mendapatkan suara, menjadi anggota DPR, maka sepenuhnya anggota DPR menjadi milik partai, kepanjangan tangan partai. Meminjam istilah yang dipopulerkan PDIP, seluruh anggota DPR pada hakekatnya adalah petugas partai.

Yang punya kedaulatan terhadap DPR adalah partai, bukan rakyat. Maka, wajar saja UU Cipta Kerja yang ditolak rakyat malah disahkan oleh DPR. Kenapa demikian? Karena perintah pimpinan partai mengesahkan UU Cipta Kerja.

Kalau sudah demikian, masih relevan-kah kita ikut Pemilu? Memilih wakil rakyat, yang selanjutnya menjadi petugas partai?

Masih mungkinkah, akan ada perubahan jika karakter badut-badut di Senayan, seperti yang diceritakan Bambang Pacul?

Pada kenyataanya, kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi sejatinya hanya mitos, hanya utopia. Yang berdaulat, sejatinya adalah kapital. Dan partai, bisa dikendalikan dengan kapital, selanjutnya anggota DPR tinggal dikendalikan via partai.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo pernah menyebut pemodal cukup merogoh ongkos Rp 1 Triliun untuk menguasai partai politik di Indonesia. Menurut Bamsoet nominal itu berdasarkan pengalamannya selama berkiprah di dunia politik di Indonesia.

Kalau ada 11 Partai Politik, berarti hanya cukup Rp. 11 triliun untuk menguasai APBN Indonesia yang nilainya Rp3000 triliun per tahun. Jika bisa mendapatkan untung 10 % saja dari nilai APBN, maka oligarki dengan kekuatan kapitalnya bisa memperoleh kocek Rp300 triliun per tahun. Padahal, modalnya hanya Rp11 triliun.

Jika Rp11 triliun ini bisa mengendalikan partai selama 5 tahun, maka oligarki akan mendapatkan keuntungan totalnya Rp1500 triliun, dengan memerintahkan anggota DPR lewat partai, untuk mengelola APBN dengan corak yang menguntungkan oligarki.

Misalnya, bikin proyek biodiesel, yang main oligarki. Bikin proyek IKN, yang untung oligarki. Bikin kebijakan hilirisasi, yang main perusahaan oligarki. Dst.

Begitulah sistem politik denokrasi, masih mau bertahan? [].