Panik dan Gagapnya Istana

Oleh : Sholihin MS

Saking paniknya menghadapi berbagai problematika yang terus mendera rezim Jokowi, istana menjadi sangat panik dan gagap dalam menyikapi setiap permasalshan yang timbul.

Di akhir tahun kepemimpinan Jokowi, bermunculan kasus-kasus besar yang menggambarkan betapa bobroknya rezim Jokowi. Mulai dari kasus Ferdy Sambo, kasus tragedi stadion Kanjuruhan, kasus Narkoba Teddy Minahasa, kasus David dan Mario yang mengungkap kasus korupsi Rafael Ulun, kasus transaksi ilegal 349 triliun di Kememkeu, kasus pamer kekayaan para pejabat, belum lagi kasus ijazah palsu Jokowi yang terus coba ditutup-tutupi. Semua kasus di atas tidak ada satu pun yang bisa diselesaikan dengan tuntas.

Jokowi kadang mencoba untuk menampilkan (seolah) ada kesungguhan dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut, tapi karena niatnya hanya pencitraan sehingga kadang-kadang malah jadi blunder. Kasus-kasus tersebut tidak mungkin bisa terselesaikan jika tidak ada niat yang serius dan tulus untuk bisa mengatasinya sampai ke akar-akarnya. Atau bisa jadi banyak kasus-kasus tersebut malah melibatkan pihak istana, para pejabat pemerintahan atau petinggi kepolisian sehingga penyelesaian selalu menemui jalan buntu.

Dengan ruwetnya permasalahan yang dihadapi, sehingga berbagai keputusan pemerintah selalu tidak tepat dan akurat, terkesan hanya gertak sambal dan akhirnya mencederai rasa keadilan yang lebih menyeluruh.

Baca juga:  Anies Baswedan Lindungi Warga Lansia

Di era Jokowi banyak keputusan Pemerintah yang melukai mayoritas rakyat Indonesia dan terutama umat Islam. Mulai dari perubahan Hari Lahir Pancasila dari tanggal 18 Agustus menjadi 1 Juni, keputusan pemerintah meminta maaf kepada PKI, penyelesaian kasus Ferdy Sambo yang setengah hati, kasus tragedi Kanjuruhan yang mandeg, kasus transaksi ilegal 349 triliun di Kemenkeu yang coba ditutupi, dan berbagai kasus korupsi yang telah memggurita di seluruh elemen pejabat pemerintah yang tanpa terkendali, sehingga banyak pejabat pemerintah yang terjangkiti gaya hidup mewah dan hedon.

Akhirnya Jokowi mencoba untuk merubah gaya hidup mewah menuju gaya hidup sederhana dengan memerintahkan para pejabat untuk hidup sederhana dan tidak suka pamer kekayaan.

Sayangnya, Jokowi sendiri tidaj paham akar permasalahan sebenarnya kenapa para pejabat bisa hidup mewah, ditambah lagi Jokowi sendiri tidak konsisten dengan kebijakannya untuk hidup sederhana. Buktinya, keluarganya hidup bermewah-mewah, anak-anak dan cucunya pakaiannya sangat mahal. Bagaimana mungkin Jokowi bisa menerapkan gaya hidup sederhana kepada bawahannya sementara keluarganya justru hidupnya bernewah-mewah ?

Memasuki bulan Ramadhan Jokowi membuat gebrakan seolah gebrakannya untuk menghindari gaya hidup mewah, tapi malah blunder justru membuat edaran tentang *larangan bagi pejabat dan ASN untuk melakukan buka bersama*. Larangan itu keburu viral tanpa dikecualikan hanya untuk pejabat dan ASN jadi seolah mau _tes the wave_ (tes ombak). Setelah masyarakar ribut baru ada klarifikasi dari Setneg Pramono Anung.

Baca juga:  Sebut Jokowi Firaun, GBM akan Laporkan Cak Nun ke Bareskrim Mabes Polri

Kenapa buka bersama harus dilarang ? Karena ada kerumunan ? Kenapa hanya buka bersama yang dilarang ? Karena menghindari gaya hidup mewah ? Apa hubungannya kebiasaan buka bersama dengan gaya hidup mewah?. Dan kenapa yang dilarang hanya kegiatan umat Islam, sedangkan kegiatan hura-hura yang lain dibiarkan? Maka wajar kalau rakyat menilai bahwa rezim Jokowi memang terhinggapi penyakit islamopobia dan anti Islam. Bahkan ada sebagian pengamat yang menyebut kalau rezim Jokowi itu rezim PKI.

Di akhir masa pemerintahannya, Jokowi bukannya ingin lengser dengan husnul khatimah, tapi malah terus menabung dosa dan memusuhi umat Islam. Apakah Jokowi tidak pernah berfikir bahwa semua akan berakhir dan semua perbuatan jahatnya itu suatu saat pasti akan mendapat balasan adzab Allah ? Mengapa Jokowi tidak mencoba untuk bertobat kepada Allah ? Apakah kekuasaan akan dipegang selamanya ?

Sudah saatnya untuk terjadi perubahan yang signifikan di negeri ini agar Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan.

*) Pemerhati Masalah Sosial dan Politik

Bandung, 3 Ramadhan 1444