Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (TPK) dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) bisa digunakan untuk merampas aset para koruptor.
“Pidana asalnya dapat temukan dengan kewenangan dan instrumen yang dimiliki KPK untuk melengkapi kesatuan penerapan UU TPPU dengan UU TPK,” kata Koordinator SIAGA 98 Hasanuddin kepada redaksi www.suaranasional.com, Kamis (9/3/2023).
Kata Hasanuddin, aparat penegak hukum tidak perlu pengesahan RUU Perampasan Aset dan illcitt enrichment. “Sebab, selalu saja aturan hukum kita akan dibuat tak sempurna, dibuat celah berkelit dan jalan tikus kaburnya koruptor,” jelasnya.
Menurut Hasanuddin, aparat penegak hukum dapat merampas aset para koruptor melalui penerapan pidana tambahan perampasan harta benda. “Selain pidana pokok pemenjaraan juga didapat dilakukan perampasan melalui penerapan pidana tambahan perampasan harta benda,” ungkapnya.
Selain itu, Hasanuddin mengatakan, UU TPK dan dibentuknya KPK mengandung spirit agar mantan presiden Soeharto bisa diadili oleh suatu komisi khusus yang independen, yang mempunyai kewenangan besar termasuk penyadapan sebab penegak hukum konvensional tak mungkin menjerat seseorang yang telah berkuasa penuh selama 32 Tahun.
Akibatnya KPK tak bisa bekerja mengusut kejahatan korupsi sebelum pembentukannya, maka presiden Soeharto lolos jerat KPK.
“Dari sinilah pemberantasan korupsi akhirnya berputar-putar tak jelas muara dan hilir pemberantasannya, hingga adigium lord acton menjadi lelucon: power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely,” pungkas Hasanuddin.