Sekretaris Jenderal Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EN LMND), Abu Bakar menilai pernyataan Sekjend PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto terhadap Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) kurang pantas. Hal ini disampaikan kepada pers Selasa (7/3).
“Perihal ucapan sekjen PDIP Perjuangan Bung Hasto di beberapa media yang mencoba menggurui Partai PRIMA, seharusnya berfikir dua kali jangan asal mengeluarkan statemen. Dan alangkah bijaknya Bung Hasto membaca kembali sejarah perlawanan PDI kubu Megawati,” ujarnya.
“Ingat ya, ketika Ibu Megawati dizholimi oleh Orde Baru, tidak diakui kepemimpinannya sebagai ketua umum PDI waktu itu, Bung Agus Jabo bersama rekan-rekannya menggalang pemuda-pemuda di Solo membuat wadah Serikat Rakyat Solo (SRS) yang diketuai oleh Pemuda Narso untuk mendeklarasikan Mega For Presiden untuk Menggantikan Soeharto,” paparnya.
“Saat menggelorakan Gerakan Mega for Presiden Agus Jabo dan SRS membuat banyak selebaran, poster, kaos yang berisi tulisan Mega For Presiden. Sementara Bung Hasto ada di mana waktu itu?” lanjut Pria yang biasa disapa Abu ini.
Abu menceritakan, sekitar Tahun 1995 Bung Agus Jabo dan teman-temannya kala itu meluaskan gerakan dengan ikut serta dan mendukung safari Bu Mega temu kader PDI ke kota-kota di Jawa Tengah dengan membentangkan spanduk “Mega for Presiden”.
Dalam kegiatan aksi ini banyak rekan dari Bung Agus Jabo yang tertangkap. Bahkan tidak sedikit yang mengalami luka-luka ketika berhadapan dengan aparat kekuasaan Orde Baru demi memperjuangkan demokrasi di Indonesia.
“Kami saja yang mahasiwa paham rekam jejak dan sejarah PDI Perjuangan. Masa sekelas sekjend partai tidak memahami sejarah partainya sendiri,” ujarnya.
Seperti diketahui, Tahun 1996 Orde Baru semakin ofensif untuk menyingkirkan Bu Mega sebagai Ketua PDI yang sah.
Perlawanan pendukung Bu Mega bersama aktivis pro demokrasi semakin berani. Mereka bergerak bersama mengadakan aksi massa ke Istana Negara untuk memprotes penzaliman terhadap Megawati. Aksi itu berhasil dibubarkan aparat di daerah Gambir, sebagian massa kembali ke DPP PDI Jalan Diponegoro dan membuat acara mimbar bebas di situ.
“Setelah melihat acara tersebut Bung Agus Jabo beserta teman-teman dan pendukung PDI bersepakat untuk membuat acara yang permanen yaitu panggung mimbar bebas,” katanya.
Mereka kemudian mengkonsolisadikan semua perlawanan untuk melawan Soeharto dengan bersiasat membesarkan acara mimbar bebas demokrasi di seluruh wilayah Jabodetabek dengan mengajak warga biasa dan pendukung Bu Mega untuk datang ke Markas PDI Jalan Diponegoro. Dan hasilnya banyak warga yang mau datang terlibat dan perlawanan terhadap Orde Baru semakin membesar.
“Ingat ya jaman segitu rakyat masih takut berpolitik. Namun berkat keuletan dan kesabaran Agus Jabo dan teman-teman, warga mulai sadar dan mau ikut berjuang membela Bu Mega yang dizalimi Orde Baru,” papar Abu.
Acara mimbar demokrasi di DPP PDI Jalan Diponogoro semakin besar, massanya semakin banyak bahkan menyeret semua aktivis anti Orba ikut bergabung kala itu.
“Agus Jabo Cs ikut menjadi agitator di mimbar demokrasi untuk membakar semangat massa. Orde Baru semakin kalap dan panik melihat gerakan mimbar demokrasi yang yang makin membesar, maka pada tanggal 27 Juli 1996 mereka menyerbu kantor DPP PDI jalan Diponogoro untuk mengusir pendukung Bu Mega untuk digantikan oleh ketua PDI boneka Orba. Meletuslah peristiwa 27 Juli atau yang lebih dikenal dengan KUDATULI,” katanya.
Penyerbuan ini bikin kota Jakarta jadi rusuh besar, korban berjatuhan dan entah kenapa beberapa gedung-gedung jadi terbakar.
“Orba kemudian mengumumkan bahwa dalang dari peristiwa itu adalah Agus Jabo dkk yang tergabung dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD). Mereka ditangkapi, terus diadili dan ada yang divonis penjara 13 tahun namanya Budiman Sudjatmiko,” tegasnya.