Negara harus meminta maaf terhadap korban peristiwa 1965 di mana ada orang-orang yang dibuang ke Pulau Buru dan dibunuh tanpa proses pengadilan.
“Perminataan maaf harusnya ada, ini sifat ksatria, kami tahu, menyesal dan berjanji tidak mengulangi secara implisit sudah minta maaf. Minta maaf ksatria dan jiwa besar. Inti rekonsilasi tidak memeja hijaukan, semangat saling memaafkan, mewarisi sifat ksatria,” kata Ilham Aidit di acara ILC berjudul “Kenapa Hebih Lagi? Haruskah Negara Minta Maaf kepada PKI?”, Jumat (27/1/2023).
Kata Ilham, peristiwa 65/66 adalah kasus vertikal di mana negara ketika itu membiarkan terjadi kebrutalan terhadap orang-orang yang dianggap PKI maupun pengikut Soekarno. Jika negara dalam hal ini Soeharto menghentikan aksi kebrulan di masyarakan, korban tidak sebanyak itu.
“Peristiwa 1965 dan 1966 negara melakukan genoside, secara strutural dan masif. Ini masalah kemanusian. Berapa orang yang diadili? Tidak sampai 5 persen. Selebihnya tidak ada pengadilan dan dibuang ke Pulau. Ada eskil yang puluhan tahun tidak bisa pulang ke Indonesia. Ini bentuk kezaliman,” paparnya.
Ilham memberikan apresiasi tinggi terhadap pemerintah Jokowi yang telah menyebut peristiwa 1965 dan 1966 terjadi pelanggaran HAM berat walaupun tidak sepnuhnya mengikuti standar amnesty internasional.
“Pengungkapan fakta kebenaran dalam peristiwa 1965 tidak disebutkan. Pemerintah telah melakukan dan berjanji menjamin tidak akan terulang persitiwa seperti itu. Biasanya dalam amnesty internasional diteruskan negara meminta maaf atas kesalahan masa lalu. repasasi fisik, santunan dan sebagainya. tetapi kami bisa memahami negara sudah mengakui kesalahan dan menyesal dan berjanji mengulangi lagi, secara implisit sudah meminta maaf,” paparnya.