Pesta Tanpa Tamu: Evaluasi Kritis 50 Tahun PDIP

Sebagai pembuka evaluasi kritis perjalanan 50 tahun Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang bermetamorfosis menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang telah mewarnai perjuangan demokrasi Indonesia dengan tumpahnya darah para pemuda –yang bukan hanya kader PDI—dan para elemen maupun eksponen gerakan prodemokrasi pada peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 hingga peristiwa reformasi 1998 yang kemudian terus berlanjut sampai kemudian PDI (Promeg) tuntas bermetamorfosis pada deklarasi perubahan nama PDI menjadi PDIP di kota Denpasar Provinsi Bali tahun 1998 dan menjadi peserta pemilu pertama di era reformasi tahun 1999.

Proses metamorfosis PDI menjadi PDIP seanalog metamorfosisnya ulat yg terbelenggu kepompong yg kemudian dengan penggalangan kekuatan revolusioner, didukung natur –era rakyat sudah muak dengan demokrasi prosedural orde baru– dan mendukung natur –terkonsolidasinya kekuatan prodemokrasi— berhasil menjebol dan membangun menjadi bentuk kupu-kupu yg indah.

PDIP menjadi partai yang indah karena dalam susunan pengurus Dewan Pimpinan Pusatnya mengakomodir semua kekuatan politik rakyat. Susunan DPP PDIP hasil kongres Bali 1998 selain mengesahkan Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Umum dan Alex Litay menjadi sekretaris jendral, ada nama nama yang menjadi representasi kekuatan politik rakyat seperti Gus Im (Wahid Hasyim) adik Gus Dur dan Syaefullah Yusuf sebagai representasi NU. Juga ada representasi dari Muhammadiyah (namanya saya lupa). Ada pula RK Sembiring dan Theo Safei (unsur militer), Widjanarko Puspoyo, Tjahjo Kumolo dari Golkar, Kwik Kian Giea (Pengusaha), Laksamana Sukardi (kalangan profesional). Tak luput pula kalangan akademis seperti Prof. Dimyati Hartono. Dan tentunya para loyalis Megawati seperti Suparlan, Harjanto Taslam, Noviantika Nasution dll turut menghiasi susunan personalia DPP PDIP.

Masih segar dalam ingatan, saat itu di hotel Dewangkara (belakang hotel Bali beach di Sanur) Cornellis Lay memegang draft susunan nama-nama calon DPP PDIP untuk dibuatkan legitimasi latar belakang nama nama itu masuk dalam susunan DPP PDIP periode 1998-2002.

Dari susunan DPP PDIP saat itu tergambar mozaik kebhinekaan kekuatan politik prodemokrasi yg merupakan hasil reformasi.

Sebagai “kupu-kupu” yang indah, PDIP menjadi partai yg seksi sehingga berhasil menang pada pemilu 1999 dengan kisaran angka 27% dari jumlah kursi parlemen. Namun sayangnya PDIP gagal menjadikan Megawati sebagai Preside RI karena diganjal oleh Poros Tengah yg digagas oleh Amien Rais.

Perjalanan PDIP sejak 1998 hingga sekarang mengalami masa pasang surut. Setelah menang secara spektakuler pada pemilu 1999 mengalami penurunan pada pemilu 2004 dan 2009, lalu menang lagi pada pemilu 2014 dan 2019, serta saat ini punya target untuk hatrick (3 kali menang) pada pemilu 2024.

Akankah hal ini tercapai? Secara internal, semua pengurus DPP sampai DPC sangat optimis dapat mencapai hatrick tersebut. Tapi semua itu selain tergantung pada ikhtiar dan perjuangan seluruh kader PDIP, ada faktor-faktor lain yang dapat menghambat tujuan kemenangan tersebut.

Faktor bersamaan antara pemilu legislatif dengan pemilu presiden dapat menjadi satu faktor yg membalikkan optimisme tersebut ketika PDIP gagal menyerap aspirasi rakyat terkait calon presiden yg akan diusung PDIP.

Dengan menunda-nunda pengumuman dan deklarasi kader yg akan diusung menjadi calon presiden punya potensi merugikan bahkan menggerus suara konstituen.

Faktor lainnya adalah eksklusivitas PDIP saat ini sebagai partai yang lupa akan awal sejarah penempatan diksi “perjuangan” sebagai tambahan nama Partai Demokrasi Indonesia.

Representasi sebagai “rumah” kekuatan prodemokrasi telah hilang. PDIP sekarang menjadi partai yang steril dari kekuatan rakyat prodemokrasi. Dengan mandeknya kaderisasi dan munculnya terminologi “trah” Soekarno menampakan adanya fenomena feodalisme yg dapat merugikan citra dan berdampak pada elektabilitas partai.

Fenomena ini diperkuat lagi pada perayaan ulang tahun ke 50 PDIP yang tidak mengundang partai partai lain hadir dalam pesta perayaan HUT.

Memang hal itu adalah hak pengurus DPP PDIP dalam penyelenggaraan perayaan HUT. Namun dengan tidak mengundang partai lain mengesankan PDIP sudah melupakan sejarahnya sendiri bahwa dia besar karena didukung oleh natur politik yg berisikan elemen elemen rakyat prodemokrasi.

Pesta perayaan HUT PDIP saat ini ibarat pesta tanpa tamu. Pesta yang hanya mempertontonkan tingginya kepercayaan diri dalam belantara politik nasional.

Mudah-mudahan dengan pesta tanpa tamu ini PDIP tidak dikucilkan oleh partai partai lain khususnya dan elemen elemen prodemokrasi pada umumnya.

Demikian catatan kritis perjalanan 50 tahun PDIP mewarnai pentas politik di Indonesia. Apabila ada kata dan hal yang kurang berkenan, penulis minta maaf yang sebesar-besarnya.
Tulisan ini merupakan cinta dan harapan agar PDIP tetap besar dan mengawal cita cita proklamasi Indonesia mewujudkan Indonesia sejahtera yg berkeadilan.

Jakarta, 10 Januari 2023.

Yulianto Widirahardjo, SE, MSi.
Partisipan aktivitas partai sejak KLB PDI 1993 di Surabaya hingga era reformasi dan era pemilu presiden langsung.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News