Kasus Ganjar, Standar Ganda Politik Hukum Zakat

Oleh: Arif R. Haryono

Kasus Gubernur Jateng yang kedapatan membagikan bantuan zakat bagi kader partainya sendiri adalah bentuk kemunafikan politik hukum zakat. Tajam ke masyarakat, Tumpul ke BAZNAS

Bagi saya, subyek utama dari video itu bukan pada sosok pak Ganjar. Saya jamin, beliau bukan politisi pertama dan satu-satunya yang memanfaatkan dana zakat di BAZNAS untuk kepentingan politik elektoral. Banyak. Hanya belum ada yang demonstratif dan memiliki magnet politik kuat seperti pak Ganjar.

Dalam fenomena Gubernur Jateng memberi bantuan kepada mustahik partainya, saya ingin mempertanyakan fungsi BAZNAS yang cenderung bermuka dua dalam penegakan politik hukum dalam Undang-Undang Pengelolaan Zakat.

Hasil kajian yang dilakukan Forum Zakat dan IDEAS, misalnya, menemukan bahwa BAZNAS memang tidak fokus dalam menjalankan mandat regulasi. Alih-alih menjalankan fungsi regulator dan pengawasan yang kuat, BAZNAS lebih senang menjadikan dirinya operator utama pengelolaan zakat nasional.

Tak heran, impresi bahwa BAZNAS sedang berkontestasi dalam penghimpunan dengan lembaga zakat masyarakat tak terhindarkan.

Maka, jika anda menemukan fenomena pemberian izin operasional bagi lembaga zakat masyarakat itu terlebih dahulu dilakukan “fafifu” seremoni korporasi induknya sebagai UPZ BAZNAS. Padahal, apa hubungannya izin operasional LAZ dengan meng-UPZ-kan induk korporasinya LAZ? Kata kuncinya: 30 persen penghimpunan UPZ!

Saya ingin bilang BAZNAS memang lalai dan cenderung standar ganda dalam penegakan politik hukum regulasi.

Ambil contoh pemberian izin kepada lembaga zakat masyarakat. BAZNAS dalam memberikan surat rekomendasi izin tersebut mensyaratkan kepada setiap pengurus LAZ untuk menandatangani pakta integritas. Kontennya kira-kira menyatakan pengurus LAZ akan secara rutin melaporkan aktivitas, tidak berpolitik praktis, komitmen dalam pengentasan kemiskinan, dan seterusnya.

Jika menolak tandatangan pakta integritas, izin LAZ tidak akan diberikan. Jika melanggar, izin LAZ bisa dicabut. Ujungnya, pengurus LAZ berpotensi terkena sanksi pidana zakat.

Pertanyaannya, sudahkah BAZNAS Pusat konsekuen turut “ancam-mengancam” dengan struktur BAZNAS di tingkat provinsi dan kabupaten/kota? Atau memang urusan penegakan hukum pidana zakat itu dikhususkan untuk masyarakat, bukan kepada pejabat zakat di daerah?

Tak perlu berkilah ketiadaan landasan pasal zakat soal penegakan hukum ke struktur organisasinya. Tokh, BAZNAS Pusat memiliki histori portofolio sangat kuat dalam merangkai norma hukum yang berat sebelah.

Bukti? Tidak ada pasal persyaratan pakta integritas dalam pemberian izin rekomendasi LAZ di UU atau PP. Lalu kenapa untuk urusan operasional LAZ berani mendobrak pakem regulasi dengan menambah norma hukum tapi untuk BAZNAS provinsi dan Kab/Kota menjadi tak bertaji?

Bukti lain. BAZNAS Pusat bisa out-of-the-box dengan menambah pasal persyaratan izin LAZ dari delapan poin menjadi tigabelas poin di PERBAZNAS. Sudahkah hal ini diterapkan juga bagi model pemantauan dan sanksi teruntuk BAZNAS daerah? Atau sudah cukup puas dengan mekanisme komite etik di BAZNAS?

Jika ada yang menjawab puas, sungguh anda sangat naif.

Gubernur Jateng dan BAZNAS setempat jelas salah dalam etika penyaluran zakat. Tapi silang-sengkarutnya ada di regulasi. Hulu permasalahannya pada biasnya fungsi BAZNAS dalam pengawasan dan penegakan mandat regulasi.

Jangan sampai isu ini hilang menguap. Revisi UU Zakat. Ubah peran BAZNAS di tiap tingkatan pada fungsi koordinator dan pengawasan saja. Perkuat pengawasan bagi setiap pihak yang mengelola zakat secara konsekuen.

Agar dana zakat masyarakat tidak dimanfaatkan untuk kepentingan elektoral para politis
Baca juga:  Politikus PDIP Lamongan: Rakyat Indonesia Inginkan Duet Ganjar-Mahfud MD